30 January 2013

Surat Cinta Untuk Kotaku, Aceh.

*prologue

Tuan-tuan, sungguh bahagia aku ingin menutur. Sungguh tak sabar aku ingin bercerita. Ini tentang Aceh, tuan. Tentang negeri ujung barat, bertuah serambi Mekkah. Kata mereka, Belanda takut jika berperang di tanah kami. Kata mereka, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien tak kenal tirani. Kata mereka, kami pantas dikenang. Kata mereka, kami pantas menang. 


Ah, tapi tuan, bangsa besar memiliki cobaan besar. Ada darah yang tak seharusnya tumpah. Ada jeritan yang tak seharusnya terdengar. Ada air mata yang jatuh karena saudara. Ada pengorbanan yang tak ternilai harganya. Hanya untuk konflik, yang entah apa maknanya.

Tiga puluh tahun silam, hidup kami diselimuti rasa cemas. Cemas akan nyawa keluarga kami. Cemas akan masa depan kami. Tiga puluh tahun silam. Aceh tidak lagi hidup, saudaraku. Kami hanya melewati hari demi hari, tanpa pernah tau dan mengerti apa makna hidup ini. Tiga puluh tahun silam, jerit tangis keluarga yang di tinggalkan terdengar dari seluruh penjuru, meratapi sanak-keluarga yang telah mendahului. Tiga puluh tahun silam, hak kami di rampas, kemerdekaan kami di hancurkan, jiwa raga kami di campakkan. Tiga puluh tahun silam, kami jatuh miskin. Miskin di tanah yang kaya akan sumber daya. Miskin di tanah yang pernah paling berjaya di muka bumi. Tiga puluh tahun silam, langit Serambi Mekkah memerah. Merah karna darah yang tertumpah demi terjagana kebersihan hati dan kemurnian jiwa. Adakah cinta di dunia ini? Dimana hilangnya hati nurani? Kemanakah aku harus mencari? Atau hilang terhalang sebuah emosi?

Pagi minggu itu, Aceh terguncang, Aceh tersentah. Ya Allah, apa yang terjadi pada bumi kami? Bala apa yang engkau berikan? Mungkinkah sanggup kami melaluinya? Aceh seketika panik, semrawut. Gema takbir terdengar dimana-mana bersamaan dengan orang yang berlarian dan berteriak. Ada apa lagi ini ya Allah? Dan tampaklah kuasa sang Pencipta,  manusia berlarian tak tentu arah. Menjerit, menangis, meraung, dan mencari tempat perlindungan. namun apa daya? kuasa Tuhan  tak bisa dilawan, rumah-rumah hancur berantakan, manusia tak mampu melawan, tersapu air yang entah bagaimana bisa sampai ke bumi kami. Tak terjangkau logika. Aceh mencekam, tak ada lagi tanda kehidupan. Keluarga kami pun hilang, rumah tempat kami berlindung rusak, harta benda kami entah dimana. Entah bagaimana kami harus melanjutkan hidup. Beruntung kami memiliki saudara yang baik dan peduli di luar sana. Mereka segera datang dan membantu kami. Detik itu pula kami putuskan untuk bangkit. Bersama saudara kami, tertatih mencoba berjalan. Mengumpulkan keyakinan untuk hidup. Mencari semangat untuk membangun bumi kami. Mencoba mengikhlaskan keluarga yang tak mampu kami jaga. Mencari sisa-sisa kehidupan. Dan lantas mendirikannya kembali.

Kami tidak mau lagi menyerah, saudaraku. Bersama tetesan hujan yang jatuh untuk turut menghapus jejak-jejak kesedihan itu, kami akan melanjutkan hidup, merajut masa depan. Sebagai teknokrat pembangun nanggroe, kami dedikasikan tenaga dan pikiran kami, untuk satu tujuan, Aceh kami tercinta.

*prologue by: SIti Wahyuni.



oleh @RaihanDL
diambil dari http://warnawarniharapan.tumblr.com

No comments:

Post a Comment