30 January 2013

Sebuah Cerita Dari Utara


Sudut kota ini membisu sejalan ragu menorehkan lara padaku. Pukul lima sore ini kamu pasti sedang berkemas bersiap untuk pulang. Memakai kemeja putih rapih beserta dasi. Sudahkah kuberitahu padamu bahwa kamu terlihat amat sangat gagah saat mengenakan kemeja hitam dan dasi berwarna merah?

Aku masih mengais sisa kenangan di sudut kota yang terbentang di utara ini. Tersenyum simpul pada rentetan huruf yang membentuk nama jurusanmu di kampus kita. Mengingat perbincangan singkat yang aku ragu kamu masih mematrinya. 

Di kota ini seharusnya aku mampu merajut kisah bersamamu. Semesta mendukungku dengan menempatkanku pada kode pos yang sama denganmu. Ah tapi memang aku saja yang bebal. Aku tak pernah memberanikan diri memulai untuk berjalan ke arahmu.

Bagaimana menurutmu kota ini? Kata temanku ini kota romansa. Ah dia tidak tahu saja perihnya hati-hati yang retak di seluruh penjuru Semarang.

Salah satunya milikku sih. Eh tak perlu lah kubahas hatiku kini. Surat ini untukmu.

Aku tak pernah suka lunpia. Bagaimana denganmu? Kamu tak pernah memberitahuku tentang hal itu. Ya, aku tahu. Aku yang tak pernah bertanya padamu. Aku tak pernah bertanya apakah kau lebih suka lunpia, wingko babat, ataukah bandeng presto. 

Kau tau, memiliki kode pos yang sama denganmu tak lantas membuatku terpuaskan atas candu menatapmu. Jemari tanganku cukup untuk menghitung berapa kali tatap matamu menabrak milikku. Minimarket, gedung kuliahmu, parkiran gedung kuliahku, dan entahlah aku lupa lagi. Seringnya aku yang mencuri pandang ke arahmu. Menatap punggungmu hingga hilang ditelan horison.

Ketidakberanianku menemuimu biasanya berakhir di bukit sebelah barat kota ini. Paling barat dari kota ini. Aku selalu termenung menatap laut serta beberapa kapal yang melintas. Ini tempatku menyendiri. Lain kali kuajak kau kesana. Kapan ya? Mengigau saja aku ini.

Hei, kamu kini selangkah lebih dekat dengan kesuksesan. Tapi kamu disana, kota kelahiranmu. Kelahiranku juga. Aku hanya ingin berpesan, jangan lupa pada Pangeran Diponegoro dan kuda hitamnya, jika kelak nanti bahkan kau sudah merancang pencakar langit di negara seberang. 

Semarang selalu merindukanmu.


Ditulis oleh : @giustiageoda
Diambil dari http://giustiageoda.tumblr.com

No comments:

Post a Comment