19 January 2013

Surat Kaleng untuk @chachathaib


surat untuk pengantar pos cinta 


 Untuk @chachathaib, untuk Annisa


Maaf tulisan ini masih berserakan. Aku baru saja menyelamatkan kertasku dari timbunan hujan.

Pengantar pos mengayuhi sepedanya dengan kayuhan yang ligat, mengantarkan surat-surat pada alamat-alamat. Kamu sibuk mengayuh, lupa tersenyum, karena semakin ligat, surat sampai makin cepat. Matamu teduh, jalanmu teguh, kakimu terus mengayuh. Mungkin kamu sedang beradu cepat dengan singa di dalam kerudungmu. Mungkin di atas padang rambutmu, sang singa sedang mengejar kijang, secepat kayuhanmu yang ligat pada sepedamu yang usang. “Ayo adu cepat”, batinmu riang berkata pada singa yang garang.

Dalam keranjangmu, amplop berwarna-warni berisi perasaan senang dan benci bersiap anjangsana di sana-sini. Amplop yang merah berisi patah hati, amplop yang hitam berisi puisi-puisi, dan amplop-amplop lain yang mungkin berisi embun, laut, daun-daun gugur atau mentari. Tidak semua orang senang menulis walau semua orang suka mengirimkan surat.

Kamu letakkan suratku di sebelah mana? Di keranjang bagian bawah, tengah, atau di atas agar aku bisa merasakan nafasmu yang engah? Nafasmu yang tak pernah resah? Puluhan surat, ratusan kalimat, ribuan kata yang menggigil pekat di keranjangmu mendamba sampai di tujuan, Annisa. Maka engah tadi adalah berkah bagi ratusan kata yang memilih tenggelam di keranjangmu. Sampai tujuan adalah harapan mereka, dan kayuhanmu adalah sentir yang menjaga agar mereka tidak binasa. Dalam ketengggelamannya, dalam kelirihannya dihimpit surat-surat para pengelana.

Pengantar pos tidak membaca surat-surat. Pengantar pos tidak pernah membuka amplop berwarni-warna walau ada senja yang mengintip dari sana. Senja yang menyalakan malam, mencerahi lagi pandangmu yang buram. Kamu tidak akan membukanya, sebab kamu tahu senja itu fana. Hanya kata-kata saja yang nyata, yang berbaris dalam kertas, yang mengenakan amplop, yang berenang dalam keranjang sepedamu yang usang.

Suratku tidak akan kamu antarkan ke siapa-siapa. Aku menyusun surat ini dari huruf yang basah kena timbunan hujan, memisahkannya dari kilat-kilat, dan kutujukan kepada sang pengantar pos. Padamu, Annisa. Lihat saja, ada sedikit awan di sana bukan? Mereka tidak mau luruh jadi air, makanya aku biarkan awan itu jadi titik di huruf i. Maaf, ya.....

Bawalah suratku ini setiap kamu bekerja dari sunyi fajar hingga ramai senja. Pertanda kata-kata tidak pernah memilih mau ditujukan untuk siapa. Sampaikan surat lainnya, dan bacalah selalu surat ini dalam suatu senja, di mana kamu mengalahkan sang singa.


Selamat bekerja

No comments:

Post a Comment