30 January 2013

Makassar; Kota Kotak Kaca

Wajo, 29 Januari 2013

Buat Makassar

Apa kabar? Selalu baik, kan? Kamu harus tahu, di dalam surat ini aku akan menyapamu “Daeng”. Tak apa, kan? Ah, kamu terlalu baik, Daeng; tak pernah menolak inginku. Aku mencintaimu. Sungguh. Semoga setiba surat ini ke matamu, kamu tak sedang membaca koran, atau menonton televisi. Jangan! Jangan terbiasa menyakiti dirimu sendiri. Ya, Daeng, betul sekali. Sakit. Memang. Baik jika kamu tak juga mengerti, akan kuceritakan. Dengarlah, tapi mohon, jangan menagis atau bersedih. Sedikitpun. jangan.
Aku pernah menemukanmu di televisi—menjadi kota kotak kaca. Aku sedih. Kamu diadili tanpa mampu membela sedikitpun. Para pembawa acara di telivisi membincang kamu, tanpa memberimu kesempatan, sekadar berkata “ya, itu betul” atau “maaf, saya tidak seperti itu”. Mereka tak peduli, Daeng. Aku peduli.
Yang menyedihkan ketika kamu dituduh menyembunyikan sejumlah keburukan, yang aku tahu kamu sendiri pun tak pernah tahu. Aih, kamu jangan murung. Bukankah kamu berjanji takkan bersedih mendengar ceritaku. Sudahlah, Daeng. Izinkan kuselesaikan. Baru beri aku kesedihanmu, dan barangkali dapat kita lebur di debur ombak Losari. Barangkali. Suratku masih di awal. Aku berjanji membahagiakanmu di akhirnya. Sekali lagi aku mencintaimu. Dengarlah kembali. O iya, aku punya sebuah puisi. Hehehe, aku tahu kok, kamu ingin dibacakan. Sabar, Daeng!

Hem..., kamu sudah mendengarkannya, kan? Apa? Tidak? Hehehe, memang tidak akan bisa. Bukankah puisi itu adalah kamu sendiri. Lagipula puisi tak butuh didengarkan. Cukup dirasakan adanya. Aduh..., kok lari ke puisi yah? Aku sengaja, Daeng, aku tak ingin menambah sedihmu. Walau pada akhirnya akan kuceritakan juga apa yang akan melukaimu. Mungkin. Tapi, semoga tidak. Singkat saja, kamu diadili di televisi. Katanya di kamu menyimpan para pelajar perusuh. Katanya kami menampung banyak preman. Katanya orang-orang di tubuhmu anarkis. Keras. Kasar. Ah, sudahlah! Saya mohon, jangan menangis Makassarku sayang. Biarlah mereka memjadikanmu Kota Kotak Kaca—menilai dari layar yang tak lebih lebar dari daun jendela yang jika disingkap bahkan tak dapat melihat segala. Sekali lagi aku (tetap) mencintai. Dan sekali lagi jangan menangis. Kamu jangan sampai kebanjiran lagi. Kamu kebanjiran dan hanya mahasiswa yang konon perusuh itu, menampung sedihmu untuk disudahi. Pula orang-orang yang konon anarkiss itu yang bergelut di kemelut lukamu. Menyedihkan. Sedangkan “kotak kaca” yang rajin membicarakanmu, diam. Mereka tak lantas mengabarkan tentang kamu yang butuh bantuan. Paling tidak dapat membuat hobi prihatin presiden kita muncul lagi. Kadang kamu dibincangkan. Hanya sebentar. Kotak kaca itu lebih rajin membicarakan calon presiden. Ya, calon presiden yang bisa saja membuat kelak semua rakyat beralih aliran musik—dangduters. Atau calon presiden yang rajin main twitter—memimpin negara barangkali bisa dengan sepasang jempol—menebar sumpah—sampah. Para pengabar di “kotak kaca” itu akan melupakanmu jika tak ada keributan di tubuhmu. Tapi sabar, Daeng. Aku tetap mencintaimu. Sekali lagi.
Kamu semakin sedih. Jangan berbohong. Baik aku akan membuatmu bahagia sekarang. Menepati janjiku. Lupakan semua luka itu, move on, move, move on, anggap saja kisahku tadi sebagai mantan pacarmu. Hahaha. Tuh kan, kamu tertawa. Aku mencintaimu. Hem, sebenarnya aku ingin berterima kasih, sekaligus membuatmu senang mendengarnya. Aku sudah move on dari mantanku yang dulu. Yang mana? Ah, kamu mengolokku, Daeng. Bukankah hanya satu perempuan yang pernah ingin menjadi pacarku. Itupun dulu. Iya, aku ingin berterima kasih, kamu menyiapkan Pantai Losari sebagai tempat kami pacaran. Dulu, ya, dulu. Naf? Hahaha, kamu ingat juga yah nama mantanku itu. Iya, Naf. Aku masih mencintainya, dia masih mencintaiku. Tapi, kami tak cocok jika menyatukan cinta. Akhirnya, aku semakin jarang ke Losari memotret senja dengannya. Kami putus. Tapi itu bukan kabar buruk. Bukankah aku ingin membahagiakanmu? Seperti janjiku.
Yang akan membahagiakanmu adalah aku sudah punya (calon) pacar baru. Aku memanggilnya “Ca”, silakan tebak nama aslinya, Daeng. Kamu kan tahu, aku suka sapaan yang pendek—romantis kedengarannya. Ca, satu fakultas denganku. Pernah aku menawari membacakannya puisi. Dia tidak menolak, “kelak bacakan saya puisi di Menara Eiffel, saya bacakan perasaan kita” katanya. Duh dia romantis, bukan. Kamu sudah bisa menebak dia jurusan apa? Hahaha, jangan ribut. Kamu tepat. Tapi jangan takut, aku tetap mencintaimu. Sebelum membawa Ca ke Paris, aku ingin membawanya ke Rotterdam. Kok kaget? Waduh, maaf, maksudku, aku ingin membawanya ke Fort Rotterdam. Ya, benteng yang tubuhnya menubuhimu, sepelemparan tatap dari Losari. Seperti kamu pernah cerita kepadaku, konon Fort Rotterdam itu adalah benteng yang berbentuk penyu raksasa—menghadap ke laut Losari. Itu yang ingin membuatku membawa Ca ke sini. Aku ingin cinta kami seperti penyu. Hush..., kamu jangan tertawa dulu, ini bukan lelucon. Iya, betul aku ingin cinta kami seperti penyu. Penyu dapat hidup di dua alam; air dan darat. Pun cinta kami kelak—hidup di dua alam—suka dan duka. Tunggu aku, Daeng, aku akan membawa Ca ke sana. Ketika aku benar-benar yakin dijadikan dan menjadikannya pacar.

Sudah dulu yah, jangan sedih, perihal “Kota Kotak Kaca”, jangan risau.  O iya, kalau ketemu Ca, sampaikan, aku mencintainya.

Salam....

oleh @sajakimut
http://faisaloddang.blogspot.com

No comments:

Post a Comment