Tak banyak yang tahu saat aku mengatakan Surakarta sebagai kota asalku. Beda cerita saat aku menyebut nama Solo. Entah kenapa lebih familiar nama Solo bagi beberapa orang. Seperti sebuah nama panggilan kesayanganmu atas sebuah nama yang sebenarnya. Solo, kenanganku banyak tersimpan di setiap sel tubuhmu. Aku seperti darah yang mengalir di nadimu, mengisi setiap rongga sel dan menempatkan eritrosit kenangan di sana. Jantungmu adalah rumahku sendiri. Kemana pun aku berkelana, selalu kembali ke muaranya. Kamu seperti manusia dan aku bagian-bagian tubuhnya. Kadang berganti peran. Seperti sekarang. Setiap sudut kotamu selalu meninggalkan perubahan di tubuhku yang sayang untuk aku lewatkan. Kamu merasuk di setiap jengkal organ-organ tubuhku. Dari mulai pagi aku terbangun mengisi lambung akan makanan khas Solo di sekitar Dawung, memuaskan mata dengan menambah koleksi batik di Pasar Klewer, mengajak bibir untuk tawar-menawar ketika membeli oleh-oleh di Pasar Gede, meningkatkan kadar hormon endorphin saat naik bus tingkat warna merah mengelilingi kota, hingga sekedar menghangatkan kulit dipeluk nikmatnya malam dengan menyeruput susu murni, jahe gepuk gula jawa, atau ronde panas di sekitar Manahan dan Warung Miri.
Tanpa bisa terelakkan selalu aku melewati aortamu, Jalan Slamet Riyadi. Terdapat sebuah bangunan penuh kenangan di aortamu itu. Menyentuh hati akan seribu asa atas nama kenangan seperti slide film yang berputar berulang. Dengan pelakon anak ingusan, banyak cinta yang ada di sana. Cinta masa kecil, cinta pandangan pertama, cinta monyet, putus cinta, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta tak sanggup tersampaikan, cinta tulus, dan entah apa lagi nama cinta-cintaan itu. Setiap sudut bangunan memasang pigura kenangan masa itu. Memaksa untuk otak mengingat, bibir tersenyum dan mata menitikkan air mata haru. Gemetar langkahku saat kaki menjejak setiap ruang bernama bahagia dan sendu. Bergetar hebat badanku saat duduk di suatu bangku di salah satu sudut ruang kelas tingkat satu. Kegiatan itu selalu membuatku tersenyum. Kota metropolitan sebesar Jakarta, kota dimana aku aku menjadi salah satu kulinya, tidak menawarkan semua sensasi itu. Dingin. Ramai tetapi sepi. Serba ada tetapi tiada. Penuh rasa tetapi getir maknanya.
Lampu-lampu warna kuning berkelip menerangi jalan. Aku berjalan satu-dua langkah pelan. Berpayung langit gelap dengan sedikit bintang malu-malu mengintip di balik awan. Sudah lewat tengah malam. Kususuri jalan aspal menuju rumah sewa di sudut ibukota. Kutengadahkan kepala tanpa takut lalu lalang kendaraan yang kadang tak tahu aturan. Sejuta mata kutemui hari itu. Datang dan pergi, tetapi tetap serasa sendiri di sini. Mungkin karena kamu jauh di sana, jauh dari jangkauan lengan kecilku. Merinduku akan nyaman pelukmu, kotaku. Akan gelak tawa yang ditawarkan bersama tulus senyum manusia yang tinggal di sana dimana tak terlihat kekhawatiran akan esok atau lusa.
Gumam lirihku, “Biarkan saya pulang.”
Jakarta, 29 Januari 2013
Dari aku,
Francessa
Ditulis oleh : @franc3ssa
Diambil dari http://justcallmefrancessa.wordpress.com
No comments:
Post a Comment