Baru aku tahu kalau rasa mampu membuat orang terlihat konyol, dan tolol. Agak kejam memang, tapi setidaknya itu yang aku rasa dan aku menujukan kata konyol dan tolol tadi untuk diriku sendiri. Bagaimana tidak, sejak memutuskan untuk mengikuti jejakmu dalam mikro-bloging yang kita sebut sebagai twitter, menyandang gelar sebalgai stalker-mu, dan inilah aku.. aku seperti memiliki keahlian baru. Iya, keahlian untuk menghidupkan sosokmu yang tak nyata di depan mata, menjadi begitu hidup ditumpukan isi kepala.
Coba ikut bayangkan, aku yang beberapa kali membayangkanmu datang dengan seragam kantormu yang di sudut kanan atasnya ada lambang salah satu televisi favorit jutaan mata masyarakat Indonesia, dengan tersenyum sambil menggenggam kopi kalengan favoritku, mendapatiku yang sudah menantimu dengan banyak rindu yang siap gugur di pelukmu. Setelah itu kita akan memutuskan untuk makan siang di mana, atau akan ke mana pada malam hari setelah kau selesai bekerja. Lalu entah di mana dalam bayanganku itu, kita duduk berdua. Bercerita banyak hal tentang hidup dan pembelajaran di dalamnya. Melihat koleksi foto di kameraku, melihat program kerjamu di salah satu komunitas yang kau pimpin, saling memberi penilaian terhadap kopi yang kita minum berbeda setiap harinya, memuja makanan Medan yang tiada duanya, Kritis terhadap lagu dan film, mengangungkan beberapa penulis dan karya tulis mereka, hingga sampai menyatukan pemahaman tentang Tuhan.
Ah kan, ini bahaya. Belum apa-apa aku sudah menjabarkan apa saja dan bagaimana hidupnya kamu di kepalaku. Entah seperti apa hebatnya isi kepalaku ini, entah teknologi apa yang ada di dalamnya, sehingga aku bisa menghafal keras garis wajahmu. Mungkin ini yang dinamakan kekuatan rasa. Dan mungkin juga karena rasa ketidaksukaanku pada matematika dan statistika, menghafal rumus-rumusnya jauh terasa lebih sulit jika dibandingkan dengan keharusan untuk menghafal garis wajahmu.
Sesosok kamu yang kini hidup dalam kepalaku mampu muncul kapan saja, bahkan saat aku sedang tak butuh kehadirannya. Namun ini jugalah yang menggedor keras kesadaranku bahwa; Pertama, aku butuh fakta. Dan faktanya, aku di dalam hidupku tidak memiliki cerita apapun tentangmu. Kedua, karena ini di luar akal, maka jikalau aku harus mencintaimu, aku tidak hanya akan mencintaimu dengan logika.
Bagaimana, kesadaranmu masih penuh kan? Masih belum lelah berhadapan denganku? Hahaha.. Tidak usah dipikirkan. Karena pertanyaan-pertanyaanku tadi tidak menuntut jawaban yang nyata. Duduk diamlah, rasakan, simpan rapi di dalam hati, dan beri aku senyuman.
Yang tak menginginkan lelah mengagumimu,
oleh @siitiikaa untuk @bagusbaron
diambiil dari http://tikazefanya.tumblr.com
No comments:
Post a Comment