24 January 2013

Abhivandya Sebelum Kiamat

Kepada yang tersurat – Abhivandya,

Ketahuilah sesungguhnya aku cukup lama memikirkan satu hal. Bagaimana bila suatu saat nanti setelah hari ini, kertas kertas akan seluruhnya lapuk dan rontok? Lampu tak lagi terang dan dunia dalam rehat besar. Aku mungkin terpaksa berlatih menulis di langit langit atau di badan tanah sambil merangkak. Aku bisa kehabisan media. Kuharap tidak kata kata.

Mari berdoa agar sampai hari itu perasaanku masih sama. Perasaanmu mungkin juga. Sehingga kita masih terlihat saling mengenal, saling bersedih, dan berteriak bila salah satu dari kita meninggal lebih dahulu. Dukaku pernah sekali menyayat tapi dalam diam. Aku terbiasa begitu, suaraku terkalahkan angin dan aku tak peduli. Yang terpenting sekarang adalah menulis sebanyak banyaknya untukmu agar garis kita abadi. Itulah juga kebahagiaanku, Abhi. Sukaku bersorak juga cukup dalam diam.

Selama ini, otakku kupercayai menerjemahkan semuanya. Debat debat kecil yang kadang manis kadang meragu. Kemudian akan timbul lagi sesuatu yang segera kutuang dalam hangat. Berbarengan dengan tumbuhnya matahari dan embun yang menua, surat surat telah siap dilepas. Begitulah aku mencintaimu setiap hari, tidak kurang tidak lebih – sebab aku takut kebas oleh usia yang terengah engah.

Ketahuilah sesungguhnya aku cukup lama takut pada kiamat.
Dan kini yang sedang aku tunggu adalah mekarnya lagi kuncup yang usang. Rasa yang enggan kusebut hilang. Itu akan jadi juru selamat kita sekiranya prasangka tiba tiba menderu dan kata kata jadi beku.

Tidakkah sajak selalu butuh diperbaharui?

Lalu dibiarkan menari. Berlari.


Oleh @awulanp
Diambil dari http://pwulansari.wordpress.com

No comments:

Post a Comment