Hai.
Sepertinya,
aku sudah berulang kali mengucap ‘hai’ kepadamu. Yah… meski kadang tidak kau
hiraukan. Jadi, apa kabar? Aku harap kau selalu berada dalam kabar baik seperti
yang pernah kau janjikan padaku. Aku harap kau selalu dikelilingi teman-teman
yang baik serta sanggup memahami senang dan sedihmu. Aku harap kau selalu
berbahagia dengan dia yang tak bosan-bosannya kau ceritakan padaku; dia yang
benar-benar kau cintai. Aku? Aku masih seperti dulu. Merindukanmu.
Kau tahu?
Senja ialah kita, warna dikromatik yang melebur menjadi sesuatu yang mereka
sebut sebagai indah. Dua yang pernah saling rindu, yang pernah menulis bahagia
dengan tinta senyum dan sayang walau sesaat. Dua yang kemudian berjalan
menjauh, memutuskan menjadi sebatas sahabat.
Aku
mengingat betul. Bagaimana aku suka menutup matamu dari belakang dan bagaimana
kau tertawa karenanya. Bagaimana aku suka memandangimu lekat-lekat dan
bagaimana kau merasa terganggu meski tersenyum juga. Bagaimana kau marah karena
aku mulai ditemani sebungkus rokok di tiap malam dan bagaimana aku menyesal
setelahnya. Bagaimana aku berusaha mengejarmu untuk meminta maaf dan bagaimana
kau tidak lagi peduli lalu pergi meninggalkan.
Kau ialah
mimpiku, dan mencintaimu dalam diam ialah realita yang harus aku terima.
Aku masih
mencintaimu.
Meski kau
tidak pernah tahu.
Meski kau
tidak perlu tahu.
Meski kau
tidak mau tahu.
Kau tahu?
Mereka menertawakan aku. Mereka kerap memaksaku untuk melupakan kamu, serta
semua yang kupendam selama tiga tahun ini. Cinta juga menuntut logika; tidak
hanya mengutamakan perasaan yang bisa mengubahmu menjadi bisu dan tuli, yang
bisa mengubahmu menjadi budak waktu untuk selalu diam menunggu, kata mereka.
Entahlah, aku tidak peduli. Jika mencintaimu ialah bodoh, aku rela tidak
memahami apa-apa selain kebahagiaan kecil yang kini kugenggam.
Terakhir,
terima kasih telah membaca suratku.
Jika suatu
saat kau membalas suratku, jawabku untuk “apa kabar?” darimu ialah “aku
baik-baik saja.”
Ya, karena
memang aku baik-baik saja. Aku mencintaimu dalam diam dan aku bahagia.
Mungkin
akan tiba saatnya aku merasa lelah dan kau benar tidak membuka hati untukku.
Pergi
ialah pilihan, melupakan ialah jawaban.
Namun jika
suatu saat kau memutuskan untuk bersamaku, tentu hatiku siap menerima.
Karena
kamu, kabar baikku.
Oleh
@AdotAdinata
diambil dari http://adityadinata.blogspot.com
No comments:
Post a Comment