Depok, 22 Januari 2013
Dear, @windyariestanty
Semoga saya tidak—belum—terlambat.
Apa kabar? Lagi sibuk apa? Seperti katamu, mungkin sapaanku di awal paragraf terlihat terlalu klise. Atau, terlalu dibuat-buat lebih tepatnya. Entahlah, saya hanya tak ingin kehilangan kesempatan untuk menanyakan kabarmu. Meski saya suka membuka Twitter-mu, juga masuk ke dalam Tumblr-mu. Itu tak lebih dari seorang penggemar yang harus tahu apa yang dibuat oleh orang yang digemarinya.
Saya ingin bercerita, perihal dasar saya menuliskan surat ini. Boleh minta waktumu sebentar untuk menyimak? Jika boleh, terima kasih.
Kala itu, bulan puasa di tahun 2006. Usia saya masih 13 tahun. Oops, 13, angka yang kausuka, bukan? Saya sedang berada di rumah sepupu saya di daerah Pondok Cina, Depok. Menginap beberapa hari untuk bertemu dengan teman-teman kecil saya. Setelah bermain seharian di kampus UI untuk mencari biji karet yang jatuh dan mencari ikan di sekitar danau UI, saya memutuskan untuk kembali ke rumah sepupu saya karena hari menjelang gelap.
Saya mandi dan bersiap untuk buka puasa di ruang tamu. Masih 13 menit lagi menjelang buka puasa. Percayalah, perihal angka 13 dalam tulisan ini tidak dibuat-buat. Saya duduk di sudut ruang tamu sembari terus memerhatikan detik jam yang andai saja saya bisa membuat waktu lebih cepat berjalan. Perut saya sudah tak kuasa menahan lapar. Aroma martabak manis yang baru saja disuguhkan Bude saya sangat amat mengganggu iman saya.
Masih memerhatikan detik jam, seketika pandangan saya menoleh ke arah kolong meja ruang tamu. Di sana saya melihat tumpukan kertas. Saya menghampiri dan mengacak-acak tumpukan kertas itu. Saya belum suka membaca saat itu, namun, entah mengapa saya memiliki kemauan untuk melirik tumpukan kertas yang seakan-akan merayu saya. Harapan saya untuk membaca sore itu hampir musnah ketika tak ada satu pun dari lembar-lembar kertas yang mampu menarik perhatian saya. Saat saya sedang merapikan tumpukan-tumpukan kertas sialan itu, saya melihat buku kecil berwarna hijau tua kelabu. Ya, buku Kambing Jantan karya Raditya Dika. Saya sedikit tertarik untuk membacanya. “Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh” begitu tagline dari buku yang menurut saya—saat itu—bodoh.
Mengapa ada orang yang mengakui bahwa dirinya bodoh dan dengan berani menuliskannya ke dalam sebuah buku? Yang membuat saya tercengang saat itu adalah tulisan ”Best Seller” terpampang jelas di cover buku tersebut. What the meaning of that? Oh, barangkali saat itu Indonesia masih banyak orang yang bodoh, sehingga buku tersebut laris. Ya, begitulah pemikiran saya saat itu. Seorang anak ingusan berumur 13 tahun yang tidak suka membaca mengomentari sebuah buku laris.
Saya pun membaca bab “Kutukan Seekor Tikus Muda” dan saya… terpingkal-pingkal dengan indahnya. Bahkan, saya sempat ditegur oleh Bude saya. Dia bilang, “Kamu kenapa, Ndy? Ketawa sendiri kaya orang gila gitu!” Betapa kurang ajar sekali Bude saya ini. Akhirnya, saya pun jatuh cinta dengan buku.
Malamnya, bukannya sembahyang, saya malah melancong ke toko buku. Saya mencari buku Raditya Dika yang lain. Saya menemukan buku lucu berwarna pink yang berjudul “Cinta Brontosaurus.” Saya melihat namamu untuk pertama kalinya: Penyunting : Windy Ariestanty. Saya membaca buku tersebut dan memilih bab “Di Balik Jendela” sebagai bab beruntung yang saya baca. Demi apapun, saya semakin jatuh cinta dengan Raditya Dika. Pada bab itu, saya—seorang anak berusia 13 tahun—disuguhi cerita yang luar biasa dewasa. Tentang bagaimana cara Radith melupakan seseorang. Dan, tentang bahasa Inggris yang saya tidak mengerti saat itu.
Seiring berjalannya waktu, saya menggemari Radith sebagaimana saya menggemari cinta pertama saya. Eh, malah curhat. Maaf.
Saya menggemari Radith. Tulisan-tulisannya luar biasa cerdas menurut saya. Dia peka tentang segala hal kecil yang sering luput dari perhatian.
Hingga pada tahun 2008, saya jatuh cinta pada orang lain. Saya jatuh cinta dengan kamu. Saya menemukan akun Facebook-mu. Saya add, dan saya pun di-confirm. Jika kautahu perasaan saya saat itu, saya senang luar biasa. Saya membaca notes yang ada di Facebook-mu. Dan saya semakin jatuh cinta dengan kamu.
Saya ingat, saat itu saya salin semua tulisanmu agar saya bisa membacanya di rumah berulang kali. Butuh waktu untuk membeli bukumu yang berjudul “Shit Happens”. Saya menabung uang jajan saya, dan ketika terkumpul, saya tak mendapati bukumu itu ada di toko buku kota saya. Saya sedih, saat itu saya belum tahu—atau mungkin belum ada—toko buku online. Saya hanya bisa membaca tulisan-tulisanmu yang telah saya salin dari notes tersebut berulang kali. Dan, untuk pertama kalinya saya mulai menulis. Saya tidak sedang menggombali kamu bahwa saya menulis karena kamu. Setiap saya ingin menulis, saya selalu membaca tulisanmu terlebih dahulu.
Ingin rasanya saya bertemu dengan kamu. Saya ingin kamu menikmati percakapan dengan saya seperti yang kamu lakukan ketika sedang bercakap dengan orang lain. Saya tahu kamu pecinta jam tangan sekaligus suka mengutuk waktu yang berjalan terlalu cepat. Penggermar warna hitam dan angka 13. Bercita-cita menjadi seorang wartawan perang, dan kamu seorang pesco vegetarian.
Saya tahu itu karena saya mencintai halaman paling belakang buku yang kautulis. Di sana, saya bisa tahu beberapa hal tentang kamu.
Semoga, saya belum terlambat menyampaikan surat ini padamu. Semoga, waktu tidak berjalan terlalu cepat, sehingga ada kesempatan bagi saya untuk bertemu dengan kamu. Terima kasih, karena kamu, tulisan ini ada.
Semoga saya belum terlambat,
@shandyputraa
Dear, @windyariestanty
Semoga saya tidak—belum—terlambat.
Apa kabar? Lagi sibuk apa? Seperti katamu, mungkin sapaanku di awal paragraf terlihat terlalu klise. Atau, terlalu dibuat-buat lebih tepatnya. Entahlah, saya hanya tak ingin kehilangan kesempatan untuk menanyakan kabarmu. Meski saya suka membuka Twitter-mu, juga masuk ke dalam Tumblr-mu. Itu tak lebih dari seorang penggemar yang harus tahu apa yang dibuat oleh orang yang digemarinya.
Saya ingin bercerita, perihal dasar saya menuliskan surat ini. Boleh minta waktumu sebentar untuk menyimak? Jika boleh, terima kasih.
Kala itu, bulan puasa di tahun 2006. Usia saya masih 13 tahun. Oops, 13, angka yang kausuka, bukan? Saya sedang berada di rumah sepupu saya di daerah Pondok Cina, Depok. Menginap beberapa hari untuk bertemu dengan teman-teman kecil saya. Setelah bermain seharian di kampus UI untuk mencari biji karet yang jatuh dan mencari ikan di sekitar danau UI, saya memutuskan untuk kembali ke rumah sepupu saya karena hari menjelang gelap.
Saya mandi dan bersiap untuk buka puasa di ruang tamu. Masih 13 menit lagi menjelang buka puasa. Percayalah, perihal angka 13 dalam tulisan ini tidak dibuat-buat. Saya duduk di sudut ruang tamu sembari terus memerhatikan detik jam yang andai saja saya bisa membuat waktu lebih cepat berjalan. Perut saya sudah tak kuasa menahan lapar. Aroma martabak manis yang baru saja disuguhkan Bude saya sangat amat mengganggu iman saya.
Masih memerhatikan detik jam, seketika pandangan saya menoleh ke arah kolong meja ruang tamu. Di sana saya melihat tumpukan kertas. Saya menghampiri dan mengacak-acak tumpukan kertas itu. Saya belum suka membaca saat itu, namun, entah mengapa saya memiliki kemauan untuk melirik tumpukan kertas yang seakan-akan merayu saya. Harapan saya untuk membaca sore itu hampir musnah ketika tak ada satu pun dari lembar-lembar kertas yang mampu menarik perhatian saya. Saat saya sedang merapikan tumpukan-tumpukan kertas sialan itu, saya melihat buku kecil berwarna hijau tua kelabu. Ya, buku Kambing Jantan karya Raditya Dika. Saya sedikit tertarik untuk membacanya. “Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh” begitu tagline dari buku yang menurut saya—saat itu—bodoh.
Mengapa ada orang yang mengakui bahwa dirinya bodoh dan dengan berani menuliskannya ke dalam sebuah buku? Yang membuat saya tercengang saat itu adalah tulisan ”Best Seller” terpampang jelas di cover buku tersebut. What the meaning of that? Oh, barangkali saat itu Indonesia masih banyak orang yang bodoh, sehingga buku tersebut laris. Ya, begitulah pemikiran saya saat itu. Seorang anak ingusan berumur 13 tahun yang tidak suka membaca mengomentari sebuah buku laris.
Saya pun membaca bab “Kutukan Seekor Tikus Muda” dan saya… terpingkal-pingkal dengan indahnya. Bahkan, saya sempat ditegur oleh Bude saya. Dia bilang, “Kamu kenapa, Ndy? Ketawa sendiri kaya orang gila gitu!” Betapa kurang ajar sekali Bude saya ini. Akhirnya, saya pun jatuh cinta dengan buku.
Malamnya, bukannya sembahyang, saya malah melancong ke toko buku. Saya mencari buku Raditya Dika yang lain. Saya menemukan buku lucu berwarna pink yang berjudul “Cinta Brontosaurus.” Saya melihat namamu untuk pertama kalinya: Penyunting : Windy Ariestanty. Saya membaca buku tersebut dan memilih bab “Di Balik Jendela” sebagai bab beruntung yang saya baca. Demi apapun, saya semakin jatuh cinta dengan Raditya Dika. Pada bab itu, saya—seorang anak berusia 13 tahun—disuguhi cerita yang luar biasa dewasa. Tentang bagaimana cara Radith melupakan seseorang. Dan, tentang bahasa Inggris yang saya tidak mengerti saat itu.
Seiring berjalannya waktu, saya menggemari Radith sebagaimana saya menggemari cinta pertama saya. Eh, malah curhat. Maaf.
Saya menggemari Radith. Tulisan-tulisannya luar biasa cerdas menurut saya. Dia peka tentang segala hal kecil yang sering luput dari perhatian.
Hingga pada tahun 2008, saya jatuh cinta pada orang lain. Saya jatuh cinta dengan kamu. Saya menemukan akun Facebook-mu. Saya add, dan saya pun di-confirm. Jika kautahu perasaan saya saat itu, saya senang luar biasa. Saya membaca notes yang ada di Facebook-mu. Dan saya semakin jatuh cinta dengan kamu.
Saya ingat, saat itu saya salin semua tulisanmu agar saya bisa membacanya di rumah berulang kali. Butuh waktu untuk membeli bukumu yang berjudul “Shit Happens”. Saya menabung uang jajan saya, dan ketika terkumpul, saya tak mendapati bukumu itu ada di toko buku kota saya. Saya sedih, saat itu saya belum tahu—atau mungkin belum ada—toko buku online. Saya hanya bisa membaca tulisan-tulisanmu yang telah saya salin dari notes tersebut berulang kali. Dan, untuk pertama kalinya saya mulai menulis. Saya tidak sedang menggombali kamu bahwa saya menulis karena kamu. Setiap saya ingin menulis, saya selalu membaca tulisanmu terlebih dahulu.
Ingin rasanya saya bertemu dengan kamu. Saya ingin kamu menikmati percakapan dengan saya seperti yang kamu lakukan ketika sedang bercakap dengan orang lain. Saya tahu kamu pecinta jam tangan sekaligus suka mengutuk waktu yang berjalan terlalu cepat. Penggermar warna hitam dan angka 13. Bercita-cita menjadi seorang wartawan perang, dan kamu seorang pesco vegetarian.
Saya tahu itu karena saya mencintai halaman paling belakang buku yang kautulis. Di sana, saya bisa tahu beberapa hal tentang kamu.
Semoga, saya belum terlambat menyampaikan surat ini padamu. Semoga, waktu tidak berjalan terlalu cepat, sehingga ada kesempatan bagi saya untuk bertemu dengan kamu. Terima kasih, karena kamu, tulisan ini ada.
Semoga saya belum terlambat,
@shandyputraa
oleh @shandyputraa untuk @windyariestanty
diambil dari http://anotherdidhurt.tumblr.com
No comments:
Post a Comment