19 January 2013

Surat Kaleng untuk @setyadewi_92


Depok, 20 November 2012

Kepada: Setya Dewi Sarti ( @setyadewi_92 )

Dear, kamu. Tanpa ragu-ragu, aku menuliskan ini untukmu.

Hai, sudah lama tak bertemu, sehingga aku hampir bosan menelan rindumu setiap hari. Bagaimana kabarmu? Apakah adikmu bertambah lagi? Aku harap tidak, ya. Hehehehe...

Aku tak tahu, entah hal apa yang terjadi padaku sehingga dengan berani aku mampu menuliskan ini. Surat ini, kali kedua aku menulis surat untukmu. Setelah surat pertama yang tak pernah tersampaikan kepada kamu yang dahulu pernah aku tulis. Sudahlah, tak perlu diingat lagi hal yang kemarin. Ups, bukan kemarin, dulu maksudku.

Ingin sekali rasanya bertemu kamu. Setelah hampir 4 tahun yang lalu kita terakhir bertemu. Aku masih ingat betul kejadiannya. Di depan Mushola (yang katanya akan dibangun Masjid tapi nyatanya sampai sekarang Masjid itu belum jadi juga), tepatnya di warung samping SMP kita persis. Malam itu, kamu luar biasa cantik. Mungkin, kamu akan menyangkal kalimatku barusan, atau tersenyum-senyum sendiri. Tapi, sejujurnya, kamu sungguhan cantik. Setidaknya di mataku begitu.

Mungkin kamu tahu, sejak pertama kali kita bertemu saat Taman Kanak-Kanan dulu, aku telah jatuh hati kepada kamu. Kamu juga tahu, tiga kali sejak SD, SMP, SMA, aku membutuhkan kamu untuk jadi pengisi waktu-waktuku. Namun, kamu selalu menolaknya. Bahkan, kamu dengan sesuka hati kamu memainkan perasaanku dengan semua harapan-harapan maya yang selalu kamu beri setiap kamu datang padaku.

Aku bahagia, meski kamu hanya menganggapku sebagai teman kecil. Aku selalu ingin pingsan saat kamu mengirim pesan singkat. Lalu aku menjadi bingung harus menempatkan dimana mukaku saat kedua orang tua dan adik-adikku menanyakan kabar tentangmu. Aku juga bingung, bahkan dengan hati ini, yang selalu saja menginginkan kamu untuk ada di dalamnya.

Aku selalu menyukai angka sebelas. Aku menyukai angka sebelas karena aku ingat bahwa itu bulan ulang tahun kamu. Menurutku, sebelas itu unik. Dua angka satu yang berdiri bersama-sama, berdampingan. Cukup. Tidak kurang, tidak juga lebih. Seperti cinta yang pada seharusnya. Yaitu cukup. Pas. Hingga pada akhirnya aku tahu. Mengapa hingga sampai saat ini kamu belum singgah di hatiku. Karena cintaku padamu berlebihan. Cintaku kepada kamu terlalu besar. Dan aku sadar, aku pernah mendapatkan kesempatan untuk memilikimu. Namun, telak, aku melewatkannya. Maafkan aku ya, Leek. Kini aku pun belajar berusaha untuk tidak mencintai kamu secara berlebihan. Sehingga aku memaksa
untuk bisa merelakan hati kamu berlabuh ke hati mana saja yang kamu mau.

Leek, sejauh ini, aku belum tahu hal apa yang membuatku insomnia selain kamu. Setiap malam, sesampai aku kembali ke rumah setelah seharian bergelut dengan pekerjaan. Kamu yang diam-diam mengintip saat aku harus mengerjakan deadline untuk keesokan pagi. Kamu yang bersembunyi di balik jendela kamarku—yang memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Kamu yang membias di layar laptop, sejenak membuatku menghentikan jari untuk mengetik. Kamu yang berbisik lirih dalam setiap angin yang berhembus masuk melalui celah-celah ventilasi. Kamu yang menutup mulutku saat menguap menahan kantuk. Kamu yang samar-samar muncul dalam asap setiap kali aku menghisap rokok. Kamu yang secara khayal menitipkan cium di bibir gelas pada setiap kopiku.

Ah, kamu Leek, kenapa sih selalu ada di mana saja tempatku ada?

Hingga saat ini, aku (pura-pura) lupa. Hal yang seharusnya—dan dari dulu—aku lakukan adalah merelakanmu. Membiarkan kamu terbang dengan kedua sayapmu kemana saja kamu mau. Namun, kadang, sebuah pertanyaan tidak cocok dengan segala jawaban. Seperti halnya pertanyaan “Mengapa aku masih saja menginginkan kamu?”

Sejak dulu, bahkan sampai detik di mana aku menulis ini, aku masih berusaha mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Seperti kata Dr. Seuss, “Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.” Bagiku, entah memang pertanyaannya yang rumit atau memang jawabannya yang rumit, aku tak peduli. Satu yang pasti, aku belum tahu jawabannya. Mungkin, jika kamu memiliki jawaban untuk pertanyaan tadi, segera beritahu aku!

Oh iya, Leek, aku menjadi suka menulis. Aku tak tahu hasrat dan bisikan darimana yang menyebabkan aku menjadi suka menulis. Awalnya, aku hanya menuliskan kejadian sehari-hariku. Lalu, seiring berjalannya waktu, aku menjadi suka menuliskan hal lain. Seperti cerpen, sajak, naskah film panjang atau pendek, bahkan puisi. Yaa, meski naskah cerita filmku belum dilirik Produser, barangkali memangharus aku sendiri yang mewujudkannya menjadi bentuk audio visual.

Aku pernah menulis sedikit puisi untuk kamu. Dan aku akan menuliskannya kembali (alias copy) puisi tersebut untuk kamu. Semoga kamu suka, yaa...

Aku adalah pagi.
Kamu seperti puisi yang menjelma embun.
Yang menyisakan basah pada jantung-jantung daun.

Kamu adalah pelukan nyanyian-nyanyian burung,
yang lambat laun hilang diterpa hujan.

Matamu serupa jarum.
Aku bosan menjadi puisi yang kautenun.

Kamu serupa matahari,
yang curi-curi pandang pada bulan,
sesaat setelah dikumandangkan adzan Shubuh setiap akhir pekan.

yang memilih tetap tinggal dalam kesombongan awan-awan.

Kamulah harapan dalam setiap wajah yang memandang.

Aku adalah malam.
Kamu bulan yang membisikkan puisi pada bintang.
Aku cemburu.

Aku sebuah cangkir.
Kamu kopi yang selalu memeluk seluruh tubuhku setiap pagi.

Kamu adalah matahari.
Aku embun,
yang diam-diam ingin merasakan hangat kasihmu tiap pagi.

Aku matahari,
kamu bulan.
Berada di tempat yang sama tapi tak saling sapa.
Selalu berpapasan tapi tak pernah bersentuhan.

Kita adalah sedih yang bermuara di ujung yang sama: air mata.
Lalu kita terpisah dengan bahagia yang sama pula: hati yang berbeda.

Kita adalah sepasang sayap yang terpisah jarak di punggung malaikat.
Diam-diam saling sentuh saat pekat.
Kita hebat.

Itu baru yang sepotong, masih ada sepuluh lagi yang kayak gini.
*okay, itu kata-kata di iklan cokelat, maaf*

Tengoklah sisa basah pada kaca jendela kamarmu.
Padanya, telah kuselipkan doa agar kamu senantiasa bahagia.

Hujan, barangkali pertanda awan rindu dengan tanah.
Biarkan mereka saling sentuh.
Agar mereka tak lagi cemburu pada kita.

Gerimis itu,
kecup yang kau titipkan pada embun saat malam lupa menyatukan kita.

Senja membuatku tenang.
Malam membawaku terbang.
Namun, hanya kepadamu aku kembali pulang.

Kita pernah kehilangan kesempatan.
Itulah sebab mengapa kini kita diperbudak harapan.

Ada sekat di antara senyummu.
Mungkin kau menahan diri,
atau barangkali tersirat pesan bahwa kau akan pergi?

Setiap malam.
Selalu ada aku, kamu, dan mimpi yang belum terwujud: Kita.

Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti.
Aku yang keliru atau hatimu yang ambigu.

Aku hanya belajar memahami bahwa mencintaimu bukanlah kesalahan.
Juga belajar menerima kehilangan tanpa harus ada kesedihan.

Aku lupa cara benar untuk jatuh cinta.
Sehingga aku begitu saja jatuh kepada kamu.

Andai masa lalu kamu bisa terima aku.
Mungkin kita tak akan sejauh sekarang.

Ia tak pernah memaksamu tinggal.
Hanya saja, kamu yang memilih tinggal: di hatinya—yang telah terisi
orang lain penggantimu.

Tuhan, sembuhkanlah hatinya.
Yang tengah terluka sekian lama.
Agar ia mampu tersenyum padaku, sesaat saja.

Tuhan, lindungilah hatinya.
Hati yang akan menempatkan aku di sana.
Untuk selamanya.

Kehilanganmu.
Entah aku harus bersedih atau bahagia.
Saat melihat kau menemukan orang yang kau cinta.

Kutemukan sisa kecupmu dalam pekat.
Entah mengapa kau begitu hebat.
Ah, sial! Aku datang padamu saat terlambat.

Ya, begitulah. Beberapa penggalan (sebut saja) puisiku. Sebenarnya masih banyak lagi, namun jika kutuliskan semua di sini, yang ada ini menjadi kumpulan puisi. Bukan surat yang kutulis untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Eh, keceplosan. Duh, jadi ingat, kan. Aku menuliskan ini untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada kamu. Bukan malah curhat panjang lebar. Maaf ya, Leek.

Aku tak mengerti, sampai detik ini aku masih sebegitunya dengan kamu. Ini yang menjadi beban untukku, atau mungkin untuk kamu juga. Bagaimana jika kamu menjelaskan kepada diri kamu tentang hal yang kamu sendiri pun tak mengerti? Itulah sebabnya aku tak bias menjelaskan kepada kamu mengapa sampai sekarang aku masih seperti ini. Namun, aku percaya, kita telah sama-sama dewasa dan mengerti.

By the way, selamat ulang tahun yang ke-20, ya. Ciyeee udah kepala dua. Semoga yang terbaik akan selalu menghampirimu. Semoga kamu bias menjaga kesehatan kamu. Menjaga hati kamu juga, eh, keceplosan lagi. Pokoknya yang terbaik untukmu. Kerjaannya lancar, kuliahnya jalan terus sampai lulus. Semoga, suatu saat kita bisa bertemu lagi, ya.
Selamat ulang tahun, Setya Dewi Sarti.

Sebenarnya, bersama surat ini, aku ingin menghadiahkan kamu sebuah buku kumpulan surat cinta. Bukan, buku itu bukan aku yang menulis. Buku itu aku beli tahun 2009. Namun, tiba-tiba, aku mengurungkan niat untuk memberikanmu buku kesayanganku itu. Buku yang menjadi salah satu pemicuku untuk lebih giat belajar menulis. Jangan tanya mengapa aku mengurungkan niatku, aku tak akan jawab. Mungkin, suatu saat jika kita merencanakan sebuah pertemuan, akan kuceritakan dan kubawa buku itu.

Baiklah, Leek, aku tak ingin buang-buang waktu kamu terlalu lama untuk membaca surat ini. Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun.


Dari yang dulu pernah mencintaimu secara berlebihan..



No comments:

Post a Comment