15 January 2013

Tanpa Rasa Malu, Aku Menulis Ini

Dear, kamu. Semoga Tuhan selalu mengirimkan malaikat untuk menjagamu. Setiap waktu.

Mungkin, bukan menjadi hal yang baru bila kamu dengar aku merindumu. Mungkin kamu juga bosan menerima salamku yang selalu aku titip pada teman-temanmu.

Dulu, hampir setiap waktu aku bisa melihatmu. Aku bisa mendengar tawamu, sedihmu, marahmu, kesalmu, juga segala ucap doamu setiap mau pulang sekolah. Kamu selalu berdiri di depan kelas sebagai pemimpin doa sekaligus pemberi salam kepada guru. Kamu juga yang pertama, di setiap pagi memimpin kami berucap syukur atas limpahan Tuhan karena masih diberikan waktu untuk hidup.

Sekarang, kamu adalah alasanku mengapa setiap malam aku selalu tidur paling pagi.

Aku ingat, pada sebuah malam yang terang, setelah berkunjung dari rumah perempuan yang menjadi kekasihku, aku menemuimu. Kamu pasti tak mengira jika aku akan datang. Aku pun begitu. Temanku, yang menjadi sahabatmu juga, mengirim pesan singkat kepadaku bahwa kamu hadir dalam acara yang dibuat oleh ekstrakurikulermu itu. Kamu datang dari kotamu, kota yang kamu pilih karena kamu tak sanggup melihatku bahagia bersama orang lain. Kota yang hingga detik ini menghalangi raga kita untuk bertemu. Kota yang tidak pernah tidur, kata Ayahku.

Malam itu, aku dikeroyok rasa malu saat melihat kamu dipaksa temanmu untuk menghampiriku. Dan kamu hanya tertawa kecil melihat aku yang berusaha menghindari pukulan rasa malu.

Aku tahu, malam itu, kamu merindukanku juga, kan? Akui saja, matamu tak berani menatapku dalam sepuluh menit kita bertemu. Aku memujimu karena kamu terlihat semakin cantik. Dan kamu, selalu berusaha menghindar dengan membawa masa lalu sebagai senjata andalanmu. Aku tak berdaya. Masa lalu denganmu, selalu aku ingat sampai sekarang.

Aku masih tidak tahu siapa diantara kita yang paling jahat. Aku dengan rasa maluku, atau kamu dengan egomu. Aku juga tak tahu mengapa kamu begitu membenciku. Bahkan, saat kamu memakiku malam itu, aku masih dihantui rasa malu.

Aku mungkin orang yang sombong. Aku rasa, aku tak pernah punya salah denganmu. Mungkin, waktu memang tidak pernah berpihak pada kita. Empat belas tahun mengenalmu, tak diberikannya aku oleh waktu barang satu detik saja untuk memelukmu, mencium keningmu, atau setidaknya menyentuh rambutmu.

Ya, mungkin waktu pernah memberiku kesempatan. Tapi, aku malu.

Betapa bodohnya aku yang rela menahan sakit menunggumu karena aku cinta. Betapa berdosanya aku yang terus saja memelihara malu hanya karena harga diri yang entah berapa harganya.

Aku terlalu malu untuk kamu. Terlalu malu untuk meyakinkanmu bahwa kamu tiada yang lain. Aku terlalu malu, bahkan pada diriku sendiri, bahwa sesungguhnya aku tak pernah malu untuk mencintaimu.


Tanpa rasa malu, aku menulis ini…


oleh @shandyputraa
diambil dari http://anotherdidhurt.tumblr.com

No comments:

Post a Comment