Teruntuk Kamu, Sayang..
Halo.
Entah aku harus memulai suratku ini dari mana, “Apa kabar kamu?” atau “Kamu sedang sibuk apa?”.
Semuanya tampak begitu membosankan untuk aku utarakan jika menyangkut tentangmu. Jika kamu tanya mengapa begitu membosankan, maka aku akan menjawab karena kamu begitu istimewa. Sangat istimewa hingga hal kecil yang tidak penting jadi sangat terasa membosankannya jika disandingkan denganmu. Kamu patut mendapatkan hal yang istimewa juga.
Suratku ini, aku anggap istimewa bagimu. Aku hanya ingin kamu membaca dan tak perlu membalas. Aku terlalu takut. Harapanku tinggi sekali atas isi balasan yang akan kamu beri. Ah.. Semoga Tuhan bersama orang-orang yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi. Aku, misalnya.
Surat ini aku tujukan untukmu dengan semilyar terimakasih sekaligus maaf.
Terimakasih dan maaf, aku mencintaimu.
Aku pernah benar-benar terluka hingga akhirnya kamu memelukku erat dengan balutan perban dan obat hingga aku lupa apa itu luka. Kamu yang lakukan hal-hal hebat hingga tanpa sadar kamu yang memacuku untuk semakin bersemangat. Itu kamu.
Aku tak ingat kapan tepatnya aku mulai menjatuhkan hati padamu, yang aku tahu, aku begitu takut kehilanganmu. Pada awal pertemuan kita waktu itu, aku tak tahu bahwa kamu akan sebegini berharganya untukku. Kamu masih ingat pertemuan pertama kita?
Tentu saja aku mengingat semuanya. Aku mengingat kamu yang tersenyum dan menyalami tanganku untuk pertama kalinya. Waktu itu kamu mengenakan jaket jeans hitam yang kamu gulung lengannya sampai ke siku, kamu juga mengenakan kacamata dengan frame berwarna coklat karamel gelap berbentuk semi kotak yang.. Ah selalu berhasil membuatku berdebar.
Aku diam. Bingung, saat pertama kali duduk diboncengan belakang motormu. Aku tidak mau memegangmu. Jelas. Itu pertama kalinya kita bertemu. Jadi, aku memutuskan untuk menggenggam tasku kuat-kuat. Aku memilih menikmati parfummu dan mengamati noda kecil di bahu sebelah kiri jeans hitammu. Lalu kita sampai.
Ah.. Entah sudah berapa kali aku menceritakan ini. Kita memilih Rumah Coklat sebagai tempat besejarah pertama dalam cerita kita. Sampai kopimu datang, aku masih tak memikirkan bahwa kamu adalah orang yang akan mengisi hari-hariku semenjak pertemuan itu.
Kamu ingat gerimis malam itu? Jika kamu perhatikan aku, berkali-kali aku menyebutnya
sebagai ‘konspirasi’. Tapi aku belum menyadari bahwa saat itu, semesta memang sedang berkonspirasi menuliskan awal kisah antara aku dan kamu. Awal kisah kita.
Manisnya cinta, kamu yang ajari aku untuk mengecapnya. Kamu yang buktikan bahwa cinta tak mengenal perbedaan usia. Kamu yang membuatku paham bahwa cinta juga punya cara berbeda untuk membahagiakan hati yang sedang terluka.
Hmm.. Sayang..
Boleh aku memanggilmu sayang? Sekali ini saja.
Mungkin aku tak akan dapat kesempatan untuk mendengarmu menyebutku ‘sayang’, tapi aku ingin sekali ini memanggilmu sayang.
Sayang, jika kamu bertanya ‘masihkah aku mencintaimu’, aku akan menjawab ‘tentu’. Apa yang aku dan kamu lalui adalah sesulit-sulitnya hal yang harus aku hapus dari dalam hati. Tentu aku mencintaimu.
Mungkin kamu akan mengerutkan kening saat membaca suratku karena kamu tak lagi merasakan cinta yang dulu pernah menggebu dalam dadamu. Tak apa. Manusia berubah, hati berubah, hampir semuanya berubah. Aku memaklumi.
Sayang, jika kelak kamu temukan aku tak lagi mencintaimu seperti sekarang ini, aku mohon padamu untuk percaya bahwa apa yang pernah kita lalui bersama adalah sebenar-benarnya cinta. Aku pernah mencintaimu. Masih, hingga saat aku menuliskan surat ini.
Dan sayang, jika kelak kamu temukan aku bergandeng tangan dengan lelaki lain, percayalah bahwa bahagia yang saat itu aku rasakan adalah bahagia yang sama seperti yang aku dan kamu rasakan dulu.
Sayang..
Aku tak mau berharap terlalu jauh. Cukuplah Tuhan berikan bahagia pada kita meski terasa amat sedikit dalam waktu yang kita tempuh. Cukuplah aku mencintaimu dengan segenap rasa yang hanya aku dan Tuhan yang tahu besarnya.
Sayang, aku lihat kamu sudah mulai membuka diri untuk yang lain. Entah hatimu.
Sayang..
Jika kelak aku telah jadi sebenar-benarnya dongeng pada ceritamu, ingatlah bahwa kita pernah bahagia bersama dulu. Aku tak mengharapkanmu kembali, aku tak mengharapkanmu berjuang untukku lagi. Aku mengharapkanmu untuk berbahagia atas pilihan yang kamu tentukan sendiri.
Aku menulis surat ini untuk kamu baca nanti, saat hatimu telah mulai membenciku yang dulu pernah menghuni hatimu. Jika saatnya datang ketika kamu mulai membenciku dan melupakan semua sisi baikku hanya karena hubungan kita yang tak sebaik dulu, bacalah surat ini. Ingat-ingat lagi apa yang dulu pernah terjadi.
Semoga kamu mau mengerti.
Berbahagialah layaknya burung yang menguasai udara. Berbahagialah karena kamu temukan dunia yang kamu suka. Percayalah, aku selalu memelukmu. Memelukmu melalui mimpi-mimpi yang didasari rindu.
(Maaf) Aku (masih) mencintaimu.
Dari aku-(yang pernah jadi)-nya kamu.
Yogya, 15 Jan 13.
Saat hujan dan rindu beradu membisikkan namamu.
Halo.
Entah aku harus memulai suratku ini dari mana, “Apa kabar kamu?” atau “Kamu sedang sibuk apa?”.
Semuanya tampak begitu membosankan untuk aku utarakan jika menyangkut tentangmu. Jika kamu tanya mengapa begitu membosankan, maka aku akan menjawab karena kamu begitu istimewa. Sangat istimewa hingga hal kecil yang tidak penting jadi sangat terasa membosankannya jika disandingkan denganmu. Kamu patut mendapatkan hal yang istimewa juga.
Suratku ini, aku anggap istimewa bagimu. Aku hanya ingin kamu membaca dan tak perlu membalas. Aku terlalu takut. Harapanku tinggi sekali atas isi balasan yang akan kamu beri. Ah.. Semoga Tuhan bersama orang-orang yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi. Aku, misalnya.
Surat ini aku tujukan untukmu dengan semilyar terimakasih sekaligus maaf.
Terimakasih dan maaf, aku mencintaimu.
Aku pernah benar-benar terluka hingga akhirnya kamu memelukku erat dengan balutan perban dan obat hingga aku lupa apa itu luka. Kamu yang lakukan hal-hal hebat hingga tanpa sadar kamu yang memacuku untuk semakin bersemangat. Itu kamu.
Aku tak ingat kapan tepatnya aku mulai menjatuhkan hati padamu, yang aku tahu, aku begitu takut kehilanganmu. Pada awal pertemuan kita waktu itu, aku tak tahu bahwa kamu akan sebegini berharganya untukku. Kamu masih ingat pertemuan pertama kita?
Tentu saja aku mengingat semuanya. Aku mengingat kamu yang tersenyum dan menyalami tanganku untuk pertama kalinya. Waktu itu kamu mengenakan jaket jeans hitam yang kamu gulung lengannya sampai ke siku, kamu juga mengenakan kacamata dengan frame berwarna coklat karamel gelap berbentuk semi kotak yang.. Ah selalu berhasil membuatku berdebar.
Aku diam. Bingung, saat pertama kali duduk diboncengan belakang motormu. Aku tidak mau memegangmu. Jelas. Itu pertama kalinya kita bertemu. Jadi, aku memutuskan untuk menggenggam tasku kuat-kuat. Aku memilih menikmati parfummu dan mengamati noda kecil di bahu sebelah kiri jeans hitammu. Lalu kita sampai.
Ah.. Entah sudah berapa kali aku menceritakan ini. Kita memilih Rumah Coklat sebagai tempat besejarah pertama dalam cerita kita. Sampai kopimu datang, aku masih tak memikirkan bahwa kamu adalah orang yang akan mengisi hari-hariku semenjak pertemuan itu.
Kamu ingat gerimis malam itu? Jika kamu perhatikan aku, berkali-kali aku menyebutnya
sebagai ‘konspirasi’. Tapi aku belum menyadari bahwa saat itu, semesta memang sedang berkonspirasi menuliskan awal kisah antara aku dan kamu. Awal kisah kita.
Manisnya cinta, kamu yang ajari aku untuk mengecapnya. Kamu yang buktikan bahwa cinta tak mengenal perbedaan usia. Kamu yang membuatku paham bahwa cinta juga punya cara berbeda untuk membahagiakan hati yang sedang terluka.
Hmm.. Sayang..
Boleh aku memanggilmu sayang? Sekali ini saja.
Mungkin aku tak akan dapat kesempatan untuk mendengarmu menyebutku ‘sayang’, tapi aku ingin sekali ini memanggilmu sayang.
Sayang, jika kamu bertanya ‘masihkah aku mencintaimu’, aku akan menjawab ‘tentu’. Apa yang aku dan kamu lalui adalah sesulit-sulitnya hal yang harus aku hapus dari dalam hati. Tentu aku mencintaimu.
Mungkin kamu akan mengerutkan kening saat membaca suratku karena kamu tak lagi merasakan cinta yang dulu pernah menggebu dalam dadamu. Tak apa. Manusia berubah, hati berubah, hampir semuanya berubah. Aku memaklumi.
Sayang, jika kelak kamu temukan aku tak lagi mencintaimu seperti sekarang ini, aku mohon padamu untuk percaya bahwa apa yang pernah kita lalui bersama adalah sebenar-benarnya cinta. Aku pernah mencintaimu. Masih, hingga saat aku menuliskan surat ini.
Dan sayang, jika kelak kamu temukan aku bergandeng tangan dengan lelaki lain, percayalah bahwa bahagia yang saat itu aku rasakan adalah bahagia yang sama seperti yang aku dan kamu rasakan dulu.
Sayang..
Aku tak mau berharap terlalu jauh. Cukuplah Tuhan berikan bahagia pada kita meski terasa amat sedikit dalam waktu yang kita tempuh. Cukuplah aku mencintaimu dengan segenap rasa yang hanya aku dan Tuhan yang tahu besarnya.
Sayang, aku lihat kamu sudah mulai membuka diri untuk yang lain. Entah hatimu.
Sayang..
Jika kelak aku telah jadi sebenar-benarnya dongeng pada ceritamu, ingatlah bahwa kita pernah bahagia bersama dulu. Aku tak mengharapkanmu kembali, aku tak mengharapkanmu berjuang untukku lagi. Aku mengharapkanmu untuk berbahagia atas pilihan yang kamu tentukan sendiri.
Aku menulis surat ini untuk kamu baca nanti, saat hatimu telah mulai membenciku yang dulu pernah menghuni hatimu. Jika saatnya datang ketika kamu mulai membenciku dan melupakan semua sisi baikku hanya karena hubungan kita yang tak sebaik dulu, bacalah surat ini. Ingat-ingat lagi apa yang dulu pernah terjadi.
Semoga kamu mau mengerti.
Berbahagialah layaknya burung yang menguasai udara. Berbahagialah karena kamu temukan dunia yang kamu suka. Percayalah, aku selalu memelukmu. Memelukmu melalui mimpi-mimpi yang didasari rindu.
(Maaf) Aku (masih) mencintaimu.
Dari aku-(yang pernah jadi)-nya kamu.
Yogya, 15 Jan 13.
Saat hujan dan rindu beradu membisikkan namamu.
No comments:
Post a Comment