24 January 2013

Cukup Dalam Diam


Selamat tengah hari, Sayang.

Aku sengaja memulai menulis surat ini tepat pukul dua belas siang.

agar kamu bisa membacanya di waktu senggang.

Maaf kalau aku lancang mengucap sayang. Aku tahu … aku sadar sekali kalau aku memang tidak pantas memanggilmu begitu. Maafkan aku. Kau apa kabar? Masih tenggelam dalam kesibukanmu bermusik seperti dulu? Atau … kau sudah rajin membaca buku? Tapi aku tidak yakin pada kemungkinan yang terakhir itu. Lucu saja membayangkan wajahmu yang biasanya berhadapan dengan gitar itu malah berhadapan dengan buku.

Terakhir yang kutahu, kau sudah menjalin hubungan dengan seseorang, ya? Ah, akhirnya hatimu menemukan tempat berlabuh. Semoga dia orang yang tepat untukmu. Dia pasti wanita yang hebat sekali.  Kau tahu kenapa aku bisa seyakin itu? Yah, bukannya kau sendiri yang bilang kalau kau belum ingin menjalin suatu hubungan dengan seseorang? Tapi … tapi saat pertama kali melihatnya, kau langsung jatuh hati, kan? Kau langsung melupakan prinsipmu itu, kan?

Lalu … kau menuliskan sebuah lagu untuknya, iya, untuk dia yang baru saja kaukenal. Kau menyanyikan lagu itu di depannya, kau memainkan gitar kesayanganmu di hadapannya. Tatapanmu teduh sekali saat itu. Raut wajahmu sangat tenang saat kau memintanya untuk menjadi kekasihmu setelah lagumu itu usai. Dan kemudian … saat senyum malu-malu itu terurai dari wajahnya, kau juga degdegan, kan? Saat anggukan kecil itu terlihat oleh dua bola matamu, kau sangat senang, kan? Aku yakin sekali kalau tidak ada orang di sana, kau pasti akan melompat saking senangnya. Kau mau tahu kenapa aku tahu setiap detail tentang kejadian ini? Karena aku pun berada di sana. Cukup jauh untuk membuatmu tidak menyadari kehadiranku, tapi cukup dekat untuk membuatku bisa melihat dengan jelas setiap inchi kejadian.

Aih, bolehkah aku iri pada wanita itu? Dia bahkan belum genap sebulan mengenalmu, kan? Tapi dia sudah memenangkan hatimu begitu saja. Dia membuatmu bertekuk lutut dalam sekejap. Padahal … padahal aku dari dulu sudah menyukaimu. Dari awal kita bertemu. Iya. Setahun yang lalu. Aku melihatmu sedang bermain gitar di taman itu. Taman kampus kita. Lalu entah bagaimana caranya takdir berbaik hati membuat kita akhirnya saling mengenal.

Aku iri pada wanita itu. Dia memenangkan hatimu tanpa harus berjuang meraihnya. Dia mendapatkan hatimu tanpa perlu menangis di malam-malam sepinya. sedangkan aku …? Aku yang mencintaimu—meski dalam diam—hanya bisa tergugu saat tahu dia telah memenangkan hatimu. Dia hanya duduk manis, sedangkan aku berlari tanpa jeda. Dia hanya tertawa manis, sedangkan aku menangis pilu. Aku ingin menjadi dia, tempatmu melabuhkan hati. Aku ingin menjadi dia, saat tahu hanya dia yang bisa membuatmu tersenyum setiap detik dalam hidupmu. Aku memang iri padanya, tapi aku tidak akan membencinya. Aku yakinkan kau tentang itu. Bagaimana aku bisa benci ketika aku tahu kalau dia yang membuat senyum dan tawa selalu terurai dari wajahmu yang tenang. Bagaimanalah …

Semoga kau selalu berbahagia, ya. Semoga memang dia yang menjadi tempatmu pulang. aku memang tidak seberuntung itu untuk menjadi tempatmu pulang. Aku tidak seberuntung itu untuk menjadi orang yang bisa membahagiakanmu. Cukuplah aku mendoakan kebahagiaanmu dalam doa-doa panjangku, seperti yang setahun terakhir selalu aku lakukan; setiap hari.

Tertanda,

seseorang yang mencintaimu dalam diam



Oleh @ulyauhirayra
Diambil dari http://ulyauhirayra.tumblr.com/post/

No comments:

Post a Comment