Untukmu, yang senyumnya selalu menenangkan.
Apa kabar kamu di negeri nun jauh sana? Apa kabar hatimu? Masihkah bersabar merinduku? Kamu jangan terkejut, ya. Selama 30 hari kedepan aku akan menuliskan surat untukmu. Surat yang akan menyampaikan kerinduan - kerinduan yang belum sempat tersampaikan. Ah, iya. Anggap saja suratku ini hadiah karena salah satu proyek besarmu terlaksana bulan depan. Aku senang, aku bangga. :)
Hai, kamu.
Setahun lalu aku ingat, dunia maya mempertemukan kita. Sebagai teman bicara, awalnya. Aku yang hatinya baru saja patah dan belum sembuh benar, bertemu kamu, yang juga tengah melangkah untuk memulai kehidupan baru usai dunia menguji ketabahanmu.
Kita bertukar cerita. Aku lebih dahulu. Aku meluapkan betapa aku sakit hati dikecawakan oleh mantan lelakiku. Sesekali menangis. Ah, aku jadi malu mengingatnya.
Kamu bercerita tentang bagaimana hatimu sakit tertuduh, batinmu lelah dicibir, karena kesalahpahaman yang tak kunjung reda. Suaramu begitu tenang bercerita, aku heran. Kamu tidak tertekan sama sekali saat itu. Kemudian kamu bilang ...
"Saat aku mengalami masa - masa sulit, aku berdoa. Karena ketika aku berdoa, semua kesulitan yang tengah aku hadapi seolah lenyap"
Aku tertegun. Kamu bukan laki - laki biasa. Aku, kemudian menelan segala keluhan tentang masa lalu percintaanku yang pahit. Aku sadar bahwa dunia akan lebih keras mendidik kita. Dan persoalan putus cinta bukanlah persoalan besar yang pantas untuk kita tangisi dan keluhkan berlarut - larut.
Mulai malam itu, aku menemukan orang yang tepat untukku berbagi cerita. Aku menemukan tempatku membuang keluh. Aku menemukan laki - laki dewasa yang akan menuntunku menjadi pribadi lebih baik. Aku menemukanmu.
Hai, kamu.
Ini baru surat pertama, dan ini baru cerita tentang pertemuan kita. Tapi aku sudah hampir gila karena begitu merindumu. Semoga kamu senang membacanya. Semoga ruang rindu mempertemukan jiwa kita.
Dariku, yang tengah merindumu.
Oleh: @upisufia
Diambil dari http://upisufia.blogspot.com
No comments:
Post a Comment