Pertemuan Singkat
Sebuah
kota di mana aku dan kamu dipertemukan, 18 Januari 2013
Teruntuk, @jofannugroho
Aku bingung harus memberi selamat
apa dalam surat ini. Entah surat ini akan kamu baca saat matahari terbit yang
diberi nama pagi, atau saat matahari telah berada tepat diatas kepala yang
diberi nama siang, atau saat matahari sudah perlahan mulai turun yang diberi
nama sore, atau saat matahari telah sedikit bersembunyi dibalik tumpukan awan
yang diberi nama senja ataukah matahari itu sudah berganti dengan bulan, aku
tak tau, yang jelas selamat karena ternyata kamu membaca surat ini..
Apa kabar? Tanpa perlu kamu jawab, bila kamu awali dengan senyuman saat membaca
surat ini, aku tau kamu baik-baik saja. Sedang sibuk apa? Tanpa perlu kamu
jawab, aku tau semua kesibukan mu, kamu sibuk mengurus dirimu sendiri bukan?
Sudah sejauh apa kamu mengurus dirimu sendiri? Lebih jauh mana bila dibanding
kamu dan aku saat ini? Bukan, ini bukan jauh yang digambarkan oleh jarak, tapi
ini jauh yang digambarkan oleh senyuman. Biasanya bila raga mu berada dekat ku
jauh senyummu terkembang yang mungkin sampai bisa memberikan suara yang diberi
nama dengan tawa, tapi kini, jauh senyum itu hanya berjarak A sampai J disebuah
keyboard. Ya, senyummu hanya sejauh itu sekarang.
Aku akan coba ingatkan saat semesta raya berkonsipirasi dengan alam mengenalkan
kita dalam ruang dan waktu yang sama. Disana tak ada suara antara kita. Kita
berkomunikasi lewat pandangan mata dan gerak tubuh serta bibir yang sesekali menyunggingkan
sebuah isyarat yang diberi nama dengan senyuman. Dari situ aku candu, bukan
candu senyummu tapi candu pandangan matamu. Matamu, yang berbalut kaca
segiempat itu, tak banyak menjelaskan apa-apa, tapi darisana aku tau, kalau
kamu lelaki baik. Ya semoga kesimpulanku tentang matamu kali ini tepat. Dan
semua kejadian hari itu terekam jelas dibenakku, suara, tawa, gerak tubuh serta
pandangan matamu, sekarang sudah jadi kenangan yang rapih dalam ingatanku.
Lalu waktu terus berjalan. Banyak menit, banyak jam, banyak hari tapi belum
banyak bulan yang kita lalui lewat kedekatan, kamu sudah jauh. Entah hal apa
yang sampai aku menuliskan surat ini pun aku tak mengerti akan hal itu. Hal
yang mungkin hanya kamu, bayanganmu serta-Nya yang mengetahui, mengapa, saat
ini kita tak bisa melewatkan banyak bulan untuk saling dekat seperti saat
pertama hari. Adakah aku bersalah? Atau adakah perasaan yang tak bisa kamu
jelaskan? Entahlah. Lagi dan lagi jawabannya hanya kamu, bayanganmu serta-Nya
yang mengetahui.
Aku boleh berkata maaf? Bukan karena aku merasa aku berbuat salah, karena ku
pikir sekalipun aku tak pernah berbuat salah kepadamu. Tapi maaf kalau
seandainya mungkin kehadiranku dalam hidupmu adalah suatu hal yang membuat
hidupmu jadi tak seperti dulu. Maaf kalau seandainya aku yang banyak berbicara
ini sempat mengganggu ketenangan harimu, maaf kalau seandainya tawa ku ini
pernah mengusik hari bahagiamu, maaf kalau seandainya raga ini pernah tak ada
saat kamu butuhkan. Ya itukan seandainya, mungkin, ntah pernah nyata atau
mungkin, sekedar perasaanku saja.
Aku rasa sudah terlalu banyak kata yang terangkai menjadi kalimat dalam surat
ini. Aku rasa kamu pun sudah jenuh baca surat ini. Aku rasa kamu ingin tau apa
sebenarnya maksud dari surat ini. Aku rasa dalam surat ini aku hanya ingin
menyampaikan bahwasanya aku dan bayanganku merindukanmu. Ya aku kan bilang
kalau ini hanya rasa, mungkin ini hanya sekedar perasaan ku saja. Perasaan
merindu ditemani berjuta tanda tanya yang bahkan aku pun sendiri tak tau
jawabannya.
Kamu, semangat ya menjalani harimu.
Selama kita masih berada dibawah langit yang sama, meski raga tak saling
berjumpa, semoga kita dipertemukan dalam doa. Terimakasih untuk segalanya yang
mungkin tak berarti apa-apa.
No comments:
Post a Comment