Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Hanya saja egoku terlalu tinggi untuk mengakui. Lebih tepatnya terlalu ciut. Pengecut. Seperti anak kecil yang menolak untuk diobati saat terluka dan lebih memilih meniup-niup luka itu sendiri. Padahal ia tahu lukanya akan cepat sembuh jika diobati. Ia hanya terlalu takut untuk sedikit menahan perih.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Ingat saat kau mengungkapkan sukamu padaku, dan yang kuminta darimu adalah agar kau mau menunggu? Biar terlebih dulu aku terbangun dari menimang luka, supaya aku melihatmu sebagai sosok yang nyata ada. Tapi menunggu agaknya menjadi permintaan yang terlalu sulit untukmu. Karena ketika aku merasa siap untuk memenangkan hatimu, kau begitu saja berlalu. Aku terlambat.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Aku mengantarkan suratku sendiri. Sekaligus mengantarkan racun untuk kutelan sendiri. Bukan mataku tempat pandangmu menuju. Tidak, tidak lagi. Padanya lah sekarang tanganmu merentang, hatinya lah yang kini kau genggam.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Hujan menertawakan isi suratku, melunturkan tinta, dan merajam-rajam kertas suratku dengan percikannya. Surat itu hancur. Mataku ikut deras menurunkan hujan, tapi hatiku perlahan tewas kekeringan.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Dan ini adalah surat tentang bagaimana surat tadi tak pernah tersampaikan.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Ingat saat kau mengungkapkan sukamu padaku, dan yang kuminta darimu adalah agar kau mau menunggu? Biar terlebih dulu aku terbangun dari menimang luka, supaya aku melihatmu sebagai sosok yang nyata ada. Tapi menunggu agaknya menjadi permintaan yang terlalu sulit untukmu. Karena ketika aku merasa siap untuk memenangkan hatimu, kau begitu saja berlalu. Aku terlambat.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Aku mengantarkan suratku sendiri. Sekaligus mengantarkan racun untuk kutelan sendiri. Bukan mataku tempat pandangmu menuju. Tidak, tidak lagi. Padanya lah sekarang tanganmu merentang, hatinya lah yang kini kau genggam.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Hujan menertawakan isi suratku, melunturkan tinta, dan merajam-rajam kertas suratku dengan percikannya. Surat itu hancur. Mataku ikut deras menurunkan hujan, tapi hatiku perlahan tewas kekeringan.
Aku menulis surat untukmu tentang bagaimana ternyata aku telah menyerah untuk tidak memikirkanmu sejak pertama pandang kita beradu. Dan ini adalah surat tentang bagaimana surat tadi tak pernah tersampaikan.
oleh @tfnyaprdht
diambil dari http://breakfastattifanys.tumblr.com
No comments:
Post a Comment