17 January 2013

Tuhan Menutup Angkaku di duatujuh Untukmu

tegar, anakku lanang. lelaki yang lanang seperti ayahnya. manusia yang tegar seperti namanya. tegar lanang. duapuluhtiga tahun usianya kini, dan Tuhan telah mengambilku untuk bersama ayahnya lagi. hanya agar tegarnya sempurna. aku yakin dia paham. aku yakin dia tegar.

selamat menjadi duatiga, sayang.

ini ibu. maaf, sudah sembilanbelas tahun dan baru hari ini ibu menyapamu.

apa kabar, anakku lanang? ibu yakin kamu tumbuh menjadi lakilaki seperti ayahmu. mbah putri dan om adli pasti menjagamu dengan baik.

sayang, jangan dulu berhenti membaca. ibu ingin bercerita, agar kamu mengerti bahwa ayahibu tidak pernah meninggalkanmu pergi.

tegar lanang, lima tahun sebelum dilahirkan ibu, perjalananmu sudah dimulai. usia ayahmu kala itu tak lebih dari duapuluh tahun ketika memutuskan untuk mengenalkan ibu pada kedua orangtuanya, nenekkakekmu. ayah dan ibu akhirnya menikah empat tahun kemudian tanpa persetujuan keluarga ayahmu.

cah bagus, priandaru damar pramana adalah lelaki yang tigapuluh tahun lalu menemukan ibu dan berbagi hidupnya dengan milikku. ayahmu, le, cinta pertama dan satusatunya ibu. ia malaikat Tuhan yang dikirim sebagai jawaban atas doa seorang perempuan yang berahim dan mencinta dengan penuh dan setia.

priandaru lelaki lanangku. karena ibu ayahmu dituduh tidak berbakti. ditiadakan dan tersakiti. tapi yakinlah le, cahbagus, kami bahagia bersama. dan memilikimu dalam rahim ibu kala itu adalah kebahagiaan kami yang sempurna.

anakku lanang, ayahmu adalah sebaikbaiknya lelaki. Tuhan begitu menyayanginya. tujuh bulan kamu dalam kandungan ibu ketika menemani ayahmu berpulang dengan damai padaNya. ayah berkata, dia bahagia memiliki kita. ayah berkata dia mencintai kita, le. selalu. selamanya.

dua bulan kemudian kamu lahir. tepat diusia ibu yang ke duapuluhtiga. tegar lanang. begitu kamu ku namai. tanpa kata priandaru seperti nama ayahmu. tidak ada kata pramana yang adalah nama keluarga ayahmu. kamu anak ayahibu. yang lanang, yang tegar. begitu doa ibu.

empat tahun Tuhan memberi kita waktu. setelah kepergian ayahmu, kebahagiaan ibu adalah menemani dan memastikanmu bertumbuh dengan baik. ibu tidak pernah ingin meninggalkanmu, le. tapi tubuh ibu tidak mampu melawan sakit.

tegar lanang anakku sayang, ibu mencintaimu. selalu. selamanya. sebagaimana ayahmu mencintai kita. teruslah hidup dengan baik dan dalam kebaikan. setialah pada Tuhan, kebenaran dan satu wanitamu nanti.

tidak akan berhenti pada angka berapapun, kami mencintaimu. menjagamu dari sini. ayahibu cinta kamu, cah bagus. selalu. selamanya

w.


Oleh @bulantemaram
Diambil dari http://duatujuhdesember.tumblr.com/

Tetaplah di Sini

Mana?
Kok tidak ada
Hem, mungkin dia sudah bosan.
Haha, sama saja.
 
Pagi ini aku membaca surat darimu, baru saja. Sedikit senyum tertarik di sudut bibir, perasaan senang kembali hadir, perasaan yang menghapuskan ketakutanku akan kepergianmu. Ah, kamu tetap disini.

Kalimat awal diatas adalah pertanyaan dari hati, tercetus setelah satu harian kamu tidak menyapaku dari media apapun. Aku menunggumu tahu, aku melihatmu berbicara dengan orang lain, tertawa dengan satu atau dua pria, tapi bukan kepadaku. Kenapa? Kamu lupa? Awalnya hati berusaha memprovokasi, karena ia memang suka sekali dipermainkan, dasar hati…tidak jera sama sekali. Tapi kemudian logika mengambil alih, memberikan penerimaan akan ketiadaanmu kemarin. Kan kamu bukan siapa-siapa bagiku, ya toh? Jadi aku mulai melakukan aktifitasku kembali, dan melupakanmu.

Tapi, haha..pagi ini kamu ada! Pagi ini aku membaca sapaanmu yang mempertanyakan apakah sudah membaca surat dariku, senang…dengan tergopoh aku menghidupkan komputer dan mulai membaca kalimat satu persatu. Senyum puas kurasakan setelah membacanya, senyum yang sedikit tadi, ingat? Senyum itulah yang menyemangatiku untuk membuat balasan kepadamu, surat yang sedang kaubaca ini.

Aku senang dengan panggilan baruku yang kau berikan, “kekasih bait”, terdengar seperti aku adalah sosok yang mampu menghadirkan barisan kata demi kata yang membentuk kalimat untuk menemani langkahmu menghadapi hidup, luar biasa, penempatanmu atas hadirku benar-benar membuatku tersipu. Untung ini media tulisan, sehingga kamu tidak bisa melihat wajahku yang memerah sedari tadi.

Aku senang dengan pemahamanmu akan diriku, semoga aku bisa bergerak cepat menjadi pria seperti yang kau gambarkan, menjadi pantas untuk seseorang yang pantas. Doaku yang sama untukmu juga.

Oh ya, jangan takut menjadi gila. Kata demi kata yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan perasaan nyaman dan puas bagi seseorang yang membacanya itu bukanlah gila, itu mukjijat kalau kataku. DIA memberikan beberapa keahlian khusus yang berbeda-beda kepada makhluk yang diciptakan-Nya, dan untuk kasus kita mungkin itu berupa pemujaan besar terhadap sastra. Masa untuk hal itu kita dibilang gila? Berarti secara tidak langsung mereka menghina-Nya, biarkan saja.

Aku senang dengan kesediaanmu membagi mimpi denganku, ibukota dan aku menantimu dengan baik. Tenang saja, DIA pasti juga akan memberikan ijin untukmu kemari bahkan sebelum kau melakukan transaksi dengan-Nya, karena tidak pernah ada satupun “kata-kata” DIA yang menginginkan ciptaan-Nya tidak bahagia. Tuhan itu penyayang dan pemberi kebahagiaan, yakinlah akan itu.

Eh, kehadiranmu dalam hidupku juga salah satu bukti nyata kemurahan hati DIA loh. Ya kan?

Bodoh.
Bodoh.
 
Bodoh, bodoh sekali kalau kita tidak menyadarinya. Karena itu tetaplah menyapaku dalam harimu, melupakanku tidak akan menjadikan segalanya lebih baik, tetaplah disini.

Bagiku mencintaimu itu sudah biasa @siitiikaa , mainstream seperti kebanyakan orang yg pernah melakukannya.

Dariku @bagusbaron ,seseorang yang tidak mungkin bisa habis untuk dimengertimu.


Oleh @bagusbaron
Diambil dari http://penulisjumat.wordpress.com

Namai Saja Sesukamu

Tentu saja ada mula. Dan awal seringnya begitu lucu. Bagaimana dua orang dipertemukan, garis hidup yang diizinkan bersinggungan. Pada titik waktu yang entah beberapa, entah seterusnya.

Bukan tiba-tiba kamu di situ. Mengikuti arah mataku bermuara. Bukan pada oranye senja, bukan pula kelam berserakkan bintang. Hanya biru dengan pancar matahari yang bersiap meredup, dan awan yang enggan menggumpal. Tenang, itu langit yang kita suka. Kesamaan yang tak berani kuberi nama selain sebuah kebetulan.

Dan bukan tiba-tiba kamu di situ. Mengacaukan rutinitas dan mencipta kebiasaan baru. Demi beberapa saat bersama menatapi langit petang, berhiaskan burung yang satu-satu terbang. Lalu kita berkata-kata dalam diam. Berbicara dalam bahasa yang tak memerlukan suara. Saling memahami tanpa perlu menerjemah isyarat ataupun aksara. Masih, aku tak berani menamakannya apa.

Hati semestinya memang tak perlu ikut di dalamnya. Organ paling sulit dikendalikan, menghentak keluar dari dada, hendak turut menyicipi tenang dan bebas. Dengan sayap yang entah sejak kapan tumbuh di punggungnya, terbanglah ia membelah angin seirama dengan kepak pipit yang sedang melintas. Berputar, bernyanyi riang. Sesekali berhenti, mengecup bibirmu.

Petang ini, seperti yang sudah-sudah, masih ada aku, langit yang tenang, dan burung yang satu-satu terbang. Bukan tiba-tiba kamu tak lagi ada di situ, aku tahu. Masih selalu di genggaman selembar foto yang terakhir kau tinggalkan; sebentang biru dengan matahari yang bersiap meredup, awan yang enggan menggumpal, dan kepakan sayap terbang menjauh. Saat itu, segera ku raba hatiku. Hilang.

Dalam ketidakmengertian yang hingga kini, masih saja kurasakan kekosongan ini…,

yang jika saja sebelum pergi, kau sudi memberinya nama.


Oleh @beatricearuan
Diambil dari http://beatrice-aruan.tumblr.com

Menunggumu Terbangun

Selamat Pagi Sayang…
Kata-kata  sederhana yang selalu kuucapkan sebelum kau mengawali hari.
Mungkin kalimat itu telah jadi ucapan paling membosankan yang pernah kau baca.

Mungkin saat terbangun, kamu tersenyum melihat tulisan ini.
Mungkin kamu tersenyum, bergegas membacanya, dan membalasnya dengan kalimat mesra.

Mungkin ucapan ini yang selalu kau tunggu saat bangun pagi, dan tambah mencintaiku setiap hari.
Mungkin kamu langsung membayangkan senyumku yang cukup lelah menahan rindu.
Mungkin kamu membalas seadanya.
Mungkin kamu melihatnya, tapi urung untuk membacanya.
Mungkin kamu membacanya dan langsung memaki jarak, karna sudah terlalu muak.
Mungkin kamu membacanya, tapi terlalu bosan dengan hubungan yang  tak ada perubahan.
Mungkin kamu terbangun dan mengacuhkannya, lalu memeluk seseorang yang kau temui semalam.
Mungkin kamu membacanya, membalasnya, dan kembali memeluknya.
Mungkin kamu merasa bersalah membacanya, karna pagimu tak lagi sendiri, tapi kamu tak peduli, kau kembali memeluknya.
Mungkin kamu membacanya dan mencoba membalasnya, tapi dia lebih indah dari ucapan pagi bodohku, sehingga pesanku bisa dibalas kapan saja, pikirmu.
Mungkin kau tak sempat membaca ucapan ini, karna terlalu sibuk bercinta dengannya.
Atau mungkin, kamu tak pernah sadar bahwa ucapan ini ada?
16 Januari 2013
-Yang sedang menunggumu terbangun…-


Oleh @chikalalaki
Diambil dari http://chikalalaki.tumblr.com

(Bukan) Surat Cinta

Singkat saja, ini bukan surat cinta.
Sekali lagi, ini bukan surat cinta.
Walau aku mengikuti program #30HariMenulisSuratCinta, surat untuk hari ke-3 ini bukanlah surat cinta.

Ya, ini bukan surat cinta. Karena si penulis dan si penerima surat tidak sedang jatuh cinta, tidak sedang diberi ataupun memberi cinta, serta tidak saling cinta satu sama lain.
Ini bukan surat cinta. Bukan begitu, Aura Andaruni?

Tidak perlu berbasa-basi dengan pertanyaan 'apa kabar?', 'sehat kan?', maupun 'aku rindu kamu, kamu rindu aku juga tidak?' karena kita sama-sama tahu apa jawabnya. Apa? Kau tidak tahu? Oke... Mari kita sedikit menyegarkan otak dan menengok ke belakang.
Masih ingat pertama kali kita berkenalan? Lupa? Sama, aku juga.
Masih ingat pertama kali kita mengobrol? Masih? Hebat, aku bahkan tidak ingat.
Masih ingat pertama kali kita pergi bersama? Masih? Ah tentu saja, karena malam itu juga malam minggu pertama aku pergi dengannya dan aku memintamu untuk menemaniku, yah.. walau berujung gagal.

Dan masih banyak hal bodoh lain yang kita lakukan setelahnya. Tunggu dulu... kita? Kamu saja dengan semua tingkah lugumu yang membuatku tertawa serta setiap curhatan yang kau ceritakan dengan hebohnya. Masih berani mengelak? Tunggu sampai suaramu di telepon berhasil kurekam dan kuunggah di internet, hahaha.

Baiklah, kembali serius.
Aura, terima kasih telah menjadi sahabat yang baik selama tiga tahun ini. Terima kasih telah mendengarkan semua ocehan dan curhatan tidak pentingku. Terima kasih telah membolehkan aku ikut melakukan hal-hal bodoh bersamamu hingga kini. Terima kasih telah mempercayakan dirimu kepadaku.
Dan maaf. Maaf jika aku sering mencubit pipimu ataupun mengacak-acak rambutmu tanpa alasan; aku tahu kamu terganggu. Maaf jika kadang aku suka tiba-tiba muncul di depan kelasmu, tidak berkata apa-apa namun tersenyum, lalu pergi begitu saja. Maaf jika kadang aku tak bisa menjadi sahabat yang baik, yang mau mengesampingkan ego dan mendengarkan ucapmu. Maaf jika tingkahku berlebihan.

Ini ialah bagian akhir dari surat, aku akan mengambil kesimpulan.
Aku nyaman denganmu. Kamu tetap bodoh seperti ini pun, aku nyaman denganmu.
Semoga aku bisa menjadi teman yang lebih pengertian lagi untukmu. Semoga kau masih membolehkan aku menjadi bodoh sepertimu. Semoga kita sanggup membuat satu sama lain semakin nyaman. Semoga kita tetap bersahabat baik hingga tahun-tahun mendatang.

Aura Andarruni, kau ialah sahabat yang baik.

Ah iya, satu lagi.
Ini bukan surat cinta.
Dan berhubung nama kita sama-sama berinisial "AA", mengapa kita tidak berjodoh saja?





Teruntuk,


Aura Andaruni Sudar
 
Oleh @AdotAdinata untuk @aurunni
Diambil dari http://adityadinata.blogspot.com

Kau Adalah Sekejap


Dear playboy kecilku...

Untuk pertama kalinya aku menulis surat cinta untukmu. Bacalah sebentar saja dan temuilah aku untuk berbincang tentang masalalu.

Aku percaya cinta pada pandangan pertama itu memang ada. Ya, itu yang tepat aku rasakan setahun lalu saat mengenalmu. Kita bertemu di Starbuck favorite kita. Aku percaya Tuhan mempertemukan kita memang untuk disatukan, meski hanya sekejap.

Kau adalah sekejap yang singgah dihatiku..

Kau adalah sekejap yang tak bisa kumiliki selamanya..

Kau adalah sekejap yang memberikan tawa, sebelum akhirnya pergi meninggalkan luka..

Kau adalah sekejap rinduku bermuara..

Kau adalah sekejap alasanku bahagia..

Mungkin kau memang sekejap hadir di kehidupanku, tapi rinduku padamu masih menetap di hati dan pikiranku hingga saat ini. Aku masih memperjuangkan kita meskipun sendiri. Aku masih terus melantunkan doa agar semesta bisa menyatukan kita. Aku masih berharap diatas bahagiamu sekarang bersamanya.

Silahkan tertawa atas kekonyolanku ini. Beruntunglah memiliki pengirim rindu setia seperti aku. Terkadang aku juga sulit membedakan antara bodoh/ sayang. Keduanya saling ingin mempertahankan kita..

Cinta denganmu sangat indah. Tak ada yang memperhatikanku sepertimu.

Cinta denganmu sangat berbeda. Sekejap namun selamanya menetap.

Terimakasih, untuk semuanya di bulan Januari 2012. 

Menolehlah sebentar kebelakang, aku masih menunggumu disini, ditempat pertama kali kita bertemu..

Bayu Dio Maulana :)


Oleh: @ucuukh
Diambil dari http://satuankata.tumblr.com/

Bersaing Dengan Hujan


Sore ini aku melangkah ke rumahmu membelah hujan
Dengan meneteng sebantal kue dan sebongkah kertas berwarna ungu aku lantang melaju kedepan.
Dingin dan basah ..
Namun tak apa, itu bukan alasan untukku berhenti walau resah

Hujan sampai pada puncak murkanya
Angin yang memuja hujan berusaha meredam
Namun bukannya hujan mereda
Malah hujan membuat jalanku tergenang dan tenggelam

Aku curiga .. 
Hujan pun mencintaimu seperti aku mecintaimu
Aku kecewa ..
Hujan menghalangiku bertemu denganmu karena amarah cemburunya kepada aku

Aku wanita tangguh berpayung tekad tak mau kalah dengan hujan
Ini seperti kompetisi aku dan hujan ..
Aku harus mengalahkan hujan untuk mendapatkan pria di baliknya
Aku harus mencabik dan merobek hujan terlebih dahulu untuk menjemput pelangi yang bercahaya

Kini aku telah menang ..
Sudah nampak senyum di bibirnya yang begitu terang
Pelangi yang ku jemput tertawa senang dan riang
Kemudian hujan meremang dan aku merasa tenang

Selamat ulang tahun dear mbul ..
maaf saja hujan bukan tandinganku untuk bersaing mendapatkan kamu ..


Oleh: @zaujahmuth
Diambil dari http://zaujahmuthiah.blogspot.com/

Extremely Short & Incredibly Deep


Maaf, tidak bisa tulis banyak.

Pekerjaan menumpuk,

Deadline skripsi memburu,

dan bodohnya,

aku masih sempat memikirkan kamu.



P. S.: Painfully missing you, still.



16 Januari 2013


Oleh: @_rannah
Diambil dari http://rannasubhan.tumblr.com/

Burung Gereja


Dear Burung Gereja

Sudah lama hidup?
Bagaimana rasanya padi?
Susah nggak makan sambil diteriaki petani?
Pernah kena lempar batu?

Ah… baiklah, aku dulu yang cerita. Aku anak kesatu dari dua saudara. Aku belum pernah makan padi, kecuali sudah menjadi nasi. Rasanya enak, tapi, lebih enak jika ditambah kecap manis dan telur mata sapi setengah matang. Apalagi dengan bawang goreng. Uuuuhhh sedap! Mama sering buatkan aku, itu. Seringnya cuma itu.

Oh, aku sudah lama hidup, sudah 7 tahun. Kau pasti belum setua aku kan? Tubuhmu kecil sekali. Apa kau akan sebesar ayam ayahku jika kau berumur 7 tahun? Atau akan sebesar aku?

Aku tidak pernah makan sambil diteriaki petani, karena aku tidak pernah makan padi di sawah mereka. Tapi, aku sering diteriaki ibuku, “Sonyaaaa pulaaaangg!! Makaaan!!!” Seperti itu. Tapi ibuku petani, jadi kurasa, akupun pernah diteriaki petani.

Kurasa kau tak pernah kena lempar batu kan? Karena kau masih terbang bebas. Aku pernah, dua hari yang lalu. Saat itu petani sedang melempari kalian dengan batu. Menggunakan alat pelontar. Alat pelontar itu sederhana, terbuat dari kayu dan setengah botol akua. Lemparan petani itu terlalu jauh. Aku kena. Lalu baru saja bangun setelah dua hari tak sadar diri.

Begitu saja dulu ya Burung Gereja, aku mau tidur lagi, kalian jangan nakal lagi, kasian petani.

- Perempuan kecil di balik jendela -


Oleh: @ulansabit
Diambil dari http://punyaulan.wordpress.com

Kamu Semestaku


Kamu semestaku,
aku tau aku berubah,
aku mempunyai debar jantung yang lebih cepat dari biasanya saat bersama kamu,
padahal hal yang kita lakukan sama seperti biasanya,
duduk,tertawa,atau saling meledek,

kamu semestaku,
aku tau aku berubah,
aku menghabiskan waktu lebih lama untuk sekedar membalas pesan singkatmu,bahkan berjingkat saat kamu membalasnya,

kamu semestaku,
aku tau aku berubah,
aku mulai menyembunyikan perasaan dan tidak memberi tau kamu apa yang aku rasakan,
aku menjadi tiga ratus juta kali lebih berhati-hati,
mengobrol dengan isi kepala, lalu akhirnya lelah dengan prasangkanya,

kamu semestaku,
aku sedih sekali, mungkin jika saat ini aku katakan aku merindukan kamu sahabatku, tidak ada orang yang akan percaya,padahal aku sungguh-sungguh,
sungguh aku heran, apakah setiap orang berpikir,menyukai sahabat artinya mengilangkan rasa sayang akan persabahatan itu sendiri?
picik sekali

kamu semestaku,
aku rindu bercerita, berkeluh kesah,
kamu sudah tau, kamu lebih berharga dari apa saja dalam isi kepala dan perasaanku,
aku tau kamu sudah tau, yang ingin aku tanyakan, kamu ingatkan?
dan yang ingin aku tekankan, hal itu yang tidak akan pernah berubah.

kamu semestaku,
kadang aku bingung apa yang salah,
bukannya itu hak Tuhan untuk mempertemukan dua manusia?
Hanya saja salah satunya lewat pertemanan,

Kamu semestaku.
Yang harusnya menjadi yang pertama tau tentang segala sesuatuku,
Tidak seperti akhir-akhir ini, harus menjadi yang harusnya tak tahu,
susah sekali rasanya,seperti bernafas dalam air,
aku sudah bertanya, tak cukup sekali,
namun tak pernah cukup meredakan haus,
aku lelah,pun aku takut,
kadang aku memutuskan menyimpannya sendiri,
kecuali kamu mau mendengar dan bicara,
kamu semestaku,
aku harus apa?


Oleh: @ultranyil
Diambil dari http://rainyinthebottle.blogspot.com/

Entahlah, Masih Tetap Kamu

Sehabis kembali dari kampus
Selamat sore, waktu di jam tangan digitalku menunjukkan pukul 16:14 saat ini.

Lembayung senja sudah mulai menggerogoti langit biru yang sedari tadi sendu dipayungi awan hitam yang seakan perkasa gagah menurunkan rintik kecil ke atas bumi ini.
Dingin ini membawaku kembali ke dalam ingatan memori masa lalu, saat aku bersua denganmu, saat masa putih abu-abu, saat masa malu-malu untuk ungkapkan sesuatu yang tersangkut di kalbu, ya masa SMA di saat jatuh cinta membuat lidah kelu dan diri membeku.

Senyumku sadarkanku bahwa 7 tahun ini otakku tak bisa lepas dari bayang dirimu, entah kenapa bisa terkungkung tak terlepas, entah kenapa tak bisa lari pergi malah berjalan di tempat.
Aku tak bisa move on ? Halah, persetan dengan kata itu. Nasihat banyak orang untuk lupakan sosokmu kian buatku terjerembab tak ada daya. Sudah jelas aku ini cinta kamu. Kamu cinta aku. Hanya saja retak kecil buat kita menjauh dari sebuah ikatan. Tautan tangan pun terlepas, aku terlempar ke utara bersama hatiku, kamu terlempar ke selatan bersama sanubarimu. Jauh!

Aku coba untuk turut apa ucap sahabatku. Memulai kisah baru dan coba untuk hapus goresan kisah indah kita dahulu.
Tapi! Apa?!
7 tahun! 3 cinta pernah tertambat di hatiku! Tapi! Setelah itu aku masih tetap saja mengingat kamu!

Dear kamu.
Gerimis tadi memang tak buatku basah, tapi gerimis tadi kuyupkan ingatan dan hatiku.
Kenangan saat kita dahulu, bermain hujan untuk ungkapkan rasa bahagia. Saling berpelukan, hangatkan sepasang tubuh yang mencoba menantang hujan.

Hai kamu, surat ini memang hanya barisan kata yang tersusun menjadi kalimat rasa rinduku padamu. Entah kamu baca ini sederhana, atau sulit dimengerti. Tapi yang pasti, hari ini aku kembali mengingat kamu, kembali mengingat kita. Di atas panggung dunia ini, menari di atas gemericik air, berbalas menginjak genangan untuk saling membasahi, memberi satu hangat bagi kita berdua di saat hujan benar-benar menghantam baju hingga ke kulit kita.
Mendung dan hujan hari ini ingatkanku kepadamu.
Kenapa?
Entahlah, masih tetap kamu di hatiku.


dengan cinta dan sedikit tetesan air hujan :)
SC


oleh @sunoesche
diambil dari http://essayoflove.blogspot.com

Sketsa I : Saat Gerimis Tiba

Gerimis,

Tidak pernah sulit rasanya mengingat dan menceritakan tentang bagaimana pertemuan hingga bagaimana kita tercipta. Berawal dari perjumpaan tiba-tiba, setelah aku hanya dapat melihatmu dari dalam kafe.Sedangkan kamu asik menunggu hujan reda dengan sesekali memainkan tetesannya di punggung tangan kiri seolah dia menari dan tanganmu adalah panggung.

Kita memulai perkenalan dengan formal lalu mengakhirinya dengan obrolan-obrolan normal, mulai dari percakapan tentang hujan yang memiliki nyawa hingga kesukaanmu pada gerimis. Tentu dari awal mengenalmu aku tidak sangsi dengan kesukaanmu terhadap gerimis, kamu begitu cinta dengan tetesannya. Katamu, Tuhan menciptakan hujan untuk mereka yang mencari ketenangan, dan gerimis bagi mereka yang senang dengan hal-hal romantis.

Aku melanjutkan, bahwa air itu zat yang hidup. Air selalu bereaksi dengan omongan dan suasana hati yang memilikinya, jadi jangan heran jika ternyata ada minuman yang telah didoakan kemudian ampuh itu bukan karena mantra yang sakti tapi karena air selalu merespon tindakan manusia. Kamu keheranan ketika aku mengatakan hal ini. Kita memang berada di dua kutub yang berbeda, kamu berada di kutub selatan dengan segala metafora dan khayalan sedang aku di kutub utara dengan segala ilmu pengetahuan dan logika.

Tapi rupanya, seperti mangnet yang menyatu jika didekatkan dengan dua kutub yang berbeda, kita melekat dalam magnet berbentuk hati. Aku ini makhluk logis yang meleleh dengan makhluk romantis. Entahlah, siapapun yang melihat kita akan iri karena sejatinya yang kita cari adalah pasangan yang darinya kita menemukan diri kita utuh tercermin. Aku menemukanmu, si sisi romantisku. Aku mencintaimu, Rinai. Sekarang seharusnya kamu tahu kenapa kamu begitu mencintai gerimis.



Tertanda,

aku si makhluk logis dengan cinta yang tak pernah habis




oleh @sedimensenja
diambil dari http://sedimensenja.wordpress.com

Surat Cinta Edisi Perdana

Dear @PosCinta..

Haaaiii @PosCinta, salam kenal dari saya ya. Ini adalah surat cinta pertama yang saya tulis pada #30HariMenulisSuratCinta, dan ini adalah kali pertamanya saya berpartisipasi mengikuti proyek ini. Nah, maka dari itu, surat yang pertama saya tujukan buat @PosCinta yang telah dengan setia menampung surat demi surat, meskipun jumlahnya nggak sedikit J

Seharusnya hari ini saya udah nulis tiga surat, tapi karena baru kemarin saya tau infonya, makanya saya baru nulis satu surat. No problemo kan ya? Kan lebih baik telat, dari pada nggak sama sekali, hehehe.

Oh iya, saya juga mau ngucapin terimakasih karena udah ngadain proyek yang kreatif begini. Dengan ikut proyek ini jadinya bisa nambah semangat buat nulis, terutama nulis di blog, dan kita juga dituntut untuk lebih kreatif. Selain itu jadi ajang nostalgia jaman-jaman SD dulu, pas belum ada telepon selular, surat-suratan masih nge-trend banget tuh! Bahkan dulu saya pernah nulis surat buat gebetan, tapi karena saya nggak berani ngasih suratnya, ya akhirnya surat itu cuma saya simpen di lemari. Eh, malah ketahuan sama ibu, habis deh saya, diomel-omelin -_-

Jangan kaget gitu dong denger cerita saya! Anak SD kan juga manusia, jadinya nggak salah dong kalo bisa naksir sama orang lain, hahaha. Tapi itu masa lalu kok, cintanya anak SD lah, cinta monyet. Tapi sampe sekarang kalo ketemu sama mantan gebetan masih malu-malu juga, malu karena inget jaman SD dulu. Hahaha, sumpah deh, nggak nyangka ternyata pas SD saya gila juga ya? Kalo pas SD udah gila, sekarang gimana? Masih gila yes? NGAHAHAHAHA *ups

Yap! Segini dulu deh suratnya, kalo diterusin kayaknya bakalan malu-maluin diri saya sendiri deh. Cukup sekian dan terimakasih, terimakasih telah membaca surat cinta pertama saya, surat cinta perdana lho ini J

Salam kenal,
Dari orang yang selama 27 hari ke depan selalu mengisi kotak pos-mu


oleh @sintrooong untuk @Poscinta
diambil dari http://agustinasss.blogspot.com

Seseorang di Sydney

Udah lumayan lama, nggak berhubungan sama kamu. Sibuk banget ya kuliahnya? kamu juga jarang buka twitter ya sekarang? Biasanya kita saling bertatap muka walau cuma lewat skype, tapi lumayan lah yang penting aku masih bisa lihat muka kamu yang pipi nya tembem banget itu. Gimana disana? betah kan? di Sydney masih banyak orang Indonesia nya kan? Semoga kamu cepat ya beradaptasinya. Banyak hal yang mau aku ceritain ke kamu, nanti ya kalau kamu pulang kesini kita harus cerita-cerita. 

Aku lagi kangen nih sama kamu. Cuma bisa dengerin voice note kamu aja. Untung ya dulu kamu hampir setiap hari ngirimin aku voice note suara kamu lagi nyanyi, itu masih aku simpen semua lho. Kamu sehat kan disana? Lagi musim dingin ya? Kamu jangan telat makannya, kamu kan punya sakit maag jadi jangan sampe kambuh. kalau keluar rumah harus lengkap pake baju hangat ya biar nggak masuk angin. Oh iya, waktu ulang tahun Didan kemarin, aku dateng tau. Tapi nggak ada kamu sih, jadinya aku sendirian. Eh tapi, aku ditemenin sih sama si your twin brother yang jailnya kebangetan itu. Si mamah juga bilang, nggak biasa jauh dari kamu dan sekarang harus jauh gini, ketemu cuma tiap lebaran aja. Dia keliatannya sedih banget, tapi kata mamah dia mau kamu jadi berhasil suatu saat nanti. Yi, kamu disana kuliahnya yang bener ya. Buat keluarga kamu dan aku bangga sama kamu. 

Aku bingung banget deh, si mamah tuh emangnya belum tau ya kalau kita udah
putus? Kita kan sekarang udah jadi sahabat deket ya, yi? Tapi si mamah nganggepnya kita masih pacaran, Aku mau bilang yang sebenernya, tapi bingung mulai darimana ngomongnya.
 

Yi, kamu disana baik-baik ya. Kalau bisa sering kasih kabar ke Jakarta. Online skype aja, pasti pada kangen sama kamu, begitupun aku. Suratnya kayaknya kepanjangan ya? Hehe biarin, aku kangen sih sama kamu. Udah deh, nanti kamu bosen bacanya. Terakhir pesan dari aku, Kamu jangan lupa sholat lima waktunya, yang rajin juga ya puasa senin-kamisnya.
Ich vermisse dich, Rayi.

Regards,
Talitha Brantya



oleh @talithabrantya
diambil dari http://merentangpelukan.blogspot.com/

Sahabat Lama

Selamat pagi sahabat lama,

Aku sudah jauh di perantauan, kalian juga sudah jauh dari pantauan.

Aku berdiam di satu kota yang dinginnya menusuk, dan menunggu seribu peluk. Seperti pagi ini.

Aku ingat, tentang Agustus hingga Oktober yang mengaburkan kota kita dengan penuh kabut. Di mana pagi-pagi dan malam-malam datang pada kita, terasa lebih kalut.

Bagaimana Agustus sampai Oktober tanpa aku di tahun yang lalu?

Kalau aku pulang nanti... aku hanya bisa janji.

Untuk duduk beramai-ramai di taman pinggir jalan nadi kota kita.

Terbaring di rerumputan. melempar petasan sambil berkejaran.
Bercerita tanpa arah, melempar canda tanpa ada marah.

Sahabat lama, lama aku tak menegurmu. Semoga di teguran selanjutnya kita tak jadi musuh.

 

Bandung, 15 Januari 2013


oleh @rizkymamat
diambil dari http://rizky-muhammad.blogspot.com

Apa kabarmu, Pa?

Selamat malam, Pa.
 

Apa kabarmu, Pa? Sehatkah di sana? Bodoh rasanya menanyakan kabar seorang ayah dengan cara begini, tapi bagaimana lagi? Aku terlalu jarang dapat menemukan sosokmu di dekatku. Kapan terakhir aku menyapamu, Pa? Kapan pula terakhir kamu memanggil namaku? Mungkin beberapa tahun yang lalu saat seragamku masih putih-biru dan masih baru. Dan sekarang aku sudah jadi pegawai.
 

Sekarang pukul dua dini hari. Aku terbangun karena mimpi tentangmu. Di mimpiku tadi, aku melihat sosok mudamu yang bermain dengan anak perempuan berumur lima tahun. Diriku sendiri. Apa kabar perut gendutmu yang dulu sering kupakai tidur? Apa kabar bahu gagahmu yang sering menggendongku dulu? Sudahkah kembali seperti asalnya? Karena terakhir aku melihatmu semua itu sudah memudar. Perutmu semakin buncit tapi badanmu makin kering. Bahu itu semakin turun, lunglai tak terurus lagi.
Pa, ingatkah dulu Papa sering mengajakku memutari kota Solo dengan bus tingkat milik Damri yang warnanya putih-biru itu? Dulu Papa sering mengajakku naik ke tingkat dua, menunjuk tempat-tempat menarik yang selalu aku lupa apa saja namanya. Dulu, duniaku itu ada di tangan Papa.
 

Bisa saja sekarang aku memencet nomor teleponmu di ponselku, menekan tombol hijau dan mendengar suaramu, tapi ini terlalu malam untuk mengganggu tidurmu yang biasanya beriring dengkur yang aku suka. Ah aku jadi ingat, betapa seringnya kumainkan hidungmu saat mendengkur dulu. Harusnya aku yang tertidur dengan dongeng Bawang Putih-Bawang Merah atau Ande Ande Lumut atau Si Kancil atau Timun Mas yang kamu bawakan dengan bahasa jawa yang fasih. Tapi di akhir cerita, kamulah yang tidur lebih dulu, Pa, dengan memelukku, lalu mendengkur.
 

Pa, sebelumnya aku sekalipun tidak pernah mengucapkan kalimat “Aku menyayangimu, Pa.” padamu. Aku terlalu jadi pemalu di hadapanmu. Menginjak dewasaku, saat bertemu pun, kita jarang membicarakan apa-apa. Sibuk dengan diam masing-masing. Aku bodoh selalu merasa malu mengungkapkannya padamu. Sekarang, kesempatanku menipis. Aku semakin jauh dari rumah tuamu di desa yang teduh itu, tidak seperti beberapa waktu yang lalu, rumahmu dan rumah Mama, hanya berada di kota yang bertetangga.
Sekalipun tidak pernah kuungkapkan, ku tahu kamu tahu, Pa, bahwa aku selalu menyayangimu. Aku merindukanmu. Merindukan wejangan-wejanganmu. Merindukan kesederhanaanmu. Aku merindukanmu. Papa.

I love you, Pa.
Anakmu yang bandel.
Arinda



oleh @PKPKarin
diambil dari http://arinddapratami.blogspot.com

Aku Tak Tahu, Res...


Hai, Res.

Selamat siang menuju sore, Res. Entah kenapa hari ini aku begitu resah dan tak bertuan. Bahkan tak tahu menahu jalan arah untuk pulang. Sebanyak apapun orang berlalu lalang, aku hanya mampu untuk berdiam diri. Kediaman ini membuatku terpacu dalam kehampaan. Aku sungguh tenggelam dalam keriuhan yang aku buat sendiri. Entah apa yang aku rasakan, Res.

Ada seseorang didepanku sekarang, Res. Seseorang yang begitu teramat menyebalkan. Tidak menyebalkan sih.. Hanya saja dia banyak bicara. Banyak cerita yang ia keluarkan dan aku tak mampu mengusirmu, Res. Aku berjibaku denganmu. Tidak, aku berjibaku dengan pikiranku sendiri dan kamu selalu ada disana, Res. Apa yang harus aku lakukan, Res? Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu pergi menjauh?

Kenapa kamu harus menyebalkan? Kenapa kamu harus mengangguku terus, Res?

Ah, dasar kamu Res. Resah Gelisah.



Semoga kamu pergi meninggalkanku,
Nyonya Pejabat




oleh : @nyonyapejabat
Diambil dari http://nyonyapejabat.com/aku-tak-tahu-res/

Untuk Kamu, Penikmat Kata!


Iya, untuk kamu, siapa lagi orang yang membaca surat ini selain kamu di sana.
Keget ya?
Sama. Aku juga kaget, kenapa tiba-tiba kepikiran nulis surat ini untuk kamu. Padahal kita enggak pernah ketemuan. Kamu ‘kan cuman penikmat kata yang enggak sengaja terdampar di blog remaja ababil ini. Niat menjejak kata pun tak ada, hanya sekedar ingin tahu, apa gerangan yang tertulis pada setiap halaman dan terbitan di lapak kumuh ini.
Tapi tetap terima kasih ya sudah mau bertandang! Tak mengapa jika hanya kerlingan yang kamu berikan; sekilas menatap heran pada pemilik-blog-narsis-yang-menempatkan-namanya-sendiri sebagai-domain-blog pun aku senang.
Maaf ya, untuk setiap kata absrud yang kusuguhkan di sini. Aku tahu kata-kataku tak lebih baik dari sekedar kumparan kertas usang di pelipir jalan. Tapi, aku begitu senang berbagi kisah denganmu. Seperti kawan lama yang sudah tak bertemu, tak ayal, aku pun ingin kita dapat bertukar pikiran dan saling menanggapi.
Tapi tetap terima kasih, kamu menyimak saja aku sudah senang.
Aku tak pernah berharap banyak darimu, kata kepala sekolahku saat upacara bendera bendera minggu lalu, “Bekerjalah tanpa pamrih.”
Jadi, aku pun berkisah tanpa mengharapkan balasan darimu.
Hihihi, aneh. Katakanlah aku ini aneh. Jika berkisah sendiri bukannya sama saja dengan orang gila?
Tapi mau bagaimana lagi, aku jarang memilik orang atau bahkan tempat untuk benar-benar berkisah tentang segalanya. Blog inilah satu-satunya tempatku untuk membuka diri dan menunjukkan siapa diriku sembenarnya—aku yang bersembunyi dibalik bongkahan kata-kata absrud ini.
Aku memang bukan orang yang terbuka, bercerita pada keluarga bahkan hal terakhir yang ingin aku lakukan (mungkin aku hanya tak ingin diceramahi tentang hidup zaman dulu, hahaha). Jadi aku bercerita dalam tulisan dan menaruhnya di sini, siapa saja boleh menyimak, dan punya hak untuk tertawa, mencemooh, atau apa pun itu.
Ada kolom komentar di bawah, dan kusediakan untukmu berkata-kata. Digunakan atau tidak, itu hakmu. Aku telah memberikan milikku, dan tak menuntutmu untuk melakukan hal yang sama.
Karena inilah cintaku padamu, Penikmat Kata. Kuberikan semua kata-kata yang kupunya; tanpa pamrih dan setulus hati padamu. Tapi jika ada setitik cinta yang ingin kamu beri padaku.
Sudikah kamu memberitahuku?
Si Pengumbar Kata,
Benedikta Sekar




oleh @Okage_de
diambil dari http://katakatadicta.wordpress.com/2013/01/16/pos-cinta-3-untuk-kamu-penikmat-kata/

Kepada Waktu Yang Tak Tahu Diri


Hei waktu, ini adalah keluhan dari pemakai jasamu, aku. Aku adalah pemakai jasamu, jasa penghitung setiap jeda yang kamu deskripsikan menjadi detik, menjelma menit, jam, hari, minggu hingga tahun tahun yang sudah berderet empat angka yang sangat banyak.

Kata kata ini akan berbaris membentuk kalimat keluhan bernada kesal, iya akhir akhir ini aku sangat kesal denganmu. Kenapa? Kenapa engga?

Kenapa kamu berlari seperti sprinter? Melesat cepat seakan memang ingin memecahkan rekor, apakah ada yang mengejarmu? Kenapa kamu tidak berlari santai seperti lansia yang melakukan lari di pagi hari demi menjaga kesehatan mereka? Berlari konstan tanpa terburu buru, toh tidak ada yang memburumu.

Aku semakin kesal dengan dirimu, mengapa hanya 24 jam dalam sehari? Tidak bisakah kamu berjalan 36 jam sehari? Aku tidak meminta banyak bukan?

Waktu, kamu sungguh tidak tahu diri. Berlari tanpa memedulikan aku (semoga banyak aku diluar sana yang merasakan hal yang sama).

Waktu, apabila kamu tidak bisa menambah jumlah angka dalam putaranmu, bisakah kamu memperlambat langkahmu? Aku butuh itu, tugas tugas kuliah dan tumpukan kerjaan memintaku melahapmu, sampai akupun tidak mampu membagimu untuk diriku, memanjakanku atau hanya sekedar merebahkan punggung dan memejam.

Waktu, tolong dipertimbangkan.

Salam,


Aku.



Oleh @miftachaliq
Diambil dari http://miftachaliq.blogspot.com/2013/01/kepada-waktu-yang-tak-tahu-diri.html

Tidak Sama Lagi


Hai kamu,

Mungkin surat ini akan langsung menyerang bagian paling sentimentil. Mungkin ini akan menusuk nadi lalu mematikan asa yang tertata rapi. Tapi kamu tidak akan merasakannya sendiri. Aku menemani lewat kehadiran yang transparan. Aku menemani lewat kekecewaan yang mulai merasuki.

Kita sudah sama-sama tahu. Kita pun sudah sama-sama takut ada luka baru yang berlanjut. Kita seperti yakin terhadap kisah yang sudah tak meyakinkan. Januari seperti penghentas segala janji. Tak pernah kurasakan perubahan perasaan secepat yang kini kita dapatkan. Angan-angan yang sempat berterbangan mulai jatuh perlahan-lahan. Hati memasuki masa transisi, lalu kita berada di tahap uji coba atas hubungan ini. Maaf atas luka mula-mula karena waktu yang kurang bekerja atas kita. Bukannya aku atau kamu yang kurang berusaha memperjuangkannya, tapi entahlah.. Kamu yang selalu jadi terdahulu lewat pencarianku yang masih berbentuk abu-abu, kini menjadi objek yang terlalu biasa dikadar mata hatiku. Kamu yang terselip dalam doa setiap jemari ini terlipat, kini sama sekali tak dapatkan tempat. Ada yang aneh dari kita sejak pertemuan-pertemuan itu secara sederhana tiba. Baru saja aku percaya akan ada cerita-cerita selanjutnya tentang kita, namun segalanya pupus sejak beberapa sifatmu tak lulus terutus.

Apakah ini hanya penyederhanaan perasaan? Apakah ini baik untuk kita?

Dengarlah, ini sungguh jauh dari apa yang diinginkan serentet kepala dan hati. Aku tak pernah ingin berhenti. Tapi cinta seperti tak punya lanjutan aba-aba untuk menyuruhku berlari dan siaga akan rangkaian rasa. Mungkin memang begini situasi yang harus dipahami masing-masing hati. Jika kemarin kita pura-pura buta akan kenyataan, seharusnya sekarang tidak lagi. Jika nanti kita tak dipersatukan oleh Tuhan, aku akan memegang segala kenangan ini di tempat yang teristimewa. Iya, pada sudut-sudut hati yang akan kubuka sesekali.

Pena cerita kita masih bisu. Ini hanya opini hati yang tak bergerak lagi. Aku tidak tahu kemana nantinya kita akan menuju, biarlah jemari-jemari Tuhan yang melanjutkan. Berserah adalah nada terbaik pada masa-masa terburuk, kan?

Dari seseorang yang pernah memiliki rasa yang kini tidak lagi sama.


Oleh : @lovepathie
Diambil dari http://lovepathie.tumblr.com/post/40674418160/tidak-sama-lagi

Kemarin: Kau, Aku dan Sepeda Tua


Teruntuk lentera hidupku,

Masih lekang dalam ingatanku betapa kau suka menyesap hangat kepalaku saat ku terlelap.
Aku yang dengan kepura-puraanku semakin menutup rapat pejamku, diam-diam tersenyum dalam hati

"Aku menyayangimu, Pa."

Katamu, semestinya saat beranjak tidur, aku membasuh kakiku dengan air supaya aku bisa tertidur dengan nyenyak. Tapi jika kantuk sudah terlalu membuaiku dalam timangnya, kau akan mengambil handuk basah lalu kau usapkan telapak-telapak kaki mungilku hingga bersih.

Kadang dengan sengaja aku melelapkan diri hanya agar bisa merasakan usapan-usapan kecil itu.

"Aku suka saat kau membasuh kakiku saat aku terlelap, Pa. Rasanya dingin, nyaman sekali."

Sebelum malam menjadi terlalu malam, kita menghabiskan waktu berdua. Di atas sepeda abu tuamu, dengan tawa dan asap-asap rokok yang kau hembuskan.

Lalu sambil mengarahkan telunjuk aku mulai membingungkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.

"Kenapa kalau hujan sering ada lingkaran warna-warni di jalanan, Pa? Dari mana itu?"

"Itu minyak dari mobil. Nanti kalau sudah besar, kamu akan pelajarin itu di sekolah."

Kemudian hingga langit malam terlanjur menghitam dan udara menjadi terlalu dingin, kita terus bertualang dengan sepeda tuamu.
Aku harap, aku bisa kembali merasakan hal-hal itu di sana nanti, Pa.

Aku merindukanmu.


oleh : @NadiaAshita
Diambil dari http://www.theunwrittenbooks.blogspot.com/2013/01/kemarin-kau-aku-dan-sepeda-tua.html

17 Kedua


Sepanjang malam aku sibuk melamun, mondar – mandir memikirkan bagaimana sebaiknya surat cinta ini kutulis, akhirnya cuma begini. Aku memang bukan keturunan makhluk romantis muka bumi, tapi aku sudah keburu menyayangimu. Mau bagaimana lagi? Deritamulah, yang.

Surat ini tidak akan panjang, anggap saja saat ini aku sedang memelukmu dan mencuri cium pipimu sesekali. Kalau sedang dalam perjalanan dengan “Bumble Bee” – mu yang imut itu aku sering mengamatimu, membangun kota baru dalam rangka kepalaku – mengisi setiap detil ruangnya dengan wajahmu, mengingat caramu menyetir, tersenyum geli saat pipimu menggelembung karena kau isi penuh air minum, juga caramu tertawa yang sialan – bikin – aku – kangen – terus – terusan itu.

Hal – hal kecil yang kau perhatikan tentangku itu menyenangkan, meski maaf, aku kadang terlalu banyak tuntutan dan tak membangunkanmu kalau aku bangun kesiangan. Perutmu yang buncit itu kesukaanku, selama kau sehat dan baik – baik saja – tak usah terlalu repot untuk membuatnya menjadi rata.

Aku percaya saat ini kau membaca sambil tersenyum sombong, senyum jahil karena berhasil membuatku mengakui rasa dalam dadaku ini. Gak apa, silakan saja, bagian dirimu yang ini aku sudah terbiasa.

Udah gitu ajalah, ya. Semoga hubungan yang masih bayi ini bisa segera remaja, kuat berlari dan terus jaya. Selamat hari kita. (KITAAAAAA??)

Merdeka

Love you @ristonesian

Elikah

Oleh @ikavuje kepada @ristonesian
Diambil dari http://eqoxa.wordpress.com

DRUJ


Godam tak kasat mata itu menghujan kepalamu. Temperaturmu melampaui batas normal. Matamu memuram, kehilangan cahayanya.

Hanya dua sendok nasi yang sanggup kamu telan. Sebotol air putih pun cuma jadi pajangan di atas meja.

Aku tahu kamu membenci ini semua. Lidahmu yang mendadak terasa pahit. Persendianmu yang tiba-tiba menjadi ngilu. Napasmu yang tidak lagi teratur. Aku tahu kamu ingin segalanya cepat selesai.

Maaf jika pertemuan ini tercipta dengan cara yang menyusahkanmu. Tetapi ada yang ingin kusampaikan. Aku janji tidak akan terlalu lama.

Ada sesuatu yang lebih besar dari tulang belulang dan kulitmu. Lebih menakutkan dari suhu badan yang tidak kunjung turun. Lebih membahayakan dari bakteri yang membelah diri dalam sekali getar.

Ini bukan tentang aku, melainkan tentang dirimu. Dirimu yang mungil. Dirimu yang meledak. Dirimu yang mengasingkan diri.

Aku mengenali setiap inci dari dirimu, walau kamu tiada mungkin terukur oleh satuan apapun. Aku adalah saksi dari eksistensimu yang agung. Dan bolehkah aku menyampaikan kejujuran? Kejujuran yang seringkali kamu bohongi?

Kamu terlalu pintar membodohi. Kamu terlalu pintar bersikap dingin. Kamu terlalu pintar bersembunyi. Kamu terlalu pintar berpura-pura. Kamu terlalu pintar menggerakkan segenap diriku untuk menutupi kerapuhanmu. Aku membenci ini semua. Kamu memintaku bertahan serupa kulit telur dan memaksaku untuk tidak pecah. Retak segarispun kamu takkan pernah rela.

Aku ingat malam itu dan malam-malam sesudahnya, ketika kamu memasuki ruanganmu. Tas itu nampak terlalu berat di bahumu, tapi ada sesuatu yang jauh lebih berat lagi. Sesuatu yang memaksamu bersandar di dinding, memandang ke satu titik, lalu dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, pelan-pelan pipimu dialiri air hujan.

Jangan dulu mengutuk apa yang kukatakan. Kamu tidak akan pernah menyadari ini bilamana terlalu sibuk menyangkal.

Dalam sepimu, senyum yang kamu gariskan setengah mati sudah patah. Dalam sunyimu, gelak tawa yang dipaksa ada telah menguap. Dalam diammu, ada bagian dirimu yang remuk, tapi kamu berpura-pura tidak peduli.

Jurang kecewa yang pernah menjerembabkanmu itu masih menganga lebar. Kamu tidak ingin pergi kesana lagi. Tidak karena orang lain. Tidak juga karena dirimu sendiri. Dari sekian banyak manusia, mengapa mesti kamu yang terjebak? Mengapa harus kamu yang menanggung ini semua?  Mengapa bukan mereka yang tidak mau menghapuskan air mata orang lain?

Itu kan, yang selalu kamu pertanyakan?

Kamu percaya hidup adalah simpul yang bisa diluruskan tanpa perlu menyalahkan siapa-siapa. Tidak mereka. Tidak juga dirimu. Apalagi Tuhan. Katanya Tuhan sudah merencanakan segalanya. Lalu hanya karena tidak ada yang sia-sia, apakah berarti ketika ada seorang yang mendorongmu ke dalam jurang itu lagi, mereka bisa mengatasnamakan takdir dan mengharapkanmu baik-baik saja?

Ketidakmengertian ini membuatmu ingin gila.

Aku tahu matamu semakin panas. Pandanganmu dalam sekejap jadi buram.

Memang inilah yang aku mau. Tidak pernah kupaksakan setitik kepalsuan. Kejujuran akan selalu membawamu pulang. Meringkuk di balik kedua telapak tangan dan melepas energi yang kau susut dalam hening. Hening yang bening.

Tapi ketahuilah, aku menginginkanmu percaya. Bahwasanya kamu dilahirkan untuk bebas. Untuk mengecap bahagia yang nyata. Kecewamu bukanlah ujian, melainkan teguhnya pendirianmu untuk tidak berlaku serupa kepada orang lain.

Sekarang aku mempersilakan dirimu untuk terlelap. Biarkan udara mengucapkan selamat tidur. Aku yakin esok hari kamu akan baik-baik saja. Kamu akan kembali bersinar, dan ketika sinarmu redup, tidak ada satu elemenpun di muka bumi ini yang melarangmu untuk jujur. Menyatakan apa adanya bahwa kamu mencapai titik didihmu. Bukan berarti kamu tidak berdaya.

Tidakkah kamu tahu? Aku bukanlah sangkar bagi dirimu. Tapi dirimulah sangkar untukku.

Karena kamu jauh lebih kuat dari yang selama ini kamu sangka. Ada sesuatu yang lebih hebat dari fibrinogen, asam mefenamat maupun anestesia. Sistem yang terlahir sepaket dengan gelombang nestapamu. Walau ada beberapa titik di perjalanan yang membuatmu takut akan manusia dan memilih untuk mengasingkan diri.

Seribu wajah itu berlalu lalang, percakapan demi percakapan terjadi, tapi kamu selalu merasa sendirian.

Ingatlah aku. Ingatlah milyaran sel yang menyusun dan mengamini setiap doamu. Aku, mengenalimu, mengenali hidup dan hidup di dalam dirimu.

Seiring matamu terpejam, izinkan aku membisikkan sebaris kalimat di telingamu.

Kita selalu satu. Jangan pernah lupakan itu.


Dari Raga, Untuk Jiwa.

Oleh @hanaber
Diambil dari http://hanadiningsih.tumblr.com

Teruntuk Arimbi


Dear Arimbi Puspitahati,

Sudah tidak perlu merasa terharu karena surat ini aku kirim buat kamu.
Surat ini untukmu bukan berarti setelah ini aku akan jadi kakak yang baik yang tidak mengganggumu lagi.

Sudah 24 tahun kamu jadi adikku, kita bersaudara kandung tapi sama sekali tak serupa. Dari mulai rupa, selera, tingkah polah, cara pandang sampai dengan selera dalam memilih pria.

Banyaknya perbedaan membuat kita sering salah paham, berkelahi dari kecil hingga besar. Aku kakak yang usil kamu adik yang cengeng. Saat terpisah jauh memang saling rindu tapi setelah bertemu lebih dari seminggu pasti ada saja yang memicu keributan.

Tiba-tiba kamu bercerita kamu mau menikah. Belum pernah kakakmu ini merasa akan kehilangan kamu seperti hari itu. Padahal kamu menikah sama pria yang aku kenalkan. Untuk pertama kalinya aku memilihkan sesuatu/seseorang yang ternyata sesuai denganmu. Ada kekhawatiran takut apa yang aku pikir baik tidak membahagiakanmu. Waktu berjalan pernikahan kamu dilangsungkan dengan cara Syariat Islam. Hebat kamu berani memilih cara itu untuk menikah. Pernikahan terjadi dipertemuan ketiga.

Waktu berjalan sekian bulan setiap berkomunikasi kamu selalu ceria. Bercerita bahagia, suamimu imam yang menyenangkan dan penuh rasa tanggung jawab. Keluhanmu hanya lemas karena muntah-muntah yang disebabkan calon keponakanku yang sedang bertumbuh dirahimmu sekarang. Aku senang sekali tak sabar menunggu calon keponakanku cukup bulan kemudian lahir. Sudah terbayang keusilan apa saja yang akan aku lakukan untuk anakmu hihihi semoga dia tidak cengeng seperti ibunya.

Aku kakakmu yang keras kepala dan menyebalkan ini sebenarnya menulis surat ini untuk berterima kasih kepadamu dan adik Iparku. Terimakasih karena ada setia mendampingi dimasa-masa tersulit, dititik terendah dalam hidupku. Terima kasih karena sebagai pengantin baru kalian ikhlas malam-malamnya kuganggu. Terimakasih karena memberikan banyak pandangan dengan cara pandangmu yang banyak memberikan ketenangan. Terima kasih dengan melihat kalian membuatku kembali percaya bahwa rumah tangga normal dan berbahagia itu nyata adanya. Aku hanya perlu sedikit lebih lama dan bersabar untuk merasakannya.

Sebelum mengakhiri surat cinta ini aku mau sedikit bercerita, tahukah kamu siapa Arimbi dalam Tokoh Pewayangan?
Dewi Arimbi adalah raksasa jelek yang diubah menjadi dewi yang cantik jelita. Kemudian, Dewi Arimbi menikah dengan Ksatria Raden Bratasena. Lalu melahirkan putra ksatria Bernama Gatot Kaca .

Kamu Arimbi Puspitahati yang lahir berhidung pesek dan besar menjadi mancung. Kemudian, menikah dengan seseorang yang kamu anggap ksatria untuk hidupmu. Semoga anakmu kelak menjadi ksatria kebanggaan bagi orang tua, keluarga, agama dan bangsanya. Amin.


Salam Rindu
Kakak

Oleh @nengwulwul
Diambil dari http://jurnalnengwulwul.tumblr.com

Sudah Siap Untuk Bertahan


Teruntuk: Hati

Hai hati, yang katanya seringkali berwarna pink manakala lagi siap untuk bahagia.
Sudah berapa jauh perjalanan yang kau tempuh bersama rasa dan pikiranku?
Mungkin jarak kadang tak mampu mengukurnya, tapi memoriku mampu mengingat detail itu.
Rasanya sudah begitu banyak kisah yang terbentang di hadapanmu ya hati.
Barangkali untuk kesekian kalinya banyak hal yang telah membuatmu begitu tergores dan tersakiti.
Tapi bagiku kaulah pejuang paling tangguh, dalam setiap inci bagian dari diri ini.
Berkali- kali terjatuh, tapi akhirnya harus teriris perih.
Berkali- kali bahagia, namun kemudian sadar itu hanya bagian dari drama ironi.

Kali ini kau kuperingatkan keras, untuk bertahan lebih lama dari biasanya.
Sebaiknya mungkin kau sediakan amunisi berlebih untuk bisa membuat dirimu kebal dari berbagai macam kendala.
Singkirkan segala galau dan duka yang mungkin dulu pernah kau rasa
Mari coba sinkronkan apa yang kau resahkan dan pertanyakan dengan logika yang ada
Mungkin itu semua adalah jalan agar kau tak kan lagi merana sekian lama.

Hai hati, apa kabar?
Nampaknya kamu sudah lama pulih ya.
Sudah siap untuk melanjutkan perjalanan lagi?
Kali ini akan menyenangkan, bagaimanapun ceritanya.
Yakinkan buat yang ada di dalam sana, bahwa ia mungkin tak akan beranjak dari kamu ya hati.
Pastikan ia betah disana, jaga dia baik- baik.
Jangan biarkan hatinya juga tersakiti, karena mungkin saja ia lebih rapuh dari kamu.
Yang pasti, tetaplah bertahan, apapun yang terjadi ya.

Sincerely,
a part of you.

Oleh @hannaahan
Diambil dari http://hannasiahaan.blogspot.com

Temui Aku


Untuk Ustadz muda yang telah menyusul Junjungannya, tertidur tak lama menuju masa dibangkitkan,
Tahukah kamu bahwa sekarang aku ini tak berguna??

Apakah Tuhanmu memberitahumu bahwa aku tak lagi menyerukan namaNya seperti ketika kau datang padaku lalu mengelusku, mendekap hikmat hingga kurasakan kita menyelaras dan memujiNya dalam satu tarikan napas pemberian??

Apa Tuhanmu menunjukkan padamu orang-orang di sini tak lagi sama semenjak kau pergi karena mereka tak lagi segan pada Muhammad, Junjunganmu dan Tuhannya sekalian?? Kuping ditutup untuk hal surgawi, hati dibukakan untuk kebusukan duniawi??

Jika tahu akan begini, lebih baik aku bersamamu. Tidur, sampai Dia memanggilku untuk bersaksi untukmu atas seru kumandang adzan bagi para penegak tiang agama agar bergegas datang merapikan barisan. Atau fadilah lembaran ayat yang kau bacakan di hari Jumat di hadapan umat. Bukan atas dosa mereka yang menyingkirkan doa lalu menggantinya dengan lagu-lagu jahiliyyah laknat.

Lalu Tuhanmu akan mencukupkan,

“Sudah cukup, Mikrofon Surau Al-Ikhlas.

Kembalilah dalam tidur abadimu.”

Untuk Ustadz muda yang berbibir dzikir, mohon temui aku.

Oleh @ildesperados
Diambil dari http://abracupa.posterous.com

Surat Cinta yang Tak Pernah Terkirim


Sayang, 

Ini surat cinta pertamaku 

yang tak akan pernah kukirim

yang tak akan pernah sampai

Sayang, 

Ini tahun ketiga tanpa kamu. 

Aku merindu yang paling pilu, tanpa kamu tau.

Hanya jejak-jejakmu yang kubaca

Hanya aromamu yang kuhela

Sayang, bahagiakah kamu dalam pergimu?

Tanpa aku?

***

Aku merobek lagi surat yang kutulis. Aku tak ingin membuat jejak-jejak cintaku. 

Biar tak terbaca olehnya di masa depannya.

Oleh @hutamiayu
Diambil dari http://hutamiayu.tumblr.com

Perempuanku Rinjani

Selamat petang, Rinjani.

Ah, maaf aku memanggilmu hanya dengan mengucap namamu saja. Tak ada embel-embel sayang, cinta dan gendut seperti yang biasa kulakukan. Kurasa tak ada lagi hakku untuk itu, seperti yang kau utarakan padaku tempo hari.

Suratku ini pun tentunya mengusikmu ya, Rinjani? Padahal jelas sudah kau bilang aku segera mungkin harus menjauhi hidupmu, melupakan ingatan tentangmu dan tentang kita yang sudah akan memasuki tahun ketiga hubungan kita. Maaf, aku belum bisa untuk itu, walaupun telah dengan tegas kau mengatakannya didepan mukaku. Raut wajah dan sorot matamu kala itu Rinjani, tak seperti biasanya. Emosi dan marah menguasai hati dan pikiranmu sehingga aku percaya, segala yang terucap adalah bukan dari hatimu. Kata-kata yang menyakiti relungku tentunya itu hanya pelampiasan emosimu terhadap keadaan yang semakin membuat kita diharuskan seperti ini.

Rinjani, percayalah. Kalaupun kau menyesali perkataanmu tempo hari lalu, sudah kumaafkan sepenuhnya. Dan aku tidak akan pernah benar-benar pergi dari hidupmu. Walaupun kupastikan, kau tak akan pernah lagi melihat sosok lelakimu yang dulu pernah memperjuangkan kamu. Karena aku tidak akan pernah menemuimu lagi. Hanya surat-suratku yang mungkin akan datang sesekali ketika aku sudah tak sanggup membendung rindu ini lagi. 

Apapun sebab dari kamu memutuskan untuk kita masing-masing saja berjalan, dan tak bersama lagi, Rinjani. Aku sepenuhnya berusaha percaya bahwa keadaanlah yang memang mengharuskan. Kau tidak lagi bersabar menungguku dalam penantian panjang yang orang-orang bilang adalah LDR. Kau sudah terlalu lelah. Kau bahkan menyerah sebelum aku sempat membuktikan bahwa jarak bukanlah sesuatu yang harus menjadi alasan perpisahan kita. Aku disini tetap dengan janji kita dahulu, bahwa tak akan ada yang berubah dari jarak yang membentang antara kita. Sebisaku membuatmu merasa nyaman dengan jarak yang lambat laun akan menjadi sahabat kita. Namun, kau terlalu dini menyerah Rinjani.

Ataukah sudah ada lelaki lain yang membuatmu tersipu-sipu saat kau memandangnya selain aku? Ah, maaf Rinjani. Maaf tak seharusnya aku menuduhmu demikian, karena kau tak mungkin akan membagi hatimu.

Begitupun denganku Rinjani, tak pernah ada perempuan yang akan menggantimu. Disisiku, pun dihatiku. Aku hanya merasa keadaan ini tak adil untuk kita. hanya itu.

Namun bagaimanapun aku menghormati keputusanmu. Aku bahkan tak ingin memaksamu untuk tetap tinggal kala kau sudah ingin beranjak.

Ini aku, lelakimu yang masih menanyakanmu disetiap waktu.


Ditulis oleh : @enhanhanha
Diambil dari http://ernamardjono.tumblr.com

Kepada Sang Juara

Kepada: 

-Juara I English Speech Contest-

Hey, I never met you, and this is crazy. But here’s my letter, read it maybe?

Kita mungkin belum pernah bertatap muka secara langsung, tentu saja kamu tidak kenal aku. Aku pun tidak mengenal kamu secara personal. Aku bahkan lupa namamu, dan wajahmu pun hanya samar-samar kuingat. Aku hanya pernah mendengar cerita tentangmu; seorang pelajar yang dikenal pandai serta sering menjadi juara di berbagai lomba antar sekolah. Lantas, bagaimana aku bisa tahu tentangmu?

Aku mengenal keberadaanmu dari seorang Tukang Jahit yang aku tidak ingat namanya. Seorang Tukang Jahit yang aku temui di suatu sore saat matahari mulai bersinar lemah dan terpaksa mengalah pada gelapnya malam yang menyeruak tak sabar. Dia tinggal di rumah kecil dalam gang sempit tepat di sebelah kiri masjid dekat tempatku mengajar. Rumah kecil itu berteras sempit, dan di dinding depannya ada plang kayu sederhana putih kusam dengan tulisan “Vermak Jins” berwarna merah luntur.

Beberapa anak kecil yang berkumpul di teras menyambut kedatanganku, kata mereka, bapak tukang jahitnya sedang sholat Maghrib. Aku dipersilakan menunggu di ruang tamu rumahnya yang nampaknya juga berfungsi sebagai tempat dia bekerja. Kulihat ada 2 mesin jahit usang di situ. Di seberang ruangan, ada lemari kaca berisi piala-piala. Aku beranjak mendekat, tertarik ingin tahu piala-piala apakah itu. Kubaca tulisan di bagian bawah masing-masing piala. Hampir semuanya piala hasil lomba antar sekolah, ada yang tingkat kota, ada yang tingkat provinsi. Lomba pidato Bahasa Inggris, lomba baca berita, lomba Scrabble, dan beberapa lomba mata pelajaran lainnya khas pelajar SMA. Predikatnya pun bermacam-macam, ada yang juara pertama, kedua, ketiga, sampai juara harapan. Ada satu piala yang menarik perhatianku, piala bertuliskan “First Winner of Speech Contest Economics’ English Club 2011”. Seingatku, aku menjadi salah satu juri dalam lomba tersebut.

Aku mengalihkan pandangan ke dinding di sebelah kanan lemari kaca itu. Di sana tertempel beberapa piagam dan foto. Piagam bertuliskan hal yang sama seperti piala-piala dalam lemari kaca. Piagam penghargaan menjuarai berbagai lomba antar pelajar sekolah. Tertulis nama seseorang di situ, nama yang hanya kubaca sekilas. Kemudian kupandangi beberapa foto yang menempel di dinding yang sama. Ada foto keluarga, foto sekumpulan pelajar berseragam SMA, foto seorang pelajar laki-laki memegang piala dan piagam, dan foto yang paling besar: foto seorang anak laki-laki berusia sekitar 17 tahun-an yang berwajah ramah dan menyenangkan, tapi tidak kukenal sama sekali. Aku mencoba mengingat-ingat apakah pernah aku menilai penampilan anak laki-laki itu dalam suatu lomba pidato, tapi sama sekali tidak terbayang olehku.

Tak lama, tukang jahit yang kutunggu keluar menemuiku. Seorang bapak paruh baya yang masih mengenakan sarung dan peci, dan wajahnya tampak lelah dan tak bersemangat. Dia tersenyum tipis saat menanyakan keperluanku. Saat urusan jahit-menjahit selesai, aku iseng bertanya. Bukan iseng sebetulnya, tapi memang penasaran. Aku ingin tahu apakah anak lelaki dalam foto di dinding adalah pemilik para piala dan piagam kemenangan di berbagai lomba itu.

“Ini piala-piala siapa, Pak?”

“Anak saya, dia sering dikirim oleh sekolahnya untuk ikut lomba Bahasa Inggris, dan selalu dapat juara.”, jawab bapak tukang jahit itu dengan ekspresi wajah yang tiba-tiba bersemangat.

“Oh. Piala yang ini, Juara I Lomba Bahasa Inggris, ini kalau tidak salah saya jadi jurinya lho.”

“Oya? Kebetulan ya.”

“Anak Bapak yang ini ya?”. Aku menunjuk ke foto pelajar SMA di dinding itu.

“Iya. Itu dia, waktu masih SMA.”

“Oh… Saya sih tidak ingat wajahnya. Hebat ya, banyak sekali piala dan piagamnya, selalu jadi juara. Sekolah di mana, Pak?”

“Di SMK 2. Dia pintar, dan rajin belajar juga. Anaknya baik-baik sekali. Merokok pun tidak.”. Sang bapak menjawab sambil tersenyum.

Saat itulah aku mengenalmu untuk pertama kalinya, meski sekarang aku lupa namamu, dan juga lupa wajahmu. Yang kuingat adalah betapa bangga ayahmu akan dirimu. Ekspresinya saat bercerita tentangmu menggambarkan hal itu. Terlihat jelas bahwa beliau sangat mengasihimu. Aku pun yakin bahwa kamu juga sangat sayang pada ayahmu.

“Sekarang dia udah lulus ya Pak? Lanjut kuliah di mana?”. Aku kembali bertanya pada ayahmu, sambil sedikit berharap semoga kamu mendapat beasiswa sehingga tidak terlalu membebani orang tuamu.

Ayahmu tersenyum sambil memandang fotomu di dinding, kemudian menjawab pertanyaanku sambil menghela nafas.

“Itulah ya, Mas. Anak baik-baik biasanya malah cepat dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Dia berpulang sebelum sempat lulus sekolah.”

Aku terdiam. Ayahmu pun terdiam.

Sampai hari ini, setiap kali aku melewati gang sempit sebelah masjid dekat tempatku mengajar, aku masih sering mengingat kisah ayahmu dan anak lelakinya: kamu. Aku tidak tahu persis pelajaran apa yang bisa kuambil dari perkenalanku dengan ayahmu dan dirimu. Aku hanya bisa ikut merasa bangga akan dirimu, seperti ayahmu. Hanya saja, kita tidak sempat berkenalan.

Nice to know you, even if we never met. You know you win, and life doesn’t give you a chance to lose.

Salam kenal, hai Juara.

16 Januari
― si pengajar yang sok akrab


Ditullis oleh : @dennyed
Diambil dari http://dennyed.tumblr.com