23 January 2013

Mother Alien


Dear Teh Dee,

Selamat ulang tahun! Aaaakkkk *anggap aja ini teriakan histeris ala-ala groupie*.

Tetiba ingatan saya meloncat ke tahun 2005—saat saya baru saja dibagiin rapor semester satu kelas satu SMA di SMAN 24 Bandung. Entah kenapa waktu itu keadaan sekolah kok rame banget. Banyak umbul-umbul pula bertuliskan “Lifebuoy Jawara”. Oh, bakal ada promosi sabun pembersih muka buat remaja ini toh. Baiklaaah…

Iseng, saya tanya ke temen-temen di OSIS dan dapet info kalo ada bintang tamu yang kece banget bakal jadi pembicara. Ketika saya tanya, “Siapa?”, temen saya langsung mengacungkan sebuah buku berwarna biru tua yang bertuliskan “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Spontan, kita berdua teriak girang. “YA ALLAH SUMPELOOO?” *lengkap dengan gerakan menggunakan dua jari yang diacungkan ke arah temen saya seperti koboy mengacungkan pistolnya. Waktu itu baru nge-tren*



Jadi, beberapa hari sebelom dibagi rapor, saya memang baru saja mengkhatamkan “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh” hanya dalam waktu beberapa jam saja. Besoknya, saya baca lagi dan khatam lagi. Saya suka BUANGET sama “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Kata-kata yang saya baca di setiap halaman di novel itu seolah meledak-ledak dan mengacaukan sistem pikiran saya yang masih belia dan cenderung kuper. Dua kali membaca novel tersebut dalam dua hari benar-benar bikin saya sering ngelamun. Mulai dari tokoh utamanya yang gay, konsep cyber avatar yang futuristik, seorang pelacur yang justru super pintar, istilah-istilah asing dan rumit tapi justru terasa familiar, perpaduan antara sains dan sastra, juga ending yang tak bisa ditebak.

Kok bisa ada seseorang di dunia ini yang bisa menggabungkan semuanya itu ke dalam sebuah novel dan mengubah perspektif saya memandang hidup?

Duh, berat ya? Tapi beneran deh. Setelah membaca “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”, saya udah gak pernah ngeliat dunia secara hitam dan putih lagi. Tapi, yang paling penting adalah saya jadi makin mantep buat jadi penulis. Pengen jadi penulis yang seberani Teh Dee.

Anyway, acara si sabun anti jerawat itu mulai di tengah lapangan basket. Daaaan… Teh Dee datang dengan kemeja putih, celana jeans biru, dan kacamata item yang diselipin di atas kepala. Wuidih, cantiiik! Lupa-lupa inget apa aja yang Teh Dee omongin selama jadi pembicara. Pokoknya sih intinya Teh Dee bilang kalo jawara sejati itu adalah salah satunya yang berani ngejar impiannya sampai mimpi itu terwujud.

Selanjutnya, sesi tanya jawab dimulai. Saya secara reflek langsung ngacungin tangan setinggi-tingginya. Saya gak mau kehilangan kesempatan buat nanya sesuatu kepada penulis favorit saya!

“Siang, Teh Dee. Saya mau nanya. Kok Teh Dee berani sih nampilin sepasang tokoh gay sebagai tokoh utama di bukunya? Apa gak takut diprotes tuh bukunya? Terus, apa sih yang harus saya lakuin biar bisa nulis buku sebagus Teteh? Makasih ya, Teh,” tanya saya malu-malu.

Saya juga udah gak terlalu inget apa aja yang Teteh jawab, tapi kurang lebih isinya: “Kenapa harus takut nulis? Kamu kan nulis untuk diri sendiri. Tulis apa yang kamu mau tulis. Saat nulis, jangan sering memikirkan apa yang bakal pembaca komentari setelah baca buku kamu. Nanti bukunya gak akan selesai-selesai.”

Abis itu, saya dapet goodie bag dari si sabun itu dan salaman plus CIPIKA-CIPIKI sama Teteh. Aaaakkkk saya disorakin satu sekolahan, termasuk si Mamah yang ngambilin rapor aku. Hihihi…

Beberapa bulan kemudian, saya memberanikan diri ikutan lomba cerpen se-Jawa Barat yang diadain sama Balai Bahasa Bandung. Cerpennya terinspirasi banget sama “Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh”. Hasilnya? Cerpen saya masuk sepuluh besar se-Jawa Barat. And I was like, “OH MY GOD! ALHAMDULILLAAAAH!” Kalau saya gak pernah baca novel pertama Teteh, mungkin cerpen saya gak akan pernah tembus sepuluh besar—atau kemungkinan besarnya, saya udah berhenti jadi penulis karena dulu hampir kehilangan passion.

Jadi, di surat ini, selain mau mengucapkan selamat ulang tahun, saya ingin bilang: Terima kasih. Terima kasih sudah menginspirasi saya untuk terus mengejar mimpi saya. Walaupun sampai detik ini belum pernah nerbitin buku dan diapresiasi banyak orang, saya masih cukup aktif menulis cerpen, puisi, skenario film pendek, dan blog. Impian saya untuk menjadi penullis masih menggebu-gebu dan itu semua karena salah satunya saya selalu mengingat-ingat ‘wejangan’ Teteh sekitar tujuh tahun lalu itu.

P. S.: Kalau saya udah nerbitin novel perdana saya, orang pertama yang akan saya kirimi adalah Teteh.

20 Januari 2013


Oleh @_rannah untuk @deelestari 
Diambil dari http://rannasubhan.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment