Untuk Kota Serambi Mekkah,
Aku pernah menangis merasakan kekhawatiranmu, ketakutanmu, kelemahanmu. Saat itu kamu rapuh, serapuh-rapuhnya kota mati. Bukan kelincahan para roda dua atau mobil-mobil mewah yang menyusuri jalan-jalanmu, melainkan truk besar, berisikan berpuluh-puluh tentara yang siap tempur. Bukan gedung-gedung pencakar langit yang menghiasimu, melainkan posko-posko perang di tengah kota.
Sungguh, aku takut. Untuk siapa aku berteriak mati, nantinya? Yang menjajahimu bukan dari negeri seberang, bukan mereka yang berbahasa beda, melainkan dari anak-anak yang kau lahirkan. Yang kau tiupkan nafasnya untuk meraih cita-cita. Yang mengaku membelamu, melindungimu tapi justru menyelimuti tubuhmu dengan darah.
Tumpahlah sudah, air mataku. Pelukanmu tak berarti lagi. Kedamaian bukanlah hal yang kita bicarakan.
Hingga seluruh aku dan teman-temanku berdoa, memohon-mohon dari sang Pencipta
“Ya Tuhan yang Maha Kuasa, tunjukkanlah kuasa-Mu untuk mengakhiri perang di Acehku.”
Kutitipkan doa di sediam-diam malam. Bertahun-tahun kami menunggu untuk satu doa yang pasti, kesudahan yang berarti. Hingga 5 tahun kemudian, dua kali bumi dihentakkan diiringi satu tsunami termegah. Hadirlah kuasa-Nya.
Dan terkabul sudah, doa-doa kami, orang yang berbisik-bisik tentang kedamaian. Segala perbedaan hancur berantakan. Sungguh, kamu tidak berdaya, berjalan pelan-pelan, ditangisi oleh beribu-ribu Ibu, kesedihan yang teramat panjang. Biarlah, biar kita kembali semua kepadaNya, daripada harus menggenggam peluru di tengah malam.
Aku, menulis ini untuk anak-anakku nanti. Di kota kelahiranku, kita pernah menangis bersama-sama.
Biarlah alam dan doa-doa malam yang menjaga kita.
~
Lhokseumawe, 29 January 2013
Ditulis oleh : @donagotwit
Diambil dari http://piethstop.wordpress.com
No comments:
Post a Comment