surat untuk pengantar pos
cinta
Untuk @chachathaib, untuk Annisa
Maaf tulisan ini masih berserakan.
Aku baru saja menyelamatkan kertasku dari timbunan hujan.
Pengantar pos mengayuhi sepedanya
dengan kayuhan yang ligat, mengantarkan surat-surat pada alamat-alamat. Kamu
sibuk mengayuh, lupa tersenyum, karena semakin ligat, surat sampai makin cepat.
Matamu teduh, jalanmu teguh, kakimu terus mengayuh. Mungkin kamu sedang beradu
cepat dengan singa di dalam kerudungmu. Mungkin di atas padang rambutmu, sang
singa sedang mengejar kijang, secepat kayuhanmu yang ligat pada sepedamu yang
usang. “Ayo adu cepat”, batinmu riang berkata pada singa yang garang.
Dalam keranjangmu, amplop
berwarna-warni berisi perasaan senang dan benci bersiap anjangsana di
sana-sini. Amplop yang merah berisi patah hati, amplop yang hitam berisi
puisi-puisi, dan amplop-amplop lain yang mungkin berisi embun, laut, daun-daun
gugur atau mentari. Tidak semua orang senang menulis walau semua orang suka
mengirimkan surat.
Kamu letakkan suratku di sebelah
mana? Di keranjang bagian bawah, tengah, atau di atas agar aku bisa merasakan
nafasmu yang engah? Nafasmu yang tak pernah resah? Puluhan surat, ratusan
kalimat, ribuan kata yang menggigil pekat di keranjangmu mendamba sampai di
tujuan, Annisa. Maka engah tadi adalah berkah bagi ratusan kata yang memilih
tenggelam di keranjangmu. Sampai tujuan adalah harapan mereka, dan kayuhanmu
adalah sentir yang menjaga agar mereka tidak binasa. Dalam ketengggelamannya,
dalam kelirihannya dihimpit surat-surat para pengelana.
Pengantar pos tidak membaca
surat-surat. Pengantar pos tidak pernah membuka amplop berwarni-warna walau ada
senja yang mengintip dari sana. Senja yang menyalakan malam, mencerahi lagi
pandangmu yang buram. Kamu tidak akan membukanya, sebab kamu tahu senja itu
fana. Hanya kata-kata saja yang nyata, yang berbaris dalam kertas, yang mengenakan
amplop, yang berenang dalam keranjang sepedamu yang usang.
Suratku tidak akan kamu antarkan ke
siapa-siapa. Aku menyusun surat ini dari huruf yang basah kena timbunan hujan,
memisahkannya dari kilat-kilat, dan kutujukan kepada sang pengantar pos. Padamu,
Annisa. Lihat saja, ada sedikit awan di sana bukan? Mereka tidak mau luruh jadi
air, makanya aku biarkan awan itu jadi titik di huruf i. Maaf, ya.....
Bawalah suratku ini setiap kamu
bekerja dari sunyi fajar hingga ramai senja. Pertanda kata-kata tidak pernah
memilih mau ditujukan untuk siapa. Sampaikan surat lainnya, dan bacalah selalu
surat ini dalam suatu senja, di mana kamu mengalahkan sang singa.
Selamat bekerja
No comments:
Post a Comment