Depok, 20 November 2012
Kepada: Setya Dewi Sarti ( @setyadewi_92 )
Dear, kamu. Tanpa ragu-ragu, aku menuliskan ini untukmu.
Hai, sudah lama tak bertemu, sehingga aku hampir bosan menelan rindumu
setiap hari. Bagaimana kabarmu? Apakah adikmu bertambah lagi? Aku harap tidak,
ya. Hehehehe...
Aku tak tahu, entah hal apa yang terjadi padaku sehingga dengan berani
aku mampu menuliskan ini. Surat ini, kali kedua aku menulis surat untukmu.
Setelah surat pertama yang tak pernah tersampaikan kepada kamu yang dahulu pernah aku tulis. Sudahlah, tak perlu diingat
lagi hal yang kemarin. Ups, bukan kemarin, dulu maksudku.
Ingin sekali rasanya bertemu kamu. Setelah hampir 4 tahun yang lalu
kita terakhir bertemu. Aku masih ingat betul kejadiannya. Di depan Mushola
(yang katanya akan dibangun Masjid tapi nyatanya sampai sekarang Masjid itu belum jadi juga), tepatnya di warung samping SMP
kita persis. Malam itu, kamu luar biasa cantik. Mungkin, kamu akan menyangkal
kalimatku barusan, atau tersenyum-senyum sendiri. Tapi, sejujurnya, kamu sungguhan cantik. Setidaknya di mataku begitu.
Mungkin kamu tahu, sejak pertama kali kita bertemu saat Taman
Kanak-Kanan dulu, aku telah jatuh hati kepada kamu. Kamu juga tahu, tiga kali
sejak SD, SMP, SMA, aku membutuhkan kamu untuk jadi pengisi waktu-waktuku. Namun, kamu selalu menolaknya. Bahkan, kamu dengan
sesuka hati kamu memainkan perasaanku dengan semua harapan-harapan maya yang
selalu kamu beri setiap kamu datang padaku.
Aku bahagia, meski kamu hanya menganggapku sebagai teman kecil. Aku
selalu ingin pingsan saat kamu mengirim pesan singkat. Lalu aku menjadi bingung
harus menempatkan dimana mukaku saat kedua orang tua dan adik-adikku menanyakan
kabar tentangmu. Aku juga bingung, bahkan dengan hati ini, yang selalu saja menginginkan kamu untuk ada di
dalamnya.
Aku selalu menyukai angka sebelas. Aku menyukai angka sebelas karena
aku ingat bahwa itu bulan ulang tahun kamu. Menurutku, sebelas itu unik. Dua
angka satu yang berdiri bersama-sama, berdampingan. Cukup. Tidak kurang, tidak
juga lebih. Seperti cinta yang pada seharusnya. Yaitu cukup. Pas. Hingga pada
akhirnya aku tahu. Mengapa hingga sampai saat ini kamu belum singgah di hatiku.
Karena cintaku padamu berlebihan. Cintaku kepada kamu terlalu besar. Dan aku
sadar, aku pernah mendapatkan kesempatan untuk memilikimu. Namun, telak, aku melewatkannya.
Maafkan aku ya, Leek. Kini aku pun belajar berusaha untuk tidak mencintai kamu
secara berlebihan. Sehingga aku memaksa
untuk bisa merelakan hati kamu berlabuh ke hati mana saja yang kamu mau.
Leek, sejauh ini, aku belum tahu hal apa yang membuatku insomnia selain
kamu. Setiap malam, sesampai aku kembali ke rumah setelah seharian bergelut
dengan pekerjaan. Kamu yang diam-diam mengintip saat aku harus mengerjakan
deadline untuk keesokan pagi. Kamu yang bersembunyi di balik jendela
kamarku—yang memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Kamu yang membias di layar
laptop, sejenak membuatku menghentikan jari untuk mengetik. Kamu yang berbisik
lirih dalam setiap angin yang berhembus masuk melalui celah-celah ventilasi. Kamu
yang menutup mulutku saat menguap menahan kantuk. Kamu yang samar-samar muncul
dalam asap setiap kali aku menghisap rokok. Kamu yang secara khayal menitipkan
cium di bibir gelas pada setiap kopiku.
Ah, kamu Leek, kenapa sih selalu ada di mana saja tempatku ada?
Hingga saat ini, aku (pura-pura) lupa. Hal yang seharusnya—dan dari dulu—aku
lakukan adalah merelakanmu. Membiarkan kamu terbang dengan kedua sayapmu kemana
saja kamu mau. Namun, kadang, sebuah pertanyaan tidak cocok dengan segala
jawaban. Seperti halnya pertanyaan “Mengapa aku masih saja menginginkan kamu?”
Sejak dulu, bahkan sampai detik di mana aku menulis ini, aku masih berusaha
mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Seperti kata Dr.
Seuss, “Sometimes the questions are complicated and the answers are simple.”
Bagiku, entah memang pertanyaannya yang rumit atau memang jawabannya yang
rumit, aku tak peduli. Satu yang pasti, aku belum tahu jawabannya. Mungkin,
jika kamu memiliki jawaban untuk pertanyaan tadi, segera beritahu aku!
Oh iya, Leek, aku menjadi suka menulis. Aku tak tahu hasrat dan bisikan
darimana yang menyebabkan aku menjadi suka menulis. Awalnya, aku hanya
menuliskan kejadian sehari-hariku. Lalu, seiring berjalannya waktu, aku menjadi suka menuliskan hal lain. Seperti cerpen,
sajak, naskah film panjang atau pendek, bahkan puisi. Yaa, meski naskah cerita
filmku belum dilirik Produser, barangkali memangharus aku sendiri yang mewujudkannya menjadi bentuk audio visual.
Aku pernah menulis sedikit puisi untuk kamu. Dan aku akan menuliskannya
kembali (alias copy) puisi tersebut untuk kamu. Semoga kamu suka, yaa...
Aku adalah pagi.
Kamu seperti puisi yang menjelma
embun.
Yang menyisakan basah pada
jantung-jantung daun.
Kamu adalah pelukan nyanyian-nyanyian
burung,
yang lambat laun hilang diterpa
hujan.
Matamu serupa jarum.
Aku bosan menjadi puisi yang
kautenun.
Kamu serupa matahari,
yang curi-curi pandang pada
bulan,
sesaat setelah dikumandangkan
adzan Shubuh setiap akhir pekan.
yang memilih tetap tinggal dalam
kesombongan awan-awan.
Kamulah harapan dalam setiap
wajah yang memandang.
Aku adalah malam.
Kamu bulan yang membisikkan puisi
pada bintang.
Aku cemburu.
Aku sebuah cangkir.
Kamu kopi yang selalu memeluk
seluruh tubuhku setiap pagi.
Kamu adalah matahari.
Aku embun,
yang diam-diam ingin merasakan
hangat kasihmu tiap pagi.
Aku matahari,
kamu bulan.
Berada di tempat yang sama tapi
tak saling sapa.
Selalu berpapasan tapi tak pernah
bersentuhan.
Kita adalah sedih yang bermuara
di ujung yang sama: air mata.
Lalu kita terpisah dengan bahagia
yang sama pula: hati yang berbeda.
Kita adalah sepasang sayap yang
terpisah jarak di punggung malaikat.
Diam-diam saling sentuh saat
pekat.
Kita hebat.
Itu baru yang sepotong, masih ada
sepuluh lagi yang kayak gini.
*okay, itu kata-kata di iklan
cokelat, maaf*
Tengoklah sisa basah pada kaca
jendela kamarmu.
Padanya, telah kuselipkan doa
agar kamu senantiasa bahagia.
Hujan, barangkali pertanda awan
rindu dengan tanah.
Biarkan mereka saling sentuh.
Agar mereka tak lagi cemburu pada
kita.
Gerimis itu,
kecup yang kau titipkan pada
embun saat malam lupa menyatukan kita.
Senja membuatku tenang.
Malam membawaku terbang.
Namun, hanya kepadamu aku kembali
pulang.
Kita pernah kehilangan
kesempatan.
Itulah sebab mengapa kini kita
diperbudak harapan.
Ada sekat di antara senyummu.
Mungkin kau menahan diri,
atau barangkali tersirat pesan
bahwa kau akan pergi?
Setiap malam.
Selalu ada aku, kamu, dan mimpi
yang belum terwujud: Kita.
Sampai sekarang, aku masih tidak
mengerti.
Aku yang keliru atau hatimu yang
ambigu.
Aku hanya belajar memahami bahwa
mencintaimu bukanlah kesalahan.
Juga belajar menerima kehilangan
tanpa harus ada kesedihan.
Aku lupa cara benar untuk jatuh
cinta.
Sehingga aku begitu saja jatuh
kepada kamu.
Andai masa lalu kamu bisa terima
aku.
Mungkin kita tak akan sejauh
sekarang.
Ia tak pernah memaksamu tinggal.
Hanya saja, kamu yang memilih
tinggal: di hatinya—yang telah terisi
orang lain penggantimu.
Tuhan, sembuhkanlah hatinya.
Yang tengah terluka sekian lama.
Agar ia mampu tersenyum padaku,
sesaat saja.
Tuhan, lindungilah hatinya.
Hati yang akan menempatkan aku di
sana.
Untuk selamanya.
Kehilanganmu.
Entah aku harus bersedih atau
bahagia.
Saat melihat kau menemukan orang
yang kau cinta.
Kutemukan sisa kecupmu dalam
pekat.
Entah mengapa kau begitu hebat.
Ah, sial! Aku datang padamu saat
terlambat.
Ya, begitulah. Beberapa penggalan (sebut saja) puisiku. Sebenarnya masih
banyak lagi, namun jika kutuliskan semua di sini, yang ada ini menjadi kumpulan
puisi. Bukan surat yang kutulis untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Eh,
keceplosan. Duh, jadi ingat, kan. Aku menuliskan ini untuk mengucapkan selamat
ulang tahun kepada kamu. Bukan malah curhat panjang lebar. Maaf ya, Leek.
Aku tak mengerti, sampai detik ini aku masih sebegitunya dengan kamu.
Ini yang menjadi beban untukku, atau mungkin untuk kamu juga. Bagaimana jika
kamu menjelaskan kepada diri kamu tentang hal yang kamu sendiri pun tak
mengerti? Itulah sebabnya aku tak bias menjelaskan kepada kamu mengapa sampai
sekarang aku masih seperti ini. Namun, aku percaya, kita telah sama-sama dewasa
dan mengerti.
By the way, selamat ulang tahun yang ke-20, ya. Ciyeee udah kepala dua.
Semoga yang terbaik akan selalu menghampirimu. Semoga kamu bias menjaga
kesehatan kamu. Menjaga hati kamu juga, eh, keceplosan lagi. Pokoknya yang
terbaik untukmu. Kerjaannya lancar, kuliahnya jalan terus sampai lulus. Semoga,
suatu saat kita bisa bertemu lagi, ya.
Selamat ulang tahun, Setya Dewi Sarti.
Sebenarnya, bersama surat ini, aku ingin menghadiahkan kamu sebuah buku
kumpulan surat cinta. Bukan, buku itu bukan aku yang menulis. Buku itu aku beli
tahun 2009. Namun, tiba-tiba, aku mengurungkan niat untuk memberikanmu buku
kesayanganku itu. Buku yang menjadi salah satu pemicuku untuk lebih giat
belajar menulis. Jangan tanya mengapa aku mengurungkan niatku, aku tak akan
jawab. Mungkin, suatu saat jika kita merencanakan sebuah pertemuan, akan
kuceritakan dan kubawa buku itu.
Baiklah, Leek, aku tak ingin buang-buang waktu kamu terlalu lama untuk
membaca surat ini. Sekali lagi, Selamat Ulang Tahun.
Dari yang dulu pernah mencintaimu secara berlebihan..
No comments:
Post a Comment