Rindu 164 KM
Dear Luna,
Dengan beribu rindu yang
tiap hari menjadi teman perantauanku di kota seni ini, aku tuliskan surat demi
menyapa hangat matamu yang haus akan kabar dan segala tentangku. Saat
menuliskan surat ini aku bisa membayangkan bagaimana senyum lebar tak akan rela
berlalu cepat dari wajahmu sesaat setelah pak pos datang mengantarkan surat
ini. Dan bagaimana dengan tak sabarnya meski dalam kehati-hatianmu kamu merobek
amplop ini. Bisa kubayangkan kau akan berlari cepat ke kamar demi membaca obat
rindumu ini diam-diam. Hai Luna, bagaimana kabarmu? Apakah kota Purwokerto
tecinta kita masih menjagamu baik-baik? Banyak ganjil yang belum terjawab
tentang dirimu. Tapi setiap mengkhawatirkanmu, sosok wonder woman yang selalu
terbayang. Sedikit aneh, tapi ini menenangkan :)
Oh, mungkin kamu
berfikir Jogja telah mengubah sosok kerenku menjadi seniman eksentrik dengan
segala pola pikir diluar kewajaran. Di jaman teknologi mengambil alih
sisa-sisa keprimitifan, kenapa aku
menggunakan media surat untuk mengabari kabarku. aku hanya rindu masa dimana
aku malas mencatat bahan pelajaran yang diterangkan guru-guru lalu meminjam
catatanmu untuk kucatat nanti di rumah. Mataku rindu deretan tulisan tangan
rapimu. Mungkin kegiatan surat-menyurat ini akan menjadi cobaan maha berat
untukmu karena untuk membaca tulisan
tanganku ini memang membutuhkan kesabaran ekstra. Tapi kuharap kamu bersedia
meladeni rinduku ini, kerinduan kepada detail-detail kecil yang justru merubah
waktu menjadi semacam siksaan jarak yang mengintimidasi. Mungkin bukan candu,
tapi melihat lagi tulisan tanganmu menjadi keharusan demi menghilangkan
kehausan ini. kehausan dalam jarak 164 KM
Jogja menyenangkan,
Luna. 6 bulan sudah cukup membuatku mengenal sudut-sudut yang menyembunyikan
tempat-tempat makan enak dan murah,kost teduh dimana aku menemukan teman-teman
baru, kampus yang tiap hari menjejali
otakku dengan ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu yang semakin aku dalami, semakin
menambah syukurku telah memilih kota ini sebagai tempatku melanjutkan studi.
Oh, lalu ada lagi lokasi-lokasi publik yang diam-diam sesekali waktu kujadikan
tempat pribadi saat ingin menyendiri. Jika suatu saat nanti ayahmu kerasukan
jin apa dan kau diperbolehkan berkunjung ke Jogja, kamu akan kujadikan ratu
kehormatan pertama yang kuajak bermain ke istana pribadiku ini. Namanya
Plengkung Gading, yang dalam sejarah Kraton Yogyakarta merupakan salah satu
dari lima gerbang masuk Kraton. Fakta menarik dari tempat ini adalah ternyata
Plengkung Gading memiliki filosofi sebagai tempat yang jauh dari bahaya.
Sungguh sangat cocok menjadi tempat pelarianku disaat aku lelah dengan riuhnya
kota. Terkadang aku merasa gemerlap kota bisa begitu berbahaya dan berpotensi
menjadi cikal bakal stress. Sudut gelap diatas Plengkung Gading
menyelamatkanku, menjadi tempatku menghindari lelah setelah kuliah seharian.
Kamu pasti akan menyukai tempat ini Luna, kita akan mengobrol panjang lebar
tentang apa saja. oh ya, aku menulis surat ini di tempat rahasiaku itu lho
Menjadi anak rantau
memang terkadang berat, Luna. Tapi yang saat ini terasa paling berat bagiku
adalah jauh dari jangkauanmu
PS: hei, aku menemukan
Soto Sokaraja yang enak di Jogja. Tapi aku tak pernah merasa cukup kenyang saat
memakannya. Aku merindukan setengah porsi sotomu yang tak pernah habis kau
makan
Pria yang terintimidasi
rindu,
Langit Sakti Cakrawala
Oleh: @ichan_ untuk
@devirestiana
Diambil dari: http://bulanpenyendiri.tumblr.com/
---
Langitku, Aku pun Rindu
Teruntuk, Langit.
Curang! Kenapa baru
sekarang kamu mengirimiku surat? Padahal sudah sejak lama aku menantikan
barisan aksaramu, surat rindu dari sahabatku di Jogja. Tulisanmu masih berantakan,
sama seperti buku catatanmu waktu masih SMA dulu. Walau begitu, sama sekali tak
mengurangi keantusiasanku untuk membaca suratmu, tempat di mana tinta dan
kertas bersenyawa menerjemahkan rindu. Langit, kamu harus tau, sebelum surat
ini aku baca, aku sibuk menciuminya terlebih dulu. Ku harap ada sisa parfummu
menempel di situ, Aroma yang selalu menjadi cikal bakal rinduku. Aku kangen
wangi parfum yang tercampur bau keringatmu. Unik dan khas ala kamu. Hehehe
Kabarku baik, bertambah
baik lagi setelah menerima suratmu dari tukang pos tadi pagi. Purwokerto kita
masih sama setiap sudutnya, hanya saja kini sedikit terasa berbeda; setidaknya
bagiku. Kota ini tak sehangat dulu lagi Langit, terutama sejak kamu memutuskan
untuk mengambil studi di luar kota. Ah, betapa aku mencemaskanmu di sana.
Bagaimana tempat tinggalmu? Kerasankah kau di sana? Apa kamu makan teratur?
Bagaimana lingkungan kampusmu? Tapi aku tenang setelah membaca suratmu.
Sahabatku baik-baik saja di kejauhan 164 Km sana.
Langit, bukan hanya kamu
yang terintimidasi rindu, akupun begitu. Aku juga kerap bertanya dalam hati,
memakai pakaian warna apa kamu hari ini, sudahkah kamu mengikat tali sepatumu
dengan rapi, serta berharap agar kamu tak lupa meletakkan di mana kaca matamu.
Iya, sedetail itu. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan
terhadapmu. Rasanya ingin tahu lebih banyak tentang kamu dan Jogja. Aku juga
sudah beberapa kali membujuk Ayah, tapi dia selalu berkata bahwa “Sabar, tunggu
saja Langit pulang’.
Jogja menyenangkan sekali
sepertinya. Aku senang bagaimana kamu menceritakan setiap detailnya. Lain kali
kamu harus bercerita lebih banyak, tentang tempat apa saja yang layak kita
kunjungi bersama. Plengkung Gading? Kapan-kapan ajak aku kesana ya. Nanti kamu
boleh memotretku sepuasnya. Sebagai hadiah aku akan menuliskanmu sebuah puisi
tentang senja.
Kemarin aku makan Soto
Sokaraja di tempat langganan kita. Aku terpaksa menghabiskan satu porsi dan
perutku rasanya penuh sekali. Oia, tukang parkirnya bertanya mengapa aku datang
sendiri tanpa membonceng motor vespa kesayanganmu. Menyebalkan sekali!
PS: Makan yang banyak!
Salam rindu,
Luna Putri Malam
Surat balasan dari @devirestiana untuk @ichan_
Diambil dari:
http://restianadevi.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment