Jangan menyerah sekarang nak, menyerahlah ketika mimpimu sudah terwujud.
Halo Ibuku sayang, apa kabarmu?
Aku lihat kerut di wajahmu semakin hari semakin bertambah. Usiamu semakin hari semakin tinggi. Pun kasih sayangmu, semakin hari semakin bertambah. Bertambah kuat untukku. Tak pernah kurang suatu apapun. Ibu, sudah 20 tahun lebih kau merawatku, membesarkanku, juga mendidikku. Tak pernah kau tunjukkan lelahmu. Apapun yang kau lakukan, kau tujukan untukku, demi kebahagian dan kebaikanku. Kau selalu memberikan yang terbaik bagiku, agar putrimu kelak dapat hidup bahagia. Itu yang selalu kau ucapkan padaku. Kau didik aku dengan keras. Kau tegur aku dikala aku salah. Bahkan terkadang sampai aku menangis. Namun Ibu, aku tahu bukan berarti kau benar ingin memarahiku, tapi semata-mata karena kecintaanmu padaku engkau meluruskan kesalahanku.
Engkau selalu mengatakan bahwa kehidupan di luar sana sangat keras. Itulah alasanmu mendidikku dengan keras. Agar putrimu ini tahan banting. Agar putrimu ini tak perlu merengek manja di hadapan orang lain. Hal itu semata karena kesuksesan dan mimpi yang ku harap tak bisa dicapai hanya dengan meminta iba pada orang lain. Ya, mimpi-mimpi yang selalu kuceritakan pada Ibu saat kita hendak tidur. Mimpi-mimpi yang kuceritakan pada Ibu di sela-sela pembicaraan antara seorang Ibu dan anak. Kalau hanya dengan mengiba kamu bisa sukses, sudah pasti banyak orang sukses di luar sana. Tapi sayang, sukses itu tidak mudah, butuh pengorbanan. Jadilah kuat dan tahan banting. Jadilah pekerja keras dalam mewujudkan mimpimu itu. Jadikan dia nyata. Itu nasihatmu setiap waktu.
Ibu, tahukah engkau? Atas semua hal yang terjadi di dunia, satu hal yang paling aku takutkan adalah ketika aku tak mampu mewujudkan harapmu. Setiap hal yang kulakukan kupersembahkan untukmu. Setiap langkahku, ku selalu mengingatmu. Setiap aku lelah, wajahmu terbayang seakan mengatakan jangan menyerah sekarang nak, menyerahlah ketika mimpimu sudah terwujud. Setiap jatuh bangun yang ku lakukan hanyalah untukmu, demi mewujudkan harapmu walau ku tahu mungkin tak sesempurna apa yang kau pinta. Untuk itu maafkan aku.
Ibu, aku sering pulang larut malam. Maafkan aku jika itu membuatmu khawatir.
Ibu, aku jarang berada di rumah akhir-akhir ini. Maafkan aku jika itu membuat rindumu padaku semakin membuncah.
Ibu, masihkah kau ingat saat putrimu mengikuti kegiatan KKL di Jakarta dan Bandung? Sementara teman-temanku ditelepon oleh orang tuanya masing-masing, Ibu tidak juga meneleponku. Dalam pikiranku aku tau Ibu pasti sedang sibuk, hingga akhirnya Ibu meneleponku. Di situ aku bertanya mengapa Ibu tak meneleponku. Ibu menjawab, “Ibu hanya ga pengen kegiatan senang senangmu terganggu oleh telepon Ibu. Siapa tahu kamu lagi rame-rame-an bareng temen-temen.” Di situ, aku terdiam. Di saat Ibu harus bekerja dan menahan kangennya padaku, Ibu masih sempat memikirkan kebahagianku.
Ibu, maafkan aku atas segala hal yang membuatmu kecewa. Maafkan aku atas semuanya.
Ibu, maafkan aku jika nantinya aku harus pergi jauh. Merantau ke kota ataupun negeri orang. Hal itu merupakan bagian dari perjalananku mewujudkan mimpiku dan mimpi Ibu. Aku harap Ibu mau merestui permintaan putrimu ini. Terlepas dari semua kesalahan dan luka yang kutorehkan di hatimu. Sungguh, aku tak bermaksud melukaimu. Putrimu ini tetaplah anakmu, yang akan selalu kembali padamu dimanapun dia berada.
Terima kasih Ibuku sayang.
*peluk cium untuk Ibu*
oleh @supervitha
diambil dari http://supervitha.wordpress.com
No comments:
Post a Comment