24 January 2013

Pemilik Hati Yang Tak Pernah Termiliki


Untuk pemilik hati yang tak pernah termiliki.

Rio.

Semarang hari ini begitu dingin yaa, mungkin karena hujan yang baru saja berhenti. Bagaimana daerah rumahmu? Banjir seperti biasanyakah? Kasian Tante kalau begitu harus membersihkan air yang menggenang dihalaman rumah. Aku tau, pasti kamu hanya sibuk memperhatikannya tanpa berniat membantunya, kan? Keterlaluan.

Aku sedang dirumah sendirian siang ini, makanya aku iseng saja menulis surat untukmu, Rio. Tidak terasa 2 tahun sudah berlalu sejak perrtemuan kita yang pertama ya. Tuhan itu memang Maha Merencana. Tak ada rencanaNya yang tak indah. Walaupun mungkin belum indah saat ini untuk kita, tapi kuyakin nanti pasti datang saatnya.

Siang itu udara Semarang begitu panas, terlebih bagi kita yang yang sedang melakukan Technical Meeting Penerimaan Mahasiswa Baru di kampus. Penjelasan dari panitia Penerimaan Mahasiswa Baru begitu membosankan bagiku. Sedangkan teman pun belum banyak yang ku kenal dan bisa kuajak ngobrol. Begitupun denganmu yang duduk disebelahku. Walaupun ingin sekali kuajak kamu ngobrol, tapi rasa itu menguap begitu saja menyadari ketampananmu. Hey, tolong jangan GR dibagian ini. Maksudku, wajahmu yang sangat cina, dengan mata sipit dan kulit putih berpostur tubuh tinggi. Begitu manis dan sukses menarik perhatianku. Terlebih ketika kamu ditunjuk sebagai pemimpin doa. Kamu yang seorang Katholik bisa membuatku yang seorang Muslim begitu tersentuh dan tenang mendengar cara kamu berdoa. Diam-diam disela doaku yang sedang kau pimpin, akupun menyelipkan sebuah doa pada Tuhan. Semoga kita satu fakultas dan dapat saling mengenal satu sama lain.

Tuhan Maha Mendengar, dibuktikanNya dengan aku yang dipertemukan lagi denganmu. Ternyata kita memang satu fakultas. Bahkan satu kelas. My dream comes true, Thanks God. Senang sekali setiap hari bisa kulihat kamu tersenyum, mengamati cara bicaramu, memperhatikan gayamu ketika berjalan atau sekadar melirikmu diam-diam ketika kau sedang mengerjakan ujianmu. Sayangnya 2 bulan kita sekelas tak ada tegur dan sapa. Entah kamu yang tak ingin memulainya atau aku yang terlalu takut menyapamu dulu. Mungkin aku harus berterimakasih pada dosen yang telah membuat tugas kelompok dan memilih kita untuk satu kelompok. Karena dengan hal itu mulailah kita saling bertukar sapa, walaupun hanya untuk membicarakan masalah tugas. Kitapun jadi sering smsan. Mulai dari menanyakan tugas sampai lama kelamaan kamu ceritakan juga tentang kehidupanmu. Begitupun aku. Bukan main senangnya aku, Rio. Bisa sedekat itu denganmu. Tapi tak bisa kupungkiri aku kecewa juga setelah tau ternyata kamu memiliki kekasih. Bukan salahmu memang yang tak sedari awal bilang padaku tentang ha ini. Mungkin harapankulah yang sudah membumbung terlalu tinggi tanpa sekalipun kau tau. Namun begitu kita tetap dekat dan aku pun menghormati hubunganmu dengan kekasihmu. Walau pada akhirnya kau bercerita juga bahwa hubunganmu dan kekasihmu telah berakhir. Senang? Tentu saja, Rio. Aku senang karena dengan begitu mungkin aku bisa denganmu. Mungkin aku jahat, tapi begitulah. Aku tak ingin munafik. Dengan sabar kudengarkan kamu yang bercerita bagaimana sedihnya kamu ditinggal kekasihmu. Kamu tau? Saat itu ada yang lebih sedih darimu. Aku. Seperti menyayat nadi sendiri ketika dengan telinga lebar kudengarkan semua keluhmu yang begitu sedih kehilangannya, padahal disini ada orang yang begitu menyayangimu. Lagi-lagi aku, Rio.

Aku sayang kamu Rio. Bagaimana denganmu? Dengan semua perhatian yang juga kamu berikan padaku. Dengan semua nasehat yang selalu kudengar darimu saat masalah menderaku. Dengan semua teleponmu untukku yang kuterima hampir setiap hari? Dengan semua makan malam yang pernah kita lewatkan? Dengan semua anggapan anak-anak kampus yang melihat begitu dekatnya kita dan menyimpulkan kita adalah sepasang kekasih? Apakah tak ada perasaan lebih untukku, Rio? Sama sekali tak ada?

Dua tahun sudah, Rio. Kita dekat, bahkan sangat dekat. Sering kuceritakan kamu pada Mamaku, begitupun kamu yang selalu menceritakanku pada Tante. Beliau bahkan begitu ramah ketika bertemu denganku. Aku tau, mungkin akan sulit bagi kita apabila bersama, terlebih kau seorang Katholik dan aku Muslim. Mungkin itu pula yang membuatmu tak bergerak maju untuk hubungan ini. Atau benar yang dikatakan temanmu bahwa kau takut untuk berkomitmen? Kau tetap berjalan ditempatmu sedang aku inginnya kita berjalan selangkah demi selangkah. Seperti hanya aku yang berusaha untuk melangkah sedang kau begitu menikmati jalan ditempatmu. Ingin aku lari, meninggalkanmu. Namun selalu kau pegang tanganku untuk tetap berjalan ditempat, seperti yang kamu lakukan. Agar aku tetap ada disebelahmu.

Tunggu, tunggu. Hubungan macam apa ini? Kau begitu menikmati semua perhatianku, sayangku. Sedangkan kamu sendiri tak juga menegaskan bahwa akulah milikmu dan kamu milikku. Ini begitu sulit untukku. Bukankah itu tak adil, Rio? Atau sedari awal memang tak pernah ada usahamu untuk kita? Kau hanya terlalu sayang melepas orang yang menyayangimu? Selagi aku tetap ada untukmu, mengapa tidak kau nikmati saja semua yang kuberi? Begitukah?

Sedangkan untuk menanyakan semua ini padamu aku serasa tak mampu dan malu. Aku perempuan, Rio. Tak mungkin mengawali. Akupun tak nyaman bila terus seperti ini, karena kusadar. Aku berharap terlalu lebih padamu, bukan? Tolong katakan saja, iya. Jika memang itu yang kamu rasakan. Bicaralah biar semua pasti. Nanti setelah aku tau apa mau kamu, aku janji kita akan tetap bersahabat dekat seperti sebelumnya.

Tak ada yang berubah. Hanya harapku akanmu yang akan berubah, tapi tak masalah juga kan buatmu?

Yang menunggumu bicara.
-Lily-



Ditulis oleh : @enhanhanha
Diambil dari http://ernamardjono.tumblr.com

No comments:

Post a Comment