Selamat sore, kamu..
Maaf, aku baru menyapamu sekarang, saat bulan Januari sudah berjalan hampir separuh. Bukannya aku lupa, ingatanku tak sebebal itu. Keterlambatanku ini lebih karena aku bingung, tak tahu harus bagaimana menyapamu. Kamu tahu sendiri kan.. aku tak terbiasa memanggilmu dengan nama saja. ‘Sayang’? ah, aku sudah tak berhak atas panggilan itu. ‘Kamu’ saja, semoga terbaca wajar.
Seperti janjiku, saat bulan Januari tiba, saat hujan sedang turun dengan derasnya, aku akan mengirimkan sebuah kabar untukmu. Kabar yang selalu ingin kamu dengar baik, walaupun sebenarnya tanpamu aku tak pernah bisa baik. Tapi tenang, saat ini aku baik-baik saja tanpa pura-pura. Keputusanku untuk sejenak menghilang dari hiruk-pikuk ‘kita’ sepertinya tepat.
Satu tahun adalah waktu yang sangat lama untuk kulewati seorang diri, meninggalkan segala kebiasaan ‘aku dan kamu’. Semuanya jadi terasa semakin berat saat aku harus merelakanmu berbagi pelukan dengan wanita lain yang pelukannya mungkin saja lebih hangat dari pelukanku. Bagaimana rasa wanita itu? Apakah kata ‘aku terpaksa’ yang dulu sering kamu lontarkan masih berlaku?
Memang seharusnya sejak awal kamu menerima takdir -tak bisa bersatu- kita dengan lapang dada. Karena toh aku yang lebih terluka. Pernikahan yang katamu ‘terpaksa’ itu hanya menyakitiku pada akhirnya. Seorang diri aku harus menyembuhkan sakitnya kehilangan. Sementara kamu, ada wanita itu, juga ada bayi mungil yang baru saja kau adzani, buah cintamu dan wanitamu. Kamu sudah sembuh lebih dulu. :)
Aku tidak sedang menyudutkanmu, karena memang ini semua campur tangan takdir. Aku hanya ingin bilang, kamu sudah tak perlu lagi menjadikanku beban rasa bersalahmu.
Dia sudah datang. Aku telah menemukannya, laki-laki yang katamu akan bisa menjagaku lebih baik, yang tak pernah terlambat memarkirkan sepeda motornya di depan rumahku. Laki-laki yang akan menggenggamku erat, tak ingin sedikpun jauh meski dengan kata ‘terpaksa’.
Hujan yang turun sejak empat bulan lalu, mengguyurku deras. Seolah sedang menamparku bahwa aku bukan satu-satunya yang bisa menangis keras, deritaku tak ada apa-apanya dibanding derita langit. Dan kini, bersama hujan yang mulai reda, aku menuai pelangi. Tuhan memang selalu adil.
Terimakasih atas kekuatan yang tanpa sengaja telah kau rasukkan dalam jasadku. Terimakasih atas kisah indah yang tak benar-benar indah pada akhirnya. Kini aku jadi tahu benar, indah itu seperti apa.
Maaf, aku baru menyapamu sekarang, saat bulan Januari sudah berjalan hampir separuh. Bukannya aku lupa, ingatanku tak sebebal itu. Keterlambatanku ini lebih karena aku bingung, tak tahu harus bagaimana menyapamu. Kamu tahu sendiri kan.. aku tak terbiasa memanggilmu dengan nama saja. ‘Sayang’? ah, aku sudah tak berhak atas panggilan itu. ‘Kamu’ saja, semoga terbaca wajar.
Seperti janjiku, saat bulan Januari tiba, saat hujan sedang turun dengan derasnya, aku akan mengirimkan sebuah kabar untukmu. Kabar yang selalu ingin kamu dengar baik, walaupun sebenarnya tanpamu aku tak pernah bisa baik. Tapi tenang, saat ini aku baik-baik saja tanpa pura-pura. Keputusanku untuk sejenak menghilang dari hiruk-pikuk ‘kita’ sepertinya tepat.
Satu tahun adalah waktu yang sangat lama untuk kulewati seorang diri, meninggalkan segala kebiasaan ‘aku dan kamu’. Semuanya jadi terasa semakin berat saat aku harus merelakanmu berbagi pelukan dengan wanita lain yang pelukannya mungkin saja lebih hangat dari pelukanku. Bagaimana rasa wanita itu? Apakah kata ‘aku terpaksa’ yang dulu sering kamu lontarkan masih berlaku?
Memang seharusnya sejak awal kamu menerima takdir -tak bisa bersatu- kita dengan lapang dada. Karena toh aku yang lebih terluka. Pernikahan yang katamu ‘terpaksa’ itu hanya menyakitiku pada akhirnya. Seorang diri aku harus menyembuhkan sakitnya kehilangan. Sementara kamu, ada wanita itu, juga ada bayi mungil yang baru saja kau adzani, buah cintamu dan wanitamu. Kamu sudah sembuh lebih dulu. :)
Aku tidak sedang menyudutkanmu, karena memang ini semua campur tangan takdir. Aku hanya ingin bilang, kamu sudah tak perlu lagi menjadikanku beban rasa bersalahmu.
Dia sudah datang. Aku telah menemukannya, laki-laki yang katamu akan bisa menjagaku lebih baik, yang tak pernah terlambat memarkirkan sepeda motornya di depan rumahku. Laki-laki yang akan menggenggamku erat, tak ingin sedikpun jauh meski dengan kata ‘terpaksa’.
Hujan yang turun sejak empat bulan lalu, mengguyurku deras. Seolah sedang menamparku bahwa aku bukan satu-satunya yang bisa menangis keras, deritaku tak ada apa-apanya dibanding derita langit. Dan kini, bersama hujan yang mulai reda, aku menuai pelangi. Tuhan memang selalu adil.
Terimakasih atas kekuatan yang tanpa sengaja telah kau rasukkan dalam jasadku. Terimakasih atas kisah indah yang tak benar-benar indah pada akhirnya. Kini aku jadi tahu benar, indah itu seperti apa.
Kediri, 14 Januari 2013
Nita Aprilia
oleh @nitawanita
Diambil dari http://wanitatakbersayap.wordpress.com
No comments:
Post a Comment