24 January 2013

Untukmu, di Rahim Ibumu


Halo sayang… 

Ini sapa pertamaku kepadamu. Kepada kamu yang tengah berada di dalam rahim ibumu. Kenapa? Kamu bingung ya? Kamu heran kenapa aku menyapamu? Tiba-tiba saja aku ingin bercerita denganmu, berharap kamu mau berteman denganku. Bagaimana? Kita kait kelingking ya, sebagai janji bahwa kita akan menjadi teman yang baik 

Kamu tak perlu khawatir. Sesungguhnya, aku bukanlah seseorang yang jauh denganmu. Aku dekat. Mungkin, masih ada dalam celah-celah ingat, milik ayahmu. Ya, aku adalah seseorang yang pernah saling mengenal baik dengan ayahmu. Di masa lalu.

Aku dengar, kamu baru saja tiba di dalam rahim ibumu. Aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Bahkan aku buru-buru ingin berkenalan denganmu. Aku harap, nantinya kamu akan bahagia, menikmati semua perjalanan di dalam rahim ibumu. Hingga kamu bisa bertemu ibumu, ayahmu dan semua keluarga besarmu dengan senyum dan tawa yang tak pernah semu.

Nikmatilah, di saat ruh ditiupkan kepadamu. Di saat tubuhmu beranjak sempurna. Di saat segala paras dan takdir tengah dituliskan sebagai yang terbaik untukmu. Bukannya aku mendahului takdir, aku hanya menyisip doa agar kamu selalu mencumbui bahagia tanpa henti.

Kamu tahu? Sejak dulu, ayahmu telah mendambakan kehadiranmu. Ia selalu membayangkan kebahagiaan tak terhingga seandainya memilikimu. Aku selalu melukis senyum di wajahku ketika cerita itu memenuhi telingaku. Ya, aku selalu mendengarkan semua cerita ayahmu dengan seksama. Ia lah pria dengan segala harapan terbaik untuk masa depannya. Ia pun selalu menceritakan impiannya dengan tawa. Seperti saat ini, ketika aku menuliskannya untukmu. Senyumku tak pernah aku lenyapkan, meski sesekali, aku mengusap buliran air mata yang membasah di pipiku. Tenang, aku tidak sedih. Aku sedang terharu, sayang.

Jika aku hitung, kamu akan menyapa semesta raya menjelang musim hujan. Ya, menjelang hujan nanti insyaAlloh adzan yang terlisan dari bibir ayahmu akan kamu dengar dengan telingamu. Menenangkan jiwamu. Itu, sambutan syahdu atas kehadiranmu. Semoga kamu tumbuh menjadi seorang yang penuh kasih seperti ayahmu.

Nanti, jangan kamu khawatirkan apa-apa tentang perjalananmu. Bersama ayahmu, aku yakin kamu akan memiliki masa-masa yang menyenangkan. Ia lah pria penyayang yang pengertian. Banyak yang ia pelajari tentang anak-anak semasa ia masih ada di dekatku. Pernah suatu kali ia menjemput aku di tempat kerja secara tiba-tiba. Aku tak tahu ia akan membawaku kemana. Ternyata ia mengajakku menuju alun-alun kota, di sana baru saja diaktifkan free wifi untuk warga. Ia tambahkan, akan ada tawa-tawa kecil yang akan kami dengar. Kamu tahu, siapa pemilik tawa-tawa itu? Mereka lah anak jalanan yang sibuk bermain sambil mencari uang. Aku pikir, apa yang akan ia lakukan disana. Ia membuka laptop yang ia bawa, ia mulai menunjukkan beberapa foto anak-anak yang ia punya. Beberapa saat aku baru menyadarinya, anak-anak yang tengah berlarian di hadapanku saat itu, adalah yang ada di dalam foto ayahmu.Ya, mereka lah yang beberapa waktu sebelumnya mendapatkan kesempatan mengikuti outbond yang diadakan ayahmu bersama teman-temannya. Aku pun tak menyangka bahwa ia ingin tetap berteman bersama mereka. Ia tak bisa berhenti bercerita tentang semua suka saat bersama mereka. Aku selalu menikmati ceritanya.

Begitulah ayahmu. Suka sekali melakukan sesuatu untuk banyak orang. Pernah suatu kali aku merasa ia mengurangkan waktunya untuk bersamaku, lebih banyak mengurus urusan orang lain daripada urusannya sendiri. Ayahmu menaikkan alisnya. Aku terbiasa dengan itu. Tapi, jawaban yang ia berikan sungguh meneduhkan. “Jika kita mengurus urusan orang lain maka Alloh yang akan mengurus urusan kita. Ingat ya, untuk urusan kebaikan”, ayahmu berujar kepadaku layaknya aku murid yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Tapi sungguh, aku tetap menyukainya.

Yakinlah, ayahmu adalah guru yang baik. Suatu saat kamu akan sependapat denganku. Dan mungkin kita akan saling melempar senyum saat menemukan faktanya. Aku menyebut ayahmu sebagai guru spiritualku. Ia banyak mengajarkan aku untuk melafal doa-doa dengan lebih baik. Mengenal Tuhan dengan lebih baik. Dan tentunya, menjadikan aku seorang yang terus berjuang menjadi lebih baik, semakin baik.

Ini bukan berarti aku tak pernah kecewa kepada ayahmu. Layaknya manusia biasa, aku dan ayahmu kerap bersimpangan pemikiran. Juga tentang perasaan. Terkadang aku menganggapnya selalu ingin menang sendiri. Pun sebaliknya. Tapi itulah suatu perjalanan yang membuat aku dan ayahmu lebih saling memahami. Ia tak pernah menakar rasa yang ia berikan. Apalagi, kepadamu nanti.

Ayahmu adalah satu yang memuliakan kabar. Ya, kepada siapa pun yang ia sayang, ia sangat peduli tentang kabar. Bahkan telepon tak terjawab pun menoreh kekhawatiran, baginya. Beberapa bulan terakhir kemarin, ia kerap menyempatkan mengunjungiku yang telah lama jauh darinya. Memastikan aku baik-baik saja. Pun ketika pertemuan terakhirku dengannya. Ia masih membagikan tawa dan memberikan semua yang aku suka. Maka itu, aku pun tergagap saat membaca satu pesan singkat terakhir darinya. Aku membacanya berulang, namun kelu aksara untuk menjawabnya. Sampai-sampai aku pergi ke tempat kerja dengan mata yang masih sembab.

Nanti, jika ia menginginkan sesuatu darimu, berikan. Keinginannya tak terlalu berlebihan. Sederhana, sesederhana caranya memberikan senyuman. Perasaannya sangat halus. Sehalus ia membasuh peluh dalam setiap keluhmu. Aku yang pernah menimbun sesal tak ingin kamu pun ikut merasakan. Lakukan saja, apa saja yang bisa membuatnya bahagia. Senyummu, lakumu, kebiasaanmu yang apa adanya. Ya, ia menyukai semua hal yang apa adanya. Seperti segala yang menjadi kebiasaan aku dan ayahmu, menjadi apa adanya.

Nanti, jangan kaget, jika ayahmu mampu mengingat dengan tepat segala kesukaanmu, meski kamu tak pernah memberitahukan kepadanya. Mungkin, kamu akan sedikit merasa takut dengan sosoknya yang besar. Dengan wajahnya yang kadang terlalu gahar. Tenanglah, itu menandakan segala kewibawaannya saja. Dekatlah dengannnya, kenalilah ia dengan baik. Jangan meragukan segala yang ada di dalam dirinya. Kamu akan merasakan, betapa berada di dekatnya adalah kenyamanan.

Ayahmu juga teman jalan-jalan yang menyenangkan. Dia suka mengunjungi tempat-tempat baru dan merasakan menu-menu baru. Ya, dia suka sekali berwisata kuliner. Tapi, nanti tolong ingatkan ya… dia sudah harus mengendalikan cara makan, jangan banyak-banyak daging, lemak, dan semacamnya. Dia memang suka sekali bakso, jadi tolong ingatkan ya.. Supaya kesehatannya pun tetap terjaga.

Sepertinya ceritaku terlalu panjang ya… Jadi kemana-mana :’) Tak apa, aku senang bisa bercerita kepadamu. Bisa sejak awal berkenalan denganmu. Bisa membagi rasaku denganmu. Jangan lupa, jaga ibumu baik-baik. Pasti ia perempuan yang sangat cantik ya? Cantik parasnya, cantik hatinya. Pasti ia perempuan yang anggun dan penuh sopan-santun. Pasti ia perempuan yang patuh dan tangguh. Mmmm… aku belum pernah mengenalnya. Belum juga pernah bertatap mata dengannya. Namun aku selalu percaya, kamu akan selalu bahagia memiliki ayah dan ibu seperti mereka.

Jika kamu bertanya apakah cerita ini sebagai wujud rinduku kepada ayahmu, aku pun tak tahu. Aku hanya ingin bercerita padamu. Kamu yang telah lama ia dambakan. Anggaplah aku temanmu, satu saksi kebaikan ayahmu. Itu saja.

Terima kasih ya sudah mau membaca suratku. Aku nantikan kabar baik tentangmu. Semoga suatu kali kita bisa bertemu. Kamu akan berlari ke dalam pelukanku, memanggilkku amma… 

Aku,

sebaris masa lalu


Oleh @wulanparker
Diambil dari http://lunastory.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment