Kepada kota yang belum lelah menjatuhkan hujan,
Sudah 20 tahun rupanya aku meninggalimu, bersahabat dengan tawa-tangismu. Bukan waktu yang sebentar memang. Tapi dibanding umurmu yang sudah ratusan tahun, aku baru menjadi seperdualima bagian lembar-lembar ceritamu.
Aku menemukan foto ini di situs penelusuran terbesar dunia. Seseorang memberinya judul “Minum Cingcau Tanpa Cangcut”. Kau bisa lihat mengapa akhirnya foto ini diberi judul begitu. Seorang anak kecil di masa itu, menikmati segelas cingcau tanpa mengenakan busana sehelai pun. Dan di foto itu, hanya ia yang telanjang bulat sementara orang-orang di sekitarnya mengamatinya dengan wajah hampir setengah tertawa. Tapi apa kau lihat ekspresi anak itu?
Cuek. Ia tetap meminum cingcau tersebut mungkin karena hausnya yang luar biasa.
Beberapa tahun belakangan ini, aku merasa sedikit prihatin atas kondisimu. Ia yang mengkomandanimu, yang duduk di Gedung Balaikota, agaknya seperti anak kecil itu. Cuek sekali, duh. Karena sesungguhnya cukup banyak anggota tubuhmu yang harus dibebat, dan seharusnya ia memastikan bahwa luka-lukamu bisa sembuh dengan baik. Namun kenyataannya, ia justru tidak begitu peduli dan membiarkan bagian-bagian itu menjadi cacat yang mungkin akan permanen. Ia terlalu sibuk memuaskan “kehausan”nya tanpa memedulikan sekelilingnya. Ah, bahkan keluhan dan nasihat orang tentang keadaan dirinya yang memalukan tetap ia acuhkan.
Untukmu yang sudah tua, bila disela-sela waktuku masih ada yang bisa kulakukan untuk mengobatimu, percayalah, akan kulakukan. Mungkin aku hanya berusaha menyembuhkan luka-luka tak nampak, atau sedikit-sedikit goresan di wajahmu. Tapi yakinlah, aku masih di sini. Di tanahmu, bersamamu. Tugasku sebagai pemudi akan sebisa mungkin kulakukan. Tugasmu sebagai langit yang kupandangi tiap hari, adalah tetap bekerja keras menjatuhkan hujan berkat.
Bila nanti ada harinya lagi mengenai pemilihan calon ayahmu, berikanlah calon-calon terbaik. Yang mau merawatmu dengan baik, meninggalkan gedung kantornya untuk sekedar tersenyum melihat keindahanmu, dan akhirnya mau memelukmu erat bukan memeluk ‘pohon uang dan istri muda’ yang lebat.
Sementara menunggu hari itu sampai, bisikkanlah pada Bapakmu itu untuk minimal memakai “kolor”nya, Bogor!
Oleh @killanotcilla
Diambil dari http://seberanimumembuka.tumblr.com
No comments:
Post a Comment