15 January 2013

Maaf yang Terlambat

415 hari dalam bisu

Selamat malam.

Apa kabar, engkau?

Agaknya terlalu kaku, namun memang beginilah aku. Sempat terpikir niat untuk tidak mengirim surat ini kepadamu. Aku terlalu payah, penakut yang hanya omong besar saja, seperti katamu dulu, dan masih sama sejak terakhir kita bertemu—kau menamparku.

Sejak awal kutulis surat ini, memohon kearifanmu; bacalah hingga kau merasa telah cukup muak, hingga merasa kepalamu amat hangat—telah cukup mengingat. Aku berkeyakinan penuh, peluh akan menetes dari keningmu bagai air terjun seribu tahun. Kelopak matamu seolah-olah bendungan yang (terlihat) kuat menahan angkara murka; riak-riak dari anak isakan tangis harumu yang membiru.

Maaf bila aku terlalu membual. Bila merasa muak, kau boleh menyudahi lompatan-lompatan kecil yang terjadi di kedalaman kornea matamu. Tentu saja, aku tidak akan merasa terhina. Itu hakmu. Seperti pasir dan alas kaki, aku puadai dan kamu yang maha tuan.

Jika itu terjadi, surat ini hanya puatang-puatang lain yang menjadi bahanmu menakar rendahnya aku.

Bagaimanapun juga, aku adalah yang pernah menjadi bagian ‘kita’ mu dahulu. Sudilah engkau mensirnakan luka hingga sedemikian senti, tanpa gengsi menaungi.

Dengar rangkaian huruf bualanku ini, dan bacalah gaung rindu di atas pesan yang menggema di matamu.

Pada suatu esok, di hari yang cukup tepat membuat pematang ilalang bunga-bunga anyelir dan jasmine di permukaan mata, kepalaku tersadai. Lemas, tak mampu bangkit padahal badanku tidak panas. Bukan sakit, kukira seperti sesuatu yang-entah-aku pernah rasa.

Selaksa ragu saling membisikan opini-opini mereka. Telingaku risi.

Pendar-pendar ragamu yang terlihat kasat dalam kepalaku, lambat laun memekat sesukanya. Engkau hadir saat aku tak rasuk. Engkau sang pengetuk ketika pintu terkunci tutup. Engkau adalah Januari suatu kala lalu yang ingin aku lupakan tapi tak mampu. Engkau adalah danau gelap yang buatku bersikeras menenggelamkan diri.

Aku tak mampu mengelak bayangmu.

 Merindukanmu, sepertinya begitu. Aku tidak lagi mengerti. Kau segalanya, selalu seperti itu. Aku hanya ingin kau mengerti. Bagiku, dirimu adalah selamanya. Entah berlaku sejak dahulu, sekarang ataupun di masa yang akan datang. Bagiku, dirimu adalah semesta. Semestinya kita akan selalu bersama. Aku ingin cinta ini seperti daun dan dahan. Selamanya bersatu, walau berguguran, namun kembali tumbuh perlahan. Tumbuh di tempat yang semula ia tinggalkan.

Aku masih memegang janji kita waktu itu. Mengakhiri masa-masa muda kita dengan sebuah keseriusan hubungan cinta. Aku masih mengingat saat kita saling berucap seperti itu. Mana kala kau berada di sampingku, mengatakan bahwa aku adalah segalanya bagiku, dan kau adalah semestaku.

Aku merindukan kita.

Aku memang brengsek. Memohon untuk kau kembali, ketika semua luka telah dengan sempurna kusadurkan di hatimu dalam-dalam. Kau yang tahu rasanya dan aku yang menyesali semua.

Dan semua sudah terlalu jauh dari masa lalu. Kenangan kita adalah piringan hitam yang selalu kuputar pelan di dalam kepalaku. Berapapun kata ‘sesal’ yang bisa kutukar dengan mesin pemutar balik waktu—akan kuberi. Nyatanya, aku terlalu bodoh memimpikan alat yang belum diciptakan untuk sekarang. Dan yang paling bodoh, aku telah menyia-nyiakanmu.

Jika paragraf ini sampai kau baca, aku ingin kau tahu. Kau selalu menjadi nomor satu. Jadilah apa yang kau mau. Jadilah apa saja yang membuatmu fasih melupakan namaku.

Di dunia ini mungkin kita tidak ditakdirkan bersatu. Namun tiada yang tahu, cinta untuk dirimu akan berlaku selamanya. Di surga.

Salam untuk anak-anakmu.




oleh @raymnd
diambil dari http://raymondgandi.tumblr.com

No comments:

Post a Comment