Kumulai dengan satu hembusan nafas di pagi buta. Satu tidur yang terganggu bayang lembut, namun terkikis kerasnya hidup.
Tak usah bicara siapa yang salah, karena kutahu pasti namaku di dalamnya.
Tapi mungkin keputusan adalah tinggal keputusan. Saat ia bicara, pastilah membawa sesuatu yang baru. Ntah itu kehidupan atau kematian.
Akupun sekarang ntah hidup atau mati.
Satu setengah tahun. Bukan waktu yang sebentar. Bodoh bila aku tak cinta kau, gila yang bilang aku tak cinta kau. Jika kau memang buta, kurasa kau pasti masih bisa merasa. Atau jika memang aku yang terlambat sampai hatimu mati, kau akhirnya toh bisa melihat aku yang bersujud di kakimu.
10 hari. Memang bukan waktu yang kuminta pada Tuhan untuk menebus semua. Tapi bagaimana jika Ia hanya memberiku itu? Mungkin tetap ini harus kusyukuri.
Aku bertahan dengan sisa nafas yang kupunya. Sisa hati yang ku ada. Aku yang dibunuh penyesalan.
Bodohku yang berpikir dalam pelukmu waktu akan terhenti. Sehingga kubuang waktu dengan percuma. Seandainya kutahu ini semua akan begini, mungkin aku akan mengucap syukur tiada henti.
Tapi satu yang tak berubah sampai akhir, aku tak pernah mau beranjak dari dekapmu.
Andai bisa kudapat itu lagi. Satu hari lagi.
Semua sudah lewat. Semua sudah lewat. Mereka semua lebih jauh merentang, dari kematian yang bisa menyapa menit mendatang.
Setidaknya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk mencium dan memelukmu sepenuh hati, sebelum akhirnya semuanya pergi.
Mungkin aku harus kembali pada esensiku. Mencintaimu dalam diam, meski kau tak lagi di seberang lautan.
Ah, sudahlah.
“….aku hancur, ku terluka. Namun engkaulah nafasku. Kau cintaku, meski aku bukan di benakmu lagi. Dan kuberuntung sempat memilikimu…..”
Tak usah bicara siapa yang salah, karena kutahu pasti namaku di dalamnya.
Tapi mungkin keputusan adalah tinggal keputusan. Saat ia bicara, pastilah membawa sesuatu yang baru. Ntah itu kehidupan atau kematian.
Akupun sekarang ntah hidup atau mati.
Satu setengah tahun. Bukan waktu yang sebentar. Bodoh bila aku tak cinta kau, gila yang bilang aku tak cinta kau. Jika kau memang buta, kurasa kau pasti masih bisa merasa. Atau jika memang aku yang terlambat sampai hatimu mati, kau akhirnya toh bisa melihat aku yang bersujud di kakimu.
10 hari. Memang bukan waktu yang kuminta pada Tuhan untuk menebus semua. Tapi bagaimana jika Ia hanya memberiku itu? Mungkin tetap ini harus kusyukuri.
Aku bertahan dengan sisa nafas yang kupunya. Sisa hati yang ku ada. Aku yang dibunuh penyesalan.
Bodohku yang berpikir dalam pelukmu waktu akan terhenti. Sehingga kubuang waktu dengan percuma. Seandainya kutahu ini semua akan begini, mungkin aku akan mengucap syukur tiada henti.
Tapi satu yang tak berubah sampai akhir, aku tak pernah mau beranjak dari dekapmu.
Andai bisa kudapat itu lagi. Satu hari lagi.
Semua sudah lewat. Semua sudah lewat. Mereka semua lebih jauh merentang, dari kematian yang bisa menyapa menit mendatang.
Setidaknya Tuhan masih memberiku kesempatan untuk mencium dan memelukmu sepenuh hati, sebelum akhirnya semuanya pergi.
Mungkin aku harus kembali pada esensiku. Mencintaimu dalam diam, meski kau tak lagi di seberang lautan.
Ah, sudahlah.
“….aku hancur, ku terluka. Namun engkaulah nafasku. Kau cintaku, meski aku bukan di benakmu lagi. Dan kuberuntung sempat memilikimu…..”
Oleh @rizkantique
Diambil dari http://rizkantique.tumblr.com
No comments:
Post a Comment