15 January 2013

Senandung Lamunan Rindu di Ujung Jendela

Aku harus bisa mengalahkan malam-malam kesepian, yang menjadi musuh besarku.. Aku harus bisa menaklukkan hari-hari sendirian, yang menjadi lawan tangguhku..” -Jikustik

Halo Nile,

Aku menulis lagi untukmu, rindu ini selalu pecah dalam ukiran kata,
Seperti jarak demi jarak memisahkan setiap langkah inginku memilikimu,
Sekian juta rintik hujan membasahi jendelaku, tak pernah satu pun rintiknya jatuh pada titik yang serupa,
Rindu ini, rindu ini sebanyak rintik hujan, hanya saja dia hanya menetes di satu titik. Porosmu.
Setiap rintik yang mengetuk jendelaku, menjadi candu biusku terlelap dalam lamunan.
Aku memasuki labirin lamunanku, cukup lama aku mengenal ruang ini tapi entah mengapa aku lebih sering tersesat pada ruang lukanya. Lamunanku lebih mengenal jalan menuju luka daripada bahagia.

Cukup lama semestaku mengingkari mu sebagai bahagiaku,
Hingga akhirnya kusadari ruas jariku tak berisi genggamanmu lagi..
Hingga akhirnya kusadari ada jejak kaki yang menghilang dari sisi jejakku..
Hingga akhirnya kusadari ada ruang kosong di seberang mejaku..
Hingga akhirnya kusadari ada yang hilang dari bahagiaku. Kamu.
Kehadiranmu tak sempat menyadarkanku akan kemegahanmu, ternyata ketidakhadiranmu yang menunjukan betapa agungnya dirimu dalam setiap detak bahagiaku.

Malam ini, aku menatap kosong di ujung jendela, beradu pandang dengan sinar kota dan kerlip bintang yang bersahutan menyuntikan ruh kenangan.
Aku menyerah pada lamunanku, membawaku ke masa dimana ada kening yang terkecup di sela gelak tawa.
Aku berpasrah pada imajiku, terbang bersama masa dimana ada tatapan yang menaklukan ego, dimana ada tangis yang berdamai dalam peluk.
Aku terlepas dalam pengharapan, tentang rinduku padamu, tentang rindu yang dulu bahagia, tentang rindu yang kini menyakitkan.

Aku menyenderkan keningku di jendela, seksama melihat hujan, menjarak lebih dekat pada butiran rindu langit.
Butiran hujan itu.. Dia menetes, dia mengalir, dia terjatuh, dia mengering dan dia menghilang.
Aku menyadari ternyata aku salah, aku salah menterjemahkan hujan, aku salah mendengar nada rintihan hujan di jendelaku.
Butiran hujan itu bukanlah representasi rinduku, tapi hanyalah refleksi serpihan hatiku yang telah dulu berantakan.
Setiap detik menetes, pikiranku mengalir, hatiku terjatuh, air mataku mengering, asa ku menghilang.. Aku patah (lagi).

Tearless cry,


Oleh @chesterdee

No comments:

Post a Comment