Untuk Denpasar yang (benar benar) Denpasar,
Denpasar adalah Denpasar. Bukanlah Kuta atau Nusa Dua yang penuh sesak oleh beachside bar warna warni, duduk untuk update location walaupun hanya pesan air mineral (karena seluruh harga tinggi menjulang). Kamu itu gagah, ibukota provinsi – isinya gedung pemerintahan, pusat kantor layanan, jalan jalan besar, pasar tradisional tertata rapi, dan swalayan yang bersikeras menyerupai mall besar. Kamu adalah rumahnya anak gaul dan ibu ibu sosialita, yang hanya saja setiap weekend seluruh spesies ini akan terbirit birit ke arah selatan demi sesuap hiburan dan prestise. Jadi, Denpasar bukan terletak di Kuta dan Kuta bukan terletak di Denpasar (atau lebih parah lagi, Bali isinya hanya Kuta saja). Untuk setiap turis yang ngotot, aku sarankan selalu bawa peta atau apapun minimal sisa pelajaran geografi di sekolah dulu.
Kamu adalah entah si sulung atau si bungsu dari Bali yang cukup sering terlupakan. Tapi aku tak pernah menganggapmu seburuk itu. Kamu akan tetap jadi tujuanku pulang karena yang tertera di tiket pesawat adalah kode DPS untuk Denpasar, bukan yang lain. Kamu akan tetap jadi kebanggaanku meskipun aku masih belum habis pikir kenapa lurusan jalan utama Gajah Mada harus dipersempit oleh areal hijau yang isinya malah tanaman bunga bergetah. Jalan itu adalah jalan yang kulalui hampir ribuan kali sampai pada usia 17 aku meninggalkanmu – dan ketika aku pulang aku harus melihat kenyataan bahwa jalan semakin sempit dengan renovasi pemasangan paving warna warni motif apalah itu. Gunanya apa sih kalau cuma bakal dilindes roda kendaraan? Tapi ya sudahlah, anggap saja itu semua untuk kebaikanmu ya kan?
Tapi pertanyaan itu terobati saat mulai nostalgia masa masa dulu. Ada banyak kerlap kerlip sepanjang jalan menuju taman kota. Beberapa belas tahun yang lalu, aku adalah anak kecil yang takjub melihat lampu dan air mancur. Dan orang tuaku adalah yang bertanggung jawab mengajakku nonton hiruk pikuk pusat kota dan beberapa lomba di hari tertentu, tidak lupa sambil makan lumpia dan beli gelembung sabun di sudut taman. Beberapa tahun kemudian, aku adalah anak yang berdiri di atas panggung tersebut mementaskan drama dan membaca puisi untuk Kota Denpasar, hadiah hari ulang tahunmu. Aku bilang sambil menghayati, aku sungguh cinta kota ini. Padamu.
Dua tahun yang lalu aku meninggalkanmu karena harus merantau. Aku takut kalau kotaku nanti tak mampu se-gaul kamu sekarang dan itu membuatku kikuk ketika pulang. Tapi ternyata kamu tak pernah berubah terlalu banyak untukku (terlepas dari renovasi yang agak menyebalkan tadi). Jalanan memang semakin menyerupai Jakarta, kupikir itu juga sudah jadi konsekuensi perkembangan sebuah kota berikut infrastrukturnya. Penduduk asli semakin banyak, begitu juga pendatang yang serba ujug ujug. Kamu harus semakin besar, beradaptasi untuk merangkul seluruh kebutuhan mereka. Ibarat kamu adalah orang tua yang sedia setiap saat, dan Kuta adalah pacar yang digeber saat liburan tiba. Bagaimanapun juga jatuhnya saling melengkapi. Namun bicara soal dia, aku miris.. Ia sebenarnya sudah di ambang ambang eksploitasi berlebihan. Revolusinya gila gilaan dan kuharap kalian berdua juga bisa saling mengontrol. Bisa bisa lumpuh hanya karena tuntutan pasar yang terlalu dituruti, pariwisata dan mulut investor mana bisa lagi dipakai. Sisanya hanya anak anak ini yang kembali merawat kalian dari awal dengan setia.
Aku belum pernah menyesali pertumbuhanmu sejauh ini, asal jangan kelewat liar. Berpijaklah pada tanah, budaya dan sejarah yang lekat. Seperti kita semua dulu pertama dikenal.
(Dan terima kasih untuk beberapa rumah sakit yang baru dibangun, suatu hari nanti aku pasti pulang dan akan kerja di salah satunya)
Ditulis oleh : @awulanp
Diambil dari http://pwulansari.wordpress.com
No comments:
Post a Comment