untuk Makassarku,
umurmu sudah berapa sekarang? 405 tahun ya? maaf jika salah. di usiamu yang cukup renta ini, kamu terlihat muda. ibarat seorang ibu yang mati-matian memakai cream apapun agar terus terlihat cantik, seperti itulah kini dirimu makassarku.
banyak bangunan pencakar langit yang menjulang tinggi, jejeran perumahan, mall, dan yang sekarang ini mulai akrab denganmu, adalah macet.
buka, aku bukan tidak setuju dengan kehadiran bangunan moderen itu, aku hanya sedih, kenapa, mereka memolesmu sedimikian rupa, tapi pada akhirnya kamu juga yang sakit dan terkena imbasnya.
kemana semua pepohonan rimbun tempatku bermain? sawah hijau tempatku bercengkrama dengan beberapa teman kecilku? tanah lapang tempatku menerbangkan mimpi bersama layanganku? semua tidak ada lagi, semua telah berubah, sawah yang timbun dan dijadikan perumahan. lapangan yang dibanguni mini market, juga pepohonan yang ikut ditebang lagi-lagi hanya untuk perumahan, tahukah kau makassar? wajah alamimu tak ada lagi, hilang ditelan modernisasi. lalu kamu, menjadi cantik seperti gadis desa yang adaptasi untuk hidup dikota.
Makassar, banjir mulai akrab padamu, apalagi menjelang musim hujan seperti ini. dulu.. iya dulu.. kamu ingat? mau hujan sederas apapun, daerah sekitar rumahku jarang banjir kan? tapi lihat sekarang, hanya digur sebentar rumah-rumah tetanggaku sudah kedatangan tamu banjir.
Makassar, aku sering membaca tulisan di beberapa sudut kota "MAKASSAR MENUJU KOTA DUNIA" tapi apakah kamu benar-benar menjadi kota dunia? awalnya kupikir pasti bisa, tapi ternyata kau hanya mewarisi bagian negatif dari kota dunia itu saja, banjir, macet, dan sederet hal yang benci harus kuakui didepan orang lain yang tak berasal dari kamu.
makassarku, banggakah kamu yang sedang dipoles untuk menjadi kota dunia? tidakkah kamu rindu akan rimbunnya pepohonan alami yang menghiasimu? tidakkah kamu benci malah harus bertemu banjir setiap kali hujan?
Makassarku, seperti seorang anak mencintai orang tuanya, akupun mencintaimu. karena kamu menjadi saksi aku lahir, tumbuh dan berkembang. karena kamu yang memberiku udara segar, kulit hitam legam sewaktu kecil, dan bau matahari dari rambutku yang mulai menguning karena terus diterpa sinar terik mentarimu
makassarku, apapun wajahmu sekarang aku tetap mencintaimu, meski akupun tak menampik ingin meradang melihat "mereka" yang seharusnya menatamu menjadi lebih baik, malah memolesmu secara berlebihan, sehingga perlahan, identitasmu mulai terasa pudar bahkan menghilang.
Makassarku, bagaimanapun nantinya, tetaplah berjuang dalam rentamu. tetaplah hidup, tetaplah bertahan, dan saksikan anak cucuku bertumbuh dibawah naungan langitmu.
oleh @stephanielitha
diambil dari http://stephanielitha.blogspot.com
No comments:
Post a Comment