Kepada yang tersurat – Abhivandya,
Ketahuilah sesungguhnya aku cukup lama memikirkan satu hal. Bagaimana
bila suatu saat nanti setelah hari ini, kertas kertas akan seluruhnya
lapuk dan rontok? Lampu tak lagi terang dan dunia dalam rehat besar. Aku
mungkin terpaksa berlatih menulis di langit langit atau di badan tanah
sambil merangkak. Aku bisa kehabisan media. Kuharap tidak kata kata.
Mari berdoa agar sampai hari itu perasaanku masih sama. Perasaanmu
mungkin juga. Sehingga kita masih terlihat saling mengenal, saling
bersedih, dan berteriak bila salah satu dari kita meninggal lebih
dahulu. Dukaku pernah sekali menyayat tapi dalam diam. Aku terbiasa
begitu, suaraku terkalahkan angin dan aku tak peduli. Yang terpenting
sekarang adalah menulis sebanyak banyaknya untukmu agar garis kita
abadi. Itulah juga kebahagiaanku, Abhi. Sukaku bersorak juga cukup dalam
diam.
Selama ini, otakku kupercayai menerjemahkan semuanya. Debat debat
kecil yang kadang manis kadang meragu. Kemudian akan timbul lagi sesuatu
yang segera kutuang dalam hangat. Berbarengan dengan tumbuhnya matahari
dan embun yang menua, surat surat telah siap dilepas. Begitulah aku
mencintaimu setiap hari, tidak kurang tidak lebih – sebab aku takut
kebas oleh usia yang terengah engah.
Ketahuilah sesungguhnya aku cukup lama takut pada kiamat.
Dan kini yang sedang aku tunggu adalah mekarnya lagi kuncup yang usang.
Rasa yang enggan kusebut hilang. Itu akan jadi juru selamat kita
sekiranya prasangka tiba tiba menderu dan kata kata jadi beku.
Tidakkah sajak selalu butuh diperbaharui?
Lalu dibiarkan menari. Berlari.
Oleh @awulanp
Diambil dari http://pwulansari.wordpress.com
No comments:
Post a Comment