30 January 2013

Dua Musim Gugur

untuk, Yogyakarta.

Siang milik Yogya tak lebih jauh kering dari pelupuk matamu, hangat matari terpantul jelas di atas rona merah wanita yang sedang menanami gelisah, sepertipun seolah-olah. Ia bersiap sebuah payung yang terbuat dari dedaunan pohon pisang, bila sewaktu-waktu langit menaburkan air berkelimpahan—pekerjaan terpalang. Alam tak menentu kini. Ia tak habis-habisnya menghamburkan risau milik warga setempat bantaran sungai, lalu menaburkan benih-benih gamang di permukaan hati yang bangai. Gugur air beruntun serta kali Code memang petani yang baik di sebuah ladang cemas, masyarakat pinggir sungai.

Ceceran keringat awan itu kini meluap di atas riwayat pejalan, penjajak kaki lima di sekitaran malioboro, mereka siap memperhitungkan resiko tanpa sembrono. Sebab, baginya meraup rezeki adalah hal yang utama. Di setiap sudut-sudut, gang-gang penuh tikus, got-got berbau anyir, tak ada yang membuat berlaksa pasang mata berani merekam mereka ke dalam memori di kepala. Karena sejatinya, Malioboro dengan begitu fasih menyembulkan keindahan alami, yang terpancar rapi, masing-masing berdiri dengan kaki, dari ujung selatan hingga ke utara.

Pantai Indrayanti. Kunikmati desah ombak yang terpecah karang, airnya menyeka wajah, lalu masing-masing dari kita saling membasuh, membilas dengan seksama, kau dan aku mencipta gurat kenangan di sana. Amatlah pilu, masing-masing dari kita tak berani menahan gugur-gugur tangis, ketika bibir kita bertubruk pada satu tumpu: sebuah senja yang paling megah.

Ada satu lagi yang kuingat, ia bapakku. Merapi adalah bapak dari segala rejeki petani dan penanam rindu yang lihai membuat roda-roda sepedaku tak ubahnya lalai jalan kembali. Walau tulang putih susu miliku tak berbekal bulu, dinginmu terasa tak asing bagi rangkaian tetulang badanku. Tetaplah menjulang tinggi, hingga siapa saja tak akan berani menyepelekan kepiawaian panoramamu bersilat, pun mampu membuat warga sekitaran berangkat cemas, karena kambing-kambing panasmu mengujarkan ajar.

Maka sesekali, matamu terisak. Di dalamnya menggugurkan banjir tangis, di dalamnya menggugurkan benci bengis, tangis tak habis-habis, ketika mengingat kembali kota yang telah lama kau tinggalkan. Ini adalah sebuah surat. Tidak. Ini bukan sekadar surat, pesan ini ialah memoritmo bagi kau.

Ingatlah, musim gugur ada dua di Yogya. musim gugur yang pertama: musim berderai air oleh isak tangis awan, lalu musim gugur yang kedua: gugur pelupuk mata rindu yang kuangkat berat dari dasar liang hatimu yang berkarat. 

Pergilah ke Yogya, begitu banyak cerita indah akan terangkum bilu oleh sesungging senyum bibirmu.

oleh @raymnd
diambil dari http://raymondgandi.tumblr.com

No comments:

Post a Comment