Sabtu, malam jatuh Purnama.
Aku menulis sambil menghitung kuncup kuncup wijaya kusuma yang akhirnya terbuka dan meneteskan gemulai air pelan pelan. Mereka menunggu kelahiran lama sekali, merekah pada tengah malam yang sepi, lalu mati begitu saja. Berserah bilamana tepat untuk menjadi indah dan berbakti pada semua yang peduli. Tapi waktu tak pernah datang sebagai wayang yang digerak gerakkan. Kita semua tak akan kuasa menerka kapan – kelahiran, pertemuan, kenangan, kematian.
Sabtu, malam jatuh Purnama. Dan ternyata juga malam jatuh mekar.
Aku menulis sambil menghitung kuncup kuncup wijaya kusuma. Jumlahnya delapan.
Bersamaan jariku bergerak mencari jejak jejak kita dalam handphone ini, aku menghitung mundur. Jumlahnya delapan.
Wah, sama sama delapan. Delapan yang satu ibarat mekar dan moksa. Delapan yang lain masih antara bersiap untuk entah apa.
Aku memunguti tetes tetes air yang selama berhari hari disimpan si bunga, sambil merenung sungguh kebetulan yang lucu. Beberapa orang bilang bila airnya diminum, khasiatnya awet muda. Kalau mereka salah, ya mungkin ini racun.
Tapi akhirnya kuminum juga. Syukur kalau awet muda. Jadi akan masih banyak waktu untuk melanjutkan hitungan, menerka pada malam keberapa bungaku mekar serentak – dan berbakti. Kalau ternyata beracun, berarti kedelapannya harus layu sebelum berkembang. Dan semua harus menunggu musim berikutnya untuk muncul bibit baru.
Cinta harusnya bisa se-sederhana ini kan, Wijaya Kusuma?
Selamat enam, tujuh, delapan, and still counting..
Ditulis oleh : @awulanp
Diambil dari http://pwulansari.wordpress.com
No comments:
Post a Comment