23 January 2013

Perasaan Senada dengan "Mr. Crack" (Pak Habibie)

Assalammualaikum..
Guten Morgen Pak Habibie, perkenalkan nama saya Aditia Putri Arya atau biasa disapa Uti.. Saya berusia 19 tahun, mahasiswi Jurusan Kimia di Universitas Diponegoro, Semarang.. Oh iya Pak, saya sangat kagum sekali dengan bapak.. Bapak itu hebat banget ya dapat menjadi orang pertama yang merancang pesawat canggih di Jerman.. Waaah subhanallah sekali kan warga Indonesia yang biasanya di kenal bangsa asing tidak ada apa-apanya tetapi dengan mudahnya bapak berhasil membuktikan bahwa kita sebagai warga Indonesia mampu menghasilkan suatu inovasi baru untuk dunia.. Tetap pertahankan ya Pak. Hehehe :D Saya juga sering bermimpi untuk kuliah di Jerman ataupun bekerja di BASF, Jerman.. Hhehe :D walaupun nilai IP saya pas-pasan :D
Oh iya Pak, sedikit banyak saya sudah membaca referensi buku hasil karya Bapak yang sedang ramai di perbincangkan khalayak ramai itu Pak.. Saya menjadi kagum sekali dengan Bapak karena ketulusan cinta Bapak dengan Ibu Ainun mampu menginspirasi milayaran orang di dunia untuk dapat lebih menghargai dan menjaga ketuusan cinta yang telah di ikrarkan dalam sebuah iakatan pernikahan.. Tapi Pak, sebenarnya ada hal lain yang lebih menyentuh hati saya yaitu ketika Bapak di anggap hampir gila karena sulit mengikhlaskan Ibu Ainun.. 

Jujur saja, pengalaman Bapak yang satu itu persis sekali dengan apa yang saya alami sekarang Pak.. Saya anak tunggal dan Ibu saya telah meninggal dunia tanggal 17 Agustus 2012 lalu atau H-2 Idul Fitri.. Betapa terpukulnya saya Pak dengan kepergian Ibu yang begitu tiba-tiba.. Kalau bapak baru mengetahui Ibu Ainun mengidap kanker saat 3 hari sebelum ia pergi, lain halnya dengan saya yang sudah mengetahui Ibu saya mengidap hypertensi dan diabetes sejak saya SD.. Tetapi sebelum Ibu pergi, beliau sempat muntah-muntah 3hari Pak dan saya serta ayah hanya mengira bahwa ia mungkin masuk angin.. Ibu pun beranggapan begitu Pak, karena beliau memang sudah sering masuk angin.. Tetapi ternyata saya kurang peka Pak, 3hari itu adalah tanda-tanda awal bahwa kerusakan otak telah mendera dirinya.. Ibu saya hanya 1 malam di rumah sakit dan ketika ia pergi, saya sedang berada di rumah, tidak di rumah sakit.. Kala itu saya seperti orang gila. Saya membanting semua barang yang ada di rumah lalu menangis dan berteriak sekeras mungkin hingga tetangga-tetangga di rumah langsung menghampiri saya di kamar.. Sakitnya lagi yaitu ketika ayah saya sengaja tidak memberitahu kabar buruk itu ke saya.. Tetapi justru Bu'de saya yang memberitahu saya. Ayah beralasan bahwa ia tidak ingin membuat saya panik, makanya ia memilih diam sampai jenazah Ibu samapi di rumah. Akhirnya salah seorang tetangga saya mengantar saya ke rumah sakit. Selama di perjalanan saya tak henti-hentinya menangis dan berteriak. Saya mengeluh kepada Allah, kenapa Allah ambil Ibu secepat ini ?? Tanpa ada satu pesan yang Ibu utarakan kepada saya..
Setibanya di rumah sakit, saya kembali histeris bahkan sampai seluruh pasien dan keluarga pasien yang di ruangan Ibu saya di rawat keluar bersama-sama untuk mencari tahu siapa gadis kecil yang sedari tadi berteriak dan menanangis memanggil Ibunya dan memintanya untuk bangun. Saya terus menggoyangkan jenazah Ibu saya, saya menangis dan berteriak karena saya tak sanggup tanpa dia. Karena merasa tidak enak dengan semua orang di rumah sakit, ayah saya pun menghampiri mereka dan meminta maaf karena saya telah mengusik ketenangan mereka. Selama di ambulans, saya terus menangis dan meminta Ibu untuk bangun. Tapi usaha saya nihil, Ibu tidak bangun lagi. Kala itu hanya berharap bahwa Ibu hanya mati suri dan saya optimis dia bisa bangun kembali. Tetapi pikiran saya salah, beliau benar sudah meninggal dunia.
Ketika itu, ayah saya menghampiri saya kemudian berkata, "Jangan nangis lagi ya nduk, inget kan ayah sudah sering bilang bahwa menangis dapat menunjukkan kelemahan kamu. Ayah yakin kamu kuat. Ayo keluar, ada Bu Siti, Bu Herman, Bu Mulyana tuh. Ayo anak ayah bisa kuat ko".. Bu Siti, Bu Herman dan Bu Mulyana adalah guru ngaji aku dan Ibuku Pak. Kemudian saya keluar kamar tanpa meneteskan air mata sedikitpun. Bahkan ketika memandikan dan mengafani Ibu saya, saya tidak menangis sedikit pun. Saya berusaha kuat dan tegar. Ketika di pemakaman, saya juga tidak menangis Pak. Saya benar-benar menahan tangisan saya. Hampir tiap bertemu orang, saya selalu bersikap kuat dan tegar, padahal batin saya sangat menangis Pak. Setelah Ibu pergi, dunia saya berubah 180 derajat. Saya menjadi sangat introvert, hampir tiap hari tidak dapat tidur dan terus menangis sambil memanggil nama Ibu saya. Saya benar-benar seperti orang gila Pak. Bahkan teman-teman saya ada yang menjauhi saya karena mereka anggap saya berlebihan. Tapi jujur Pak, mungkin yang saya rasakan hampir sama dengan yang Bapak rasakan ketika Ibu Ainun pergi. Sakit yang luar biasa dalam Pak. Banyak sekali hal gila yang saya pikirkan dan semua itu hanya karena saya masih ingin memeluk beliau dan bersama beliau.
Sejak ia pergi, saya kesepian sekali Pak. Benar-benar merasa bahwa sudah tidak ada lagi orang yang peduli dengan saya. Setiap saya menuliskan isi hati saya lewat twitter atau blog, tak jarang banyak teman saya yang justru il feel dengan saya. Tapi jujur Pak, andai mereka dapat rasakan apa yang saya rasakan. Ibu pergi tiba-tiba dan koma setelah kebanyakan insulin yang diberikan suster kala di rumah sakit. Saat di UGD, beliau masih meneteskan air mata Pak ketika saya menggenggam tangannya sambiil terus menangis.. Awalnya dokter jaga UGD mengira hal yang sama denga om saya dan dokter klinik. Ya ibu mungkin gangguan syaraf. Tetapi hasil CT Scan berkata lain, ibu mengalami kerusakan otak. Tetapi sejak masuk ruang rawat inap, tangan kanan Ibu yang semula sangat aktif karena kaki, tangan kirinya sudah tidak berfungsi kini juga ikut melemah. Mata kiri Ibu perlahan tertutup. Awalnya saya kira Ibu hanya tidur, tapi ternyata Ibu koma ! Ya Allah saya sangat sedih sekali saat itu, gula darah Ibu yang awalnya hampir 500 kini menurun menjadi 34. Padahal gula darah orang normal pun 80-120. Setelah di check ternyata Ibu kelebihan insulin yang di berikan suster. Saya ingin sekali marah dengan suster kala itu, tapi lagi-lagi ayah saya menahannya. Sungguh di sayangkan ketika biasanya saya tidur dengan beliau namun di hari terkahir sebelum dia masuk RS, saya tidak tidur bersamanya. Jadi tidak ada satu pesan pun yang dia utarakan.
Jujur Pak, semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan awalnya ayah saya menganggap saya bohong. Ketika itu Ibu saya naik ke kamar saya sambil menyemprotkan parfum banyak sekali. Saya yang sedang tidur kemudian bertanya apa tujuan dia seperti itu ? Tapi dia diam saja dan terus menyemprotkan parfum sambil tersenyum. Saya yang kala itu sedang setengah tertidur akhirnya mengatakan dengan anada tinggi apa tujuan dia seperti itu ? "Bu, apaan sih ? Ngepain semprot-semprot parfum. Bersin-bersin nih uti !" Tapi keanehan justru datang, dia menjawab pertanyaan saya yang agak marah dengan terbata-bata. Kala itu saya langsung menangis melihat dia yang seperti itu. Biasanya kalau saya berbicara dengan nada tinggi, dia pasti langsung marah-marah tetapi kali ini dia seperti linglung. Langsung saya telepon ayah saya dan menyuruhnya pulang. Tetapi ia tidak percaya karena pukul 11.00, Ibu saya masih menyapu, mengepel, membuang sampah dan mengantar ayah saya kerja sampai depan rumah. Sedangkan Ibu seperti itu pukul 13.30. Sungguh waktu yang singkat bukan, Pak ? Semakin malam kondisi Ibu semakin parah. Bahkan ketika saya menghubungi Bu'le & Bu'de saya lalu meminta Ibu untuk berbicara, dia hanya terseyum dan berkata "a e a e" seperti gagap Pak. Saya semakin menangis kala itu.. Tetapi Ibu justru berkata, "Ih ko nangis ??", sambil seperti bingung kemudian tersenyum. Saya teriak-teriak sambil menangis hingga akhirnya ayah saya pulang dan kemudian pukul 17.00 membawanya ke klinik umum langganan Ibu. Tetapi dokter klinik berasumsi bahwa Ibu gangguan syaraf. Beberapa menit sebelum adzan maghrib, karena saya sudah lelah menangis, akhirnya saya minum air putih. Lalu Ibu berkata sambil terbata, "Ko minum ? Emang kamu ga puasa ?", sambil kembali bingung dan tersenyum. Saya kembali menangis tetapi ia justru hanya tersenyum dan ternyata itu kalimat terakhir yang ia ucapkan kepada saya. Pas adzan maghrib, dia sudah tidak dapat berbicara. Banyak hal yang  menurut saya subhanallah sekali. Beliau shalat ashar sendiri Pak. Walaupun kondisi seperti itu, dia shalat walaupun gerakannya mulai salah. Bahkan ketika maghrib, dia mengambil wudhu sendiri Pak. Namun dengan kondisi kaki kanan kiri sudah melemah namun saya & ayah tak ada yang tanggap kala itu. Dia berwudhu sambil terus memandang saya dan dia hampir lupa membasuh kakinya Pak, tapi akhirnya dia membasuh kakinya setelah saya ingatkan. Akhirnya saya shalat dengan Ibu dan saya menjadi imamya. Ketika shalat, Ibu terus memegang ikat rambut saya sambil mengelus kepala saya. Shalat Ibu mulai tak karuan dan tak terasa air mata membasashi pipi saya ketika saya tetap melanjutkan shalat. Makin malam Ibu semakin jadi. Ayah saya sudah konsultasi dengan om saya yang dokter. Tetapi asumsinya sama dengan dokter klinik, Ibu mungkin gangguan syaraf akibat gula dan tensinya tinggi. Ketika ayah hendak menebus obat dari klinik, Ibu memaksa ingin keluar rumah dan saya melarangnya. Ibu kemudian memakai kardigan saya tapi tangan sebelah kirinya tidak di masukan. Saya berpikir mungkin karena Ibu sedang seperti itu makanya dia tidak memasukan tangan kirinya, tetapi ternyata tangan kirinya sudah melemah. Ibu kemudian hendak memakai bedak dan bedaknya pun jatuh ke lantai, tetapi dia justru mengusap bedak yang di lantai ke wajahnya. Lalu saya melarangnya sambil menangis. Dia kemudian berdiri dan mencubit hidung saya berkali-kali. Tiap dia memaksa keluar rumah, saya melarangnya karena takut dia kenapa-kenapa. Tetapi dia memegang tangan saya kemudian menatap saya cukup lama sambil tersenyum dan lagi-lagi mencubit hidung saya dan mengelus kepala saya dengan pelan. Semakin malam, dia terus memamandangi saya, bu'le, bu'de yang baru sampai di rumah dengan mata melotot. Apapun yang ada di hadapannya dia makan. Saya sampai mengira bahwa Ibu kerasukan. Akhirnya Ibu di bawa ke kamar dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Di tempat tidur, dia terus memainkan kancing baju saya dan bu'de saya. Saya terus menangis sambil membacakannya yaasiin.. Akhirnya malam itu pada hari kamis pukul 01.00, karena bu'le sudah tidak tahan melihat Ibu seperti itu, akhirnya Ibu di bawa ke RS. Tetapi Allah berkehendak lain, Jumat pukul 06.00 dia menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal pukul 05.00 ayah saya mengabarkan bahwa kondisi Ibu membaik tinggal cuci darah saja karena ginjal Ibu sudah terserang dan paru-parunya juga sudah terendam akibat urin yang sulit keluar karena dia koma. Alat untuk membantu dia makan pun dipasang di hidungnya, saya yang kala itu sendiri di RS karena ayah saya pulang mengambil pakaian Ibu, hampir saja menangis ketika saya di minta menanda tangani surat persetujuan pemasangan alat. Karena belum tidur & makan semalaman, akhirnya pukul 15.00 saya di antar pulang ke rumah oleh ayah. Saya menolak kala itu bahkan terus menangis di jalan. Saya ingin kembali ke RS, saya ga mau ninggalin Ibu. Tapi ayah bilang, gapapa sudah ada adik ayah yang menjaga. Di rumah pun saya tidak makan & tidur hingga pukul 05.00, ayah saya mengabarkan bahwa Ibu membaik. Kata bu'le, malam itu Ibu di pasangkan alat penyedot air yang berada di paru-parunya dan berbagai alat sudah di pasangkan di tubuhnya. Sebenarnya ayah saya juga kaget, karena ketika ia hendak ke parkiran, dokter menyuruh bu'le saya meminta ayah segera kembali ke kamar dan ternyata, tepat pukul 06.00, Ibu wafat. Ya Allah menipu sekali pikirku kala itu. Allah sudah menunjukkan bahwa dia akan sembuh, tetapi apa yang Allah lakukan ? Dia mengambil Ibu.
Sekarang saya sendirian di Semarang dan ayah saya di rumah (Bekasi). Saya kesepian sekali Pak tanpa Ibu. Saya merasa buat apa saya hidup kalau Ibu tidak ada ? Saya pernah berpikir untuk menggali kembali makam Ibu kemudian memeluknya dengan erat. Tetapi akal sehat saya kembali berfungsi, bahwa saya harus rasional. Pak, saya tidak tahu lagi bagaimana kelanjutan hidup saya tanpa Ibu. Sudah 5 bulan lebih dia pergi tetapi saya masih saja stress seperti ini Pak. Saya bingung harus bercerita ke siapa selain Allah ?? Karena ayah saya selalu megalihkan pembicaraan apabila saya mengeluhkan semua ini.. Saya selalu memendam kesedihan saya sendiri Pak. Bibir saya selalu beku ketika ingin bercerita dengan orang lain. Saya sempat mau di bawa ke psikiater oleh teman saya, tetapi saya menolak. Apakah yang saya rasakan hingga kini masih bapak rasakan ?? Apakah yang bapak lakukan ketika bayangan Ibu Ainun kembali menari-nari di pikiran Bapak ? Saya introvert Pak, daridulu saya selalu memendam masalah saya sendiri. Saya hanya ingin berbagi cerita hati dengan Ibu. Kalau dengan ayah hanya berbagi cerita yang umum saja.



Pak, semoga Ibu Ainun dan Ibu saya bertemu di Surga ya Pak. Saya yakin mereka berdua insya Allah mendapatkan tempat terindah di sisi Allah swt. Walaupun banyak orang meyakinkan saya bahwa Ibu sudah mendapat tempat terindah, tetapi hati saya masih sakit hingga kini Pak. Mungkin sama halnya dengan yang Bapak rasakan kini.. Tetapi mungkin perasaan saya ini karena latar belakang saya yang anak tunggal.. Sehingga begitu dalamnya sakit ini ketika Ibu, orang yang paling berharga untuk saya meninggalkan saya untuk selamanya..
 
Pak, saya selaku warga Negara Indonesia sangat bangga memiliki sosok seperti Bapak.. Selain cerdas, kreatif dan inovatif, Bapak juga dapat di jadikan suri tauladan yang baik bagi para pemuda pemudi di Indonesia untuk lebih semangat lagi memajukan bangsa ini :) Bapak juga sosok suami yang luar biasa.. Yang tak pernah lelah menemani dengan sepenuh hati dan setia bersama Ibu Ainun sejak beliau masih bernafas hingga sudah tiada.. Pengorbanan dan perjuangan Bapak bagi Ibu Ainun juga sunggu sangat besar. Semoga Ibu Ainun di terangi kuburnya & di luaskan rumahnya ya Pak..
 
Terima kasih Pak, sudah membaca surat saya. Terima kasih sudah bersedia mendengarkan cerita saya. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan kepada Bapak. Namun sudah terlalu panjang surat ini sepertinya. Biarlah lain waktu kita berbagi pengalaman bersama ya Pak ;) Pak, kita sama-sama kehilangan orang yang paling berharga di hidup kita dan kita sama-sama sulit bangkit dari kenyataan pahit ini. Tetap semangat ya Pak.
Wassalammualaiakum..




oleh @putriaryaa untuk @habibiecenter
diambil dari http://aditiaputriarya.blogspot.com

No comments:

Post a Comment