#DearL, Like a Fairytales
Dear L,
Aku sedikit tersentil dengan suratmu
kemarin, mungkin benar juga yang kamu katakan soal berkomitmen terhadap
diri sendiri itu. Karena selama aku merasa belum sanggup untuk
berkomitmen dengan diri sendiri, gimana aku bisa berkomitmen dengan
orang lain. Jangan sampai ketika aku berkoar-koar soal gimana orang lain
menyikapi komitmen, eh aku malah gagal menetapkan komitmen yang paling
dasar, yaitu dengan diri sendiri. Ah aku jadi ingat sebuah cerita lain
soal komitmen ini, tapi akan aku ceritakan di surat yang lain aja ya…
Anyway, aku senang sekali ketika membaca
suratmu dan mengetahui kamu berhasil menemukan buku titipanku itu. Buku
itu sangat langka dan susah dicari. Aku sudah berputar di semua toko
buku yang khusus menjual buku-buku import seperti Kinokuniya, Periplus,
Times dan Ak.sa.ra, tapi semua stok yang ada habis. Sedih sekali
perasaanku ketika menghadapi kenyataan itu. *apeu*
L, buku yang terlihat di gambar
disamping ini buku yang lama aku cari-cari dan akhirnya berhasil kamu
dapatkan itu. Buku itu menceritakan kisah-kisah dongeng atau cerita
rakyat, yang bisa kita tahu dengan “fairytales” karya Grimm
Bersaudara. Tapi kamu tahu tidak, kalau kisah yang diceritakan dalam
buku ini tidak seindah dongeng-dongeng yang kita dengar ketika masih
kecil dulu, melainkan lebih kelam dan kejam, mirip sama realita masa
kini kan?
Some said that “Too much fairytales will kill your hopes and senses”.
Karena dalam kehidupan nyata tak ada kisah seindah dongeng. Kalau
buatku, semua itu justru salah. Dengan dongenglah kita diberi harapan
bahwa sesuatu yang indah gak harus selalu mainstream, sebagaimana
pangeran yang harus berpasangan dengan putri. Kenapa pangeran gak bisa
mendapatkan upik abu seperti Cinderella? Kan dalam cinta tidak ada
logika. Karena kisah-kisah dongeng itu pulalah aku yakin bahwa cerita
seperti yang ditayangkan di FTV itu mungkin saja terjadi (walau mungkin
proses dan dialognya gak selebay yang di TV ya…). Lalu, apakah karena
aku terlalu percaya sama fairytale membuatku buta dan tidak bisa melihat
realitas? Oh tidak begitu.. Dalam kuliah aja teori tidak harus selalu
sama dengan prakteknya kan.
Someone also said that coz I had read too much fairytales,
sehingga prilakuku terlalu berbunga-bunga dan tampak tidak menjejak
bumi. Benarkah begitu? Karena setahuku kisah dongeng yang asli tidak
selalu memiliki akhir yang bahagia. And I don’t really want to have a
happy ending, you know why? because endings are the saddest part on
every journey. So I just pray that someday I will have a happy beginning
that last forever.
L, do you believe in fairytales?
Sincerely,
D
Oleh @fairyteeth untuk @inirudy
Diambil dari di-ta.com
---
Surat balasan @inirudy untuk @fairyteeth
#DearD, Lagu Kenangan
Dear, D.Kamu tahu, belakangan aku mulai membaca buku lagi. Kegiatan yang sejak dulu kumasukan di bagian hobby ketika membuat curriculum vitae di saat yang lain mengisi main musik atau olah raga. Mungkin karena sudah terbiasa sejak kecil, tiap Kamis sore bapak membawakan majalah Bobo jadi terbawa menjadi hobby. Dengan membaca aku seperti mendapati sebuah pengalaman baru dari tokoh yang diceritakan oleh si penulis. Malah kadang terbawa memerankan sebagai siapa.
Aku juga pernah belajar alat musik. Seperti gitar, piano, bahkan angklung! Tapi, tidak ditekuni secara serius. Jadi, sekarang semuanya lupa. Haha! Aku sebenarnya ketawa miris, karena setiap melihat orang main gitar atau main piano atau main alat musik lain sebenarnya dalam hati yang paling dalam pingin bisa seperti mereka. Belajar sesuatu memang tidak seharusnya setengah-setengah. Harus total.
Ngomong-ngomong fairytales. Jujur saja aku tahu fairytales justru setelah menginjak umur-umur belasan. Bukan masa kanak-kanak. Ketika masih bocah bapakku lebih sering mendongeng dengan cerita Kancil Mencuri Timun atau Kisah Pewayangan. Beberapa kali malah diajak nonton wayang kulit langsung menjelang pagi. Karena menurut bapak bagian paling seru dari pertunjukan Wayang Kulit justru ketika menjelang selesai. Yakni ketika terjadi perang Baratayuda antara keluarga Pandawa melawan Kurawa.
Menurutku wajar jika setiap fairytales (yang dikhususkan untuk anak-anak) berakhir bahagia. Bahagia seperti yang dilukiskan sang pendongeng ; menikah dengan kekasih pujaan hati, hidup kaya raya dan sang penjahat mati. Karena pemikiran anak kecil masih terbatas. Sebatas tahu baik atau tidak. Hitam atau putih. Belum mengenal abu-abu. Jadi, sebagai pelajaran untuk si anak kecil bahwa setiap anak yang berbuat baik akan mendapat imbalan yang baik pula. Yaitu kebahagiaan yang abadi.
Selain membaca belakangan aku juga suka mendengarkan musik dari radio. Mendengarkan musik dari radio itu menurutku lebih menyenangkan daripada lewat CD Player atau Tape atau pemutar musik lainnya. Selain koleksi lagunya lebih beragam kadang kita juga dikejutkan oleh lagu yang diputar oleh penyiarnya. Karena lagu itu membawa kenangan pada sesuatu atau pada seseorang misalnya. Seperti Sing For Absolution dari Muse mengingatkanku pada seorang sahabat karena tiap kali berkumpul selalu menyanyikan lagu itu, The Reason – Hoobastank, yang mengingatkan pada saat mengejar cewek sampai tergila-gila. HAHA. Atau Lebih Indah dari Adera yang baru-baru ini, ah sudahlah.. Hihihi.
Lalu, lagu apa yang mengingatkanmu pada sebuah kenangan?
Sincerely,
L
Diambil dari inirudy.wordpress.com
No comments:
Post a Comment