Untuk sahabat lamaku, Ayang Kuswira.
Bagaimana aku harus memulainya, ya? Aku terlalu canggung untuk menulis surat cinta untuk sahabat sendiri.
Hm.. begini, kau pasti ingat saat kemarin aku menanyakanmu seperti ini, “Apa aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu?”
Aku minta maaf jika aku tidak sempat memberitahumu apa tujuanku menanyakan itu. Jadi, melalui kesempatan ini aku ingin bercerita sedikit tentang bagaimana munculnya pertanyaan itu.
Aku adalah sahabatmu sejak kita masih SMP. Kau tahu betul bagaimana aku, sekali pun aku tidak menjamin kau mengenalku 100 persen, karena bahkan aku sendiri pun masih belajar untuk mengenali diriku. Kau tahu sifat-sifat baik dan burukku. Aku yang mudah tersinggung, aku yang pendiam (bagi orang baru), aku yang sedikit perfeksionis, aku yang nggak bisa ngelihat sesuatu yang nggak beres, dan lain-lain. Dan aku yakin, kau tahu dan selalu tahu satu hal. Aku bukanlah orang yang suka mencari masalah (karena masalah lah yang selalu mencari aku). Iya kan, Yang? Begitu kan aku yang kau kenal?
Dulu, waktu kita masih SMP, ada seorang teman mengatakan yang tidak benar tentang aku. Mereka membicarakanku melalui surat berantai pada saat jam pelajaran Matematika. Yang menjadi masalah adalah akhirnya guru kita mengambil surat itu dan membaca isinya. Dia lantas memanggil aku ke kantornya. Kau sudah tahu, aku menangis saat itu. Isi surat itu terlalu drama. Aku yakin, mereka yang membicarakan aku itu pasti hobi sekali menonton sinetron. Aku heran sekali, bisa-bisanya anak berumur 14 tahun mengeluarkan kalimat-kalimat tidak higienis seperti itu. Tentu tidak ada satu pun yang benar dari apa yang mereka katakan. Oleh sebab itu ibu guru memanggil aku untuk memastikannya. Aku tidak perlu bicara, aku langsung menangis dan ibu guru itu langsung memberi penghiburan padaku dan menyuruhku kembali ke kelas. Ibu guru itu tahu, aku bukan seperti itu, aku bukan orang yang suka mencari masalah. Ibu guru itu tahu, tanpa aku bicara, merekalah yang mengarang-ngarang cerita.
Kau tahu tidak, saat ini aku memang menjalani hariku dengan bahagia. Tapi selalu ada masalah yang dari dulu itu-itu saja, menodai hari-hariku. Masalah yang tentu saja tidak ditimbulkan oleh aku sendiri. Karena apa? Kau tahu jawabannya. Aku menjadi bingung harus bagaimana menghadapi komentar-komentar dari orang-orang yang mengarang cerita bahwa aku telah membuat suatu masalah dalam hidupnya. Apa harus aku abaikan saja? Tapi dia pasti akan ngelunjak. Atau apa aku harus menjelaskan padanya, kalau bukan aku penyebab masalah itu? Ah, aku terlalu capek. Pikirannya terlalu sempit untuk selalu menyalahkan aku yang bahkan sampai sekarang tidak merasa membuat kesalahan apa pun.
Aku mulai berpikir, sudah selama ini masalah ini berlarut-larut begitu saja tanpa ada jalan keluar. Aku mulai berpikir apakah aku telah salah menilai diriku terhadap masalah ini? Apakah sebetulnya akulah yang jelas-jelas bersalah? Apakah sebenarnya akulah yang terlalu sibuk melakukan penyangkalan dan bertindak seolah-olah aku benar? Apakah aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu? Apakah sekarang aku telah menjadi biang masalah?
Aku tahu, selain aku, sahabat adalah salah seorang yang bisa membantuku menemukan jawaban dari ini semua. Aku memilihmu sebagai tempatku untuk bertanya. Aku punya beberapa sahabat, tapi aku memilihmu. Karena menurutku, kau yang paling bisa memandang bagaimana aku dari dahulu sampai sekarang. Kau adalah sahabat yang paling lama mengenalku, apalagi komunikasi kita pun tidak pernah terputus.
Lantas kau menjawab, “Enggak kok, Beth. Nggak ada yang berubah. Kau yang sekarang masih sama seperti kau yang dulu. Kau bukanlah pencari masalah.”
Aku lega menerima jawaban itu. Hati kecilku menjadi yakin kembali kalau aku sudah bertindak benar. Aku sudah melakukan yang seharusnya aku lakukan. Kalau pun mereka menganggapku salah, biarlah. Yang penting orang-orang yang menyayangi aku dan yang aku sayangi menganggapku benar. Aku tidak peduli dengan anggapan orang asing.
Jadi, terimakasih Yang. Terimakasih sudah melegakan aku. Terimakasih karena meskipun kemarin kau marah-marah karena aku tidak sempat bertemu denganmu, kau masih menganggapku sahabatmu. Aku yakin itu hanya wujud rasa rindumu. Bagaimana pun, aku juga merindukan waktu-waktu khusus antara aku, kau dan sahabat kita lainnya. Aku minta maaf, karena aku tidak sempat menemui kalian kemarin. Doakan saja semoga semester empatku di perantauan ini berlangsung lebih baik dari semester lalu. Doakan agar aku sehat-sehat dan kita bisa bertemu kembali di liburan selanjutnya. Oke?
Oh iya, bantu aku berdoa agar orang-orang yang menganggap aku sebagai biang masalah ini kembali ke jalan yang benar. :p
Tertanda,
Sahabatmu.
Ditulis oleh : @elisabethym
Diambil dari http://elisabethyosephine.tumblr.com
No comments:
Post a Comment