Kepada Mey Dian Meithasari
Selamat Malam, Mey…
Malam belum juga membawa kantuk singgah
ke ujung mata saya, apa lagi ke kota dalam kepala saya untuk menyematkan
beberapa putik mimpi yang mungkin akan merekah, sebab rindu tak pernah
alpa menyiraminya. Atau justru urung merekah, sebab terlalu banyak tanda
tanya tertanam dalam kepala saya. Entahlah. Tapi setidaknya Mey, saya
senang dengan kantuk yang belum juga datang selarut ini. Dengan begitu
saya punya banyak waktu bercerita pada dinding malam tentang seorang
perempuan yang memiliki rembulan kembar dan garis-garis spektrum pelangi
di wajahnya – kamu, Mey.
Ya, mata kamu Mey, seperti sepasang
rembulan yang menantang malam. Sementara degub-degub asing di jantung
saya tatkala memandangnya seperti seekor serigala yang tengah merayakan
kesunyian. Dan garis-garis spektrum pelangi itu, Mey, tak lain adalah
seulas senyum kamu. Entahlah, tapi saya meyakini betul bahwa di sana, di
senyum kamu terdapat sebuah taman dengan berupa-rupa bunga.
Ah, lagi-lagi hujan datang kian lebat di
luar jendela sana. Kau tahu Mey, saya membenci bulan-bulan hujan. Bagi
saya hujan tak memberikan apa pun, selain daripada rasa cemas di kepala.
Selain itu, saya juga tak punya pelukan untuk meninabobokan rindu
kalau-kalau terbangun dan lantas merengek.Andai saja kau punya sisa
pelukan, Mey, bolehkah saya memintanya? Andai…
Mey, tengah malam akan segera tiba
beberapa menit lagi. Dan rasa-rasanya saya belum menuliskan apa yang
sebenarnya ingin saya katakan kepadamu, kata-kata yang semenjak tadi
saya bagi dengan dinding malam. Memang mungkin seperti itu, kata-kata
selalu menjadi lebih kelu, lebih beku dan hanya mengendap di kepala
saja, menolak diluahkan ketika kata-kata puitis dihadapkan pada sesuatu
yang lebih indah darinya — kamu, Mey.
Baiklah, Mey, kalau begitu saya letakkan
saja kata-kata itu di dalam kesunyian yang mungkin akan memelukmu lebih
erat dari surat saya ini. Kau boleh mengambilnya, juga boleh
mengabaikannya.
Selamat tidur, Mey. Doa-doa baik saya
lantunkan untuk kamu. Semoga putik-putik mimpi merekah menjadi sesuatu
yang berwarna indah di ladang pejammu. Selamat tidur perempuan bermata
rembulan.
Tertanda,
Catur Indrawan
Oleh: @acturindra untuk @meyDM
Diambil dari: senjasorepetang.wordpress.com
Diambil dari: senjasorepetang.wordpress.com
---
Surat balasan untuk @meyDM dari @acturindra
Sepasang Kekasih dan Sepiring Gulai Ikan
Selamat dini hari… Iya, aku tahu kau benci kebiasaan buruk tidur larut malamku. Berhenti mengomel dan segeralah tidur. Haha.Seperti apa hari Minggumu? Seringkah kau tersenyum seperti biasa? Semoga saja begitu. Hari ini seorang teman bertanya padaku, “Masih belum benci dengan jarak, Mey?” Jawaban seperti apa yang sebaiknya kuberikan, jika kau jadi aku?
Kupikir, ada ribuan alasan yang bisa dicari-cari jika manusia ingin membenci (atau menyukai) sesuatu. Aku tak ingin membenci jarak, meskipun karenanya, aku sering tak punya teman setiap mengunjungi perpustakaan, saat ingin bersantai dan menulis di kafe, atau sekadar menikmati masakan padang favoritku.
Kemarin (siang ini :p), akibat hujan deras, hampir setengah hari kuhabiskan di rumah makan padang langgananku dekat kampus. Seperti biasa, kupesan seporsi gulai ikan tanpa nasi lalu duduk di sudut belakang. Iya, aku (lagi-lagi) tahu kau tak suka kebiasaanku menghindari nasi. Haha. Sudah, berhentilah mengeluh dan dengarkan saja ceritaku hari ini.
Di depanku, ada sepasang kekasih yang, nampaknya, sedang kurang akur. Mereka hanya sesekali saling bicara, berbisik pula. Sesungguhnya aku penasaran, sayangnya pembicaraan mereka tenggelam oleh percakapan pengunjung lain yang lebih lantang. Lamat-lamat kudengar mereka menyebut-nyebut kata jenuh di antara bisikan-bisikannya. Jenuh, juga jarak, adalah hal-hal yang jarang kupikirkan. Bukan karena tak penting, hanya, kau tahu manusia begitu mudah membenci (maupun menyukai) hal-hal yang sering mereka pikirkan. Itulah sebabnya aku jarang memikirkan jarak, maupun jenuh. Aku tak mungkin menyukainya, pun tak ingin berlebihan membencinya. Bagaimana denganmu? Apa yang sering dan jarang kaupikirkan?
Seringkah kau memikirkan jarak? Atau jenuh, seperti sepasang kekasih di depanku ini? Mereka benar-benar unik. Sedari tadi hanya duduk diam sambil sesekali berbisik tanpa memesan apapun. Pemilik rumah makan maupun pengunjung lain tak mempermasalahkan itu, padahal rumah makan ini cukup ramai. Unik, bukan? Mungkin karena mereka sama-sama langsing, tidak makan banyak tempat duduk, dan tidak bising. Entah mengapa, aku suka sekali memperhatikan sepasang kekasih di depanku ini.
Tiba-tiba petir menggelegar. Aku terkejut sekali. Kau tahu, aku benci kilat, petir, dan segala macam suara keras yang menyertainya. Lebih terkejut lagi ketika salah satu dari sepasang kekasih di depanku ini, entah yang mana, berkata, “Sudah waktunya kita berpisah sementara…” Ah, jangan kaupikir mereka sedang bertengkar. Haha. Terlihat sekali mereka saling mencintai, juga saling membutuhkan. Atau, saling mencintai karena saling membutuhkan. Atau (lagi) saling membutuhkan sehingga lama-kelamaan saling mencintai. Entahlah, manapun yang benar, pada akhirnya mereka tetap saling mencintai.
Sepasang kekasih di depanku ini, sepasang mur dan baut yang memperkuat sudut meja di rumah makan. Saat terpisah, mereka saling membutuhkan. Sepasang mur dan baut yang terpisah tak akan mampu memperkuat meja, bukan? Namun kadang, jika tak dirawat dengan benar, sepasang mur dan baut yang terlalu lama bersama bisa saja berkarat, lalu mereka tersiksa dan meronta ingin berpisah. Setelah berpisah sementara, setelah karat dibersihkan dari sela-sela jari mereka, saat itulah sepasang mur baut kembali saling merindukan, saling membutuhkan.
Itu ceritaku hari ini. Apa ceritamu? (:
(Mey)
No comments:
Post a Comment