Jakarta, 23 Januari 2013
Langit,
Biar aku tulis surat ini untukmu. Surat pertama untuk langit,
Jakartaku. Terimakasih sebelumnya karena tepat jam 2 malam aku tiba
dibawah langit ini disambut dengan baik. Langit yang gelap pekat seperti
layaknya malam biasa, tiada air yang turun dari langitnya. Terimkasih
karena sambutan yang begitu sempurna, seakan semesta menyenangi
kedatanganku.
Ku pejamkan mataku untuk beberapa jam. Melepas segala lelah
yang ku bawa dari kota rantau ku. Melepas dia sementara disana, semoga
langit Jogja menjaganya. Memerhatikan tiap apa yang dia lakukan, semoga
semesta menyertaiku, selalu membawa rasa rindu yang ada untuknya.
Saat mata ku telah kembali menyatu dengan dunia nyata, tapi
tidak dengan nyawaku. Ya, nyawa yang ada dalam tubuhku belum sepenuhnya
menyatu dengan atmosfir Jakarta. Tapi langit Jakartaku menyambut ku
dengan mentarinya. Mentarinya yang tak begitu terik sehingga bebas
mataku memandang yang biru membentang diatas tanpa batas, langit
Jakartaku.
Tapi yang membentang diatas tanpa batas itu tidak bertahan lama
biru, sampai yang biru digantikan oleh hitam yang pekat. Loh ini kan
siang? Memang siang bukan berarti harus selalu terang, dan malam pun tak
berarti harus selalu gelap. Itu semua bergantung kepada matahari dan
bulan. Yang menjadi pemain utama dalam layar membentang diatas tanpa
batas.
Yang membentang tiada batas, aku hanya bagian kecil yang berada
dibawahmu. Tapi sekiranya boleh aku meminta? Jangan menangis terlalu
deras, kasianilah kami yang berada dibawahmu. Air mu kami butuhkan
memang, tapi jangan jatuh terlalu berlebihan, lebih baik kau jatuh
perlahan sehingga menjadi lagu yang merdu untuk tidur siangku.
Yang membentang tiada batas, taruhlah belas kepada kami, agar tidak hujan terlalu deras.
Aku,
Yang berada dibawahmu.
Oleh @arahoy
Diambil dari http://rarasrachmalinda-arahoy.blogspot.com
No comments:
Post a Comment