24 January 2013

Yang Membentang Tiada Batas

Jakarta, 23 Januari 2013
Langit,
Biar aku tulis surat ini untukmu. Surat pertama untuk langit, Jakartaku. Terimakasih sebelumnya karena tepat jam 2 malam aku tiba dibawah langit ini disambut dengan baik. Langit yang gelap pekat seperti layaknya malam biasa, tiada air yang turun dari langitnya. Terimkasih karena sambutan yang begitu sempurna, seakan semesta menyenangi kedatanganku.
Ku pejamkan mataku untuk beberapa jam. Melepas segala lelah yang ku bawa dari kota rantau ku. Melepas dia sementara disana, semoga langit Jogja menjaganya. Memerhatikan tiap apa yang dia lakukan, semoga semesta menyertaiku, selalu membawa rasa rindu yang ada untuknya.
Saat mata ku telah kembali menyatu dengan dunia nyata, tapi tidak dengan nyawaku. Ya, nyawa yang ada dalam tubuhku belum sepenuhnya menyatu dengan atmosfir Jakarta. Tapi langit Jakartaku menyambut ku dengan mentarinya. Mentarinya yang tak begitu terik sehingga bebas mataku memandang yang biru membentang diatas tanpa batas, langit Jakartaku.
Tapi yang membentang diatas tanpa batas itu tidak bertahan lama biru, sampai yang biru digantikan oleh hitam yang pekat. Loh ini kan siang? Memang siang bukan berarti harus selalu terang, dan malam pun tak berarti harus selalu gelap. Itu semua bergantung kepada matahari dan bulan. Yang menjadi pemain utama dalam layar membentang diatas tanpa batas.
Yang membentang tiada batas, aku hanya bagian kecil yang berada dibawahmu. Tapi sekiranya boleh aku meminta? Jangan menangis terlalu deras, kasianilah kami yang berada dibawahmu. Air mu kami butuhkan memang, tapi jangan jatuh terlalu berlebihan, lebih baik kau jatuh perlahan sehingga menjadi lagu yang merdu untuk tidur siangku.

Yang membentang tiada batas, taruhlah belas kepada kami, agar tidak hujan terlalu deras.
Aku,
Yang berada dibawahmu.
 
 
Oleh @arahoy
Diambil dari http://rarasrachmalinda-arahoy.blogspot.com

No comments:

Post a Comment