Antara Kamu, Aku, Kata, dan Hati
Hai kamu
sang peramu kata,
Apa kabar
Rangga? Namamu benar Rangga kan?! Rangga Rivelino. Itu yang pernah kamu
tuliskan
sebagai
namamu di twitter. Sedang sibuk apakah kamu sekarang? Apakah kamu sedang sibuk
menyelam
masa dalam
rasa, hingga menjelma menjadi asa? Atau kamu sedang sibuk mengolah kosakata
berbagai
bahasa,
hingga membuat para penikmat kata mengangkasa?
Maaf aku
sudah lancang mengirimkan surat kaleng untukmu. Awalnya aku urung untuk
mengirimnya.
Namun,
dorongan hati ini rupanya lebih kuat, hingga pada akhirnya kuberanikan diri
untuk benar-benar
menyampaikannya
padamu. Mungkin aku pengecut, yang hanya berani menampakkan kata-kata lewat
surat ini. Namun yang pasti aku bukan orang yang pandai meramu kata, mengaduk
rasa dalam senyawa kata. Aku bukanlah primadona yang pandai memikatmu dalam
pesona. Aku hanyalah salah satu followermu yang mengagumimu dalam setiap kata
yang terlempar dari jari-jemarimu. Aku hanyalah penikmat kata, yang mengagumi
buah karya dari setiap sel otakmu yang bekerja dengan hebatnya.
Hei Rangga
sang penyihir hati,
Iya, kamu
itu penyihir hati. Tanpa kamu sadari, nama yang mungkin pada awalnya hanya kamu
ambil sebagai judul blogmu, ternyata benar-benar menjelma dan merasuk ke dalam
dirimu. Setiap kali mendengar namamu Rangga, aku selalu teringat pada salah
satu tokoh di film “Ada Apa dengan Cinta?” Entah bagaimana alam berkonspirasi,
ternyata nama tokoh itu pun juga menjelma dalam dirimu. Rangga yang ada dalam
tokoh film itu tampak dingin, namun memukau. Diam, namun mempesona hati dengan
kata-kata dan hobinya dalam menekuni sastra. Rambutnya pun mirip denganmu,
sama-sama kriting. Tapi sayangnya Nicholas ‘Rangga’ Saputra lebih ganteng
daripada kamu, hehehe..
Kamu mungkin
tak sadar, tokoh Rangga itu menjelma dalam dirimu. Tampak dingin, namun anehnya
tak membuat diriku membeku, malah membuatku meleleh atau kadang tercabik-cabik
oleh karena ramuan katamu. Dalam sekejap mata, kamu membuat diriku tersihir.
Tersihir oleh senyawa huruf yang menjelma dalam kata-katamu. Entah ramuan apa
yang kamu campurkan ke dalam bejana katamu. Maaf apabila aku sudah lancang
menilaimu. Setiap orang pasti tak terlalu suka dinilai orang lain yang belum
dikenalnya. Ini hanya pendapatku saja, semua berpulang pada dirimu. Lagipula
siapalah aku. Sekali lagi, maaf apabila aku telah lancang menilaimu.
Mungkin hal
itu pula yang dirasakan oleh beberapa teman followersmu yang lain, tersihir
oleh kata-
katamu.
Hingga tak jarang membuat mereka mengagumimu, saling melempar kata, saling
memberi makna dalam setiap jeda. Terkadang aku sedikit kesal melihatnya. Bukan,
aku bukan cemburu. Terlalu jauh untuk menyimpulkan rasa itu sebagai cemburu.
Aku hanya tidak suka, itu saja. Namun, kembali aku tersadar, siapalah aku,
siapalah aku dibanding kamu, siapalah aku dibanding mereka. Bahan-bahan dasar
dalam membuat senyawa huruf pun aku tak punya, apalagi mencampur dan meramunya
dalam kata dan pesona.
Hei kamu
sang penguasa kata,
Aku sudah
tak tahu harus menulis apalagi, yang aku tahu sekarang aku rindu. Rindu
melihatmu menyihirku lagi dengan
kata-katamu. Akhir-akhir ini sepertinya kamu tampak tak seperti biasa, entah
lelah atau jengah. Entah bosan atau terbeban, hingga tak kutemui lagi senyawa
rasa dalam huruf yang dulu mampu membuat hatiku tersihir hingga meraksasa ke
angkasa. Sungguh aku tak tahu harus berkata apalagi, biarlah kata-kataku ini
yang beterbangan dan menjelma menjadi udara di sekitarmu. Kelak bila pada
akhirnya kamu tahu siapa pengirim surat kaleng ini, biarlah ini menjadi rahasia
kamu dan aku saja. Biarlah ini menjadi sekedar kenangan kecil yang kelak bisa
kamu ingat, bila aku diberi kesempatan Tuhan untuk sengaja ataupun tak sengaja
bertemu denganmu (lagi). Aku selalu menunggu karya-karyamu selanjutnya. Aku
yakin kamu mampu, aku yakin kamu bisa, bukan hanya sekedar ramuan kata di blog
ataupun buku antologi. Teruslah berkarya, teruslah menyihirku dengan kata.
Salam rindu,
No comments:
Post a Comment