13 February 2013

Surat Pertama dan Terakhir


Bandung, 12 Februari 2013.

Kepada Andiaz Nizhar Zulmy.

Ini surat pertama dimana aku berani menulis namamu secara lengkap, sekaligus menjadi surat terakhir yang kutulis di project surat ini. Sejujurnya aku sudah meniatkan untuk menulis surat ini padamu, namun dari semalam jemariku mendadak tidak lincah lagi untuk menari di atas keyboard. Entah karena terlalu banyak yang ingin kubicarakan denganmu, atau aku mulai kehabisan kata-kata untuk kuberikan padamu. Jadilah aku mengetik ini disela-sela pekerjaan magangku, maaf jika susunan katanya tak terstruktur dengan baik.

Sudah hampir 3 bulan kita tak bicara, bahkan sekedar tegur sapa pun tidak dilakukan, namun sejujurnya aku masih sering membaca tulisanmu yang tidak sengaja muncul di linimasaku. Aneh ya, bagaimana dulu kita selalu berbagi cerita melalui pesan singkat, blackberry messenger, sambungan telepon, atau video call dengan skype sampai dini bahkan pagi hari, namun saat ini, dari beribu-ribu cara untuk berkomunikasi, tak satupun kita lakukan untuk sekedar tahu kabar masing-masing. Jika kamu bertanya mengapa aku tidak melakukannya duluan, aku pun tidak tahu mengapa. Bukan cuma karena gengsi, ah entahlah, aku juga tak mau kamu merasa terganggu karena sikapku. Tapi pada akhirnya aku memberanikan diri menulis surat ini, kan? Walaupun aku tak yakin kamu akan menemukan dan membaca surat ini nantinya.

Di surat ini aku cuma mau bilang terima kasih, terima kasih untuk waktunya, satu tahun lebih kebersamaan kita bukan waktu yang sebentar, bukan? Terima kasih telah menjadi pendengar yang baik, penasihat jitu, sekaligus penghibur di kala duka. Terima kasih telah menjadi laki-laki yang begitu tangguh, begitu dewasa menghadapi aku yang luar biasa manja. Terima kasih telah menjadi partner in crime yang hebat, teman bicara yang menyenangkan, dan guru yang cerdas. Terima kasih telah menjadi aspirin dan menjadi penawar di segala luka. Terima kasih telah menjadi team yang baik dalam bersama-sama melawan rindu dan jarak. Terima kasih telah menjadi layaknya buku yang penuh dengan kejutan dan tak membosankan walaupun kubaca terus menerus. Terima kasih telah menjadi layaknya rumah — tempat untuk berlindung, tempat untuk menepis lelah, dan tempat  untuk pulang.

Sejujurnya, aku masih sering membicarakanmu dengan Tuhan, aku masih sering bernegosiasi denganNya mengenai mimpi, rencana dan cerita kita. Aku tidak meminta apapun, cuma berharap yang terbaik dari ini semua. Kamu baik-baik ya, jaga diri dan hatimu. (Eh yang mengenai hati itu terserah, sih. Hehehe) Sampai bertemu lagi di waktu dan keadaan yang lebih baik.

p.s: Semoga kamu masih mau meluangkan waktu untuk berbicara kepada Tuhan untuk kelancaran sidang dan tugas akhirku.


Yang merindu,

Aku.


Oleh @uwaktuhujansore
Diambil dari http://spidolungu.tumblr.com

No comments:

Post a Comment