Hai. Ini kali
pertama aku menulis surat untuk kamu. Surat cinta, wacananya. Aku tidak tahu
apa ini surat tentang cinta, atau surat untuk cinta. Tapi aku layangkan surat
ini untuk kamu. Aku terbiasa menulis tanya tanpa jawab. Jadi apa sulitnya
buatku menulis surat tanpa balasan?
Aku selalu ingin
tahu keadaanmu. Maka biar aku mulai dengan “Apa kabar, cinta?”. Lama aku tidak
mendengar tentang kamu. Beberapa kali kamu mampir, sebentar, menggelitiki perutku
dengan kepak kecil kupu - kupu.
Ah, cinta. Aku
rindu. Rindu pahitmu. Pahitmu bahkan lebih manis, ketimbang tidak merasakan apa-apa. Apa aku sudah pernah bilang tentang ini? Karena, seingatku, akhir -
akhir ini kamu tidak pernah lupa menyisipkan pahit cinta dalam setiap pertemuan
kita.
Aku samar - samar
ingat pertemuan terakhir kita. Sebaik yang aku ingat, kita tak pernah berniat
‘ketemuan’ lagi. Namun keadaan sesekali memaksa kita berjumpa barang satu-dua
menit.
Oh iya, aku
ingat, terakhir aku melihatmu dengan kaus yang agak kebesaran, atau kamu yang
sedikit turun berat badan? Kamu memang harus selalu diingatkan untuk urusan
yang satu itu.
Sebentar,
sebenarnya ke mana suratku ini bermuara? Aku memang tidak pandai menentukan poin
mana yang penting. Semua ingin aku bagi denganmu, sampai ke detail. Padahal
kamu kan, mendengarnya setengah hati, ya?
Soal “apa kabar”
tadi, aku harap kamu baik saja. Sehat tentunya, dan serapahmu di lini masa
tidak berlanjut; tentang macetnya jalanan, atau tentang kesendirianmu -yang
sebenarnya bisa kamu atasi.
Kabarku? Baik.
Sangat baik. Kecuali bagian aku harus bekerja ekstra keras demi kelulusanku
tahun ini. Doakan aku ya?
Eh, tapi
bagaimana kamu tahu, kamu kan, tidak baca?
Semoga Tuhan
memberimu keberuntungan tahun tiga belas hari ini.
Warmest regards,
Friend of
yours.
Oleh @avirosas
diambil dari http://avirosas.tumblr.com
No comments:
Post a Comment