26 January 2013

Surat Kaleng untuk @flying_oranje

Kepada @flying_oranje, Lelaki yang Bunganya Tak Pernah Sampai


Apa kabar? Baik-baikkah? Seharusnya begitu. Harus seperti itu. Tak usah menduga-duga siapa yang begitu lancang menulis ini. Hingga aku mengirim ini pun, aku tak sadar iblis mana yang sedang lewat di kepalaku. Delapan lagu yang dihimpun dalam Prospekt's March mungkin mengetuk lagi pintu ingatanku. Kau tahu, aku tak pandai melupakan. Pun tak pandai mendendam. Tenang saja. Aku hanya terlalu pintar memendam. Bahkan di hari terakhir kita, apa yang sempat kau rekam? Tak ada. Sebab tak ada yang bisa mencegahku selalu mendekam, di situ, di pelukanmu yang dalam, kala itu. Aku hanya terlalu pintar memendam. Bahkan di hari terakhir kita, apa yang sempat kau rekam? Kemudian aku berpikir, setelah hampir tiga kali tiga enam lima, aku bisa sedikit jujur. Bukankah yang kita anggap sakit, setelah digerus waktu, itu akan lebih bisa melahirkan tawa? Dan ya, aku hanya terlalu pintar memendam. Sehingga bahagia sempat kuregang.

Adalah kesalahan, menerima pernyataan ketika diliputi kesendirian. Adalah kesalahan, mendekatkan rasa yang tak sempat berkenalan. Adalah kesalahan, memberi segala pada yang tak punya rasa bersalah. Bukan ikhlas, tapi pasrah. Adalah ketegaran, menyaksikan waktu yang dipermainkan. Adalah ketegaran, bertahan ketika tak dipertahankan. Adalah ketegaran, melepaskan ketika hati belum diselesaikan. Bukan tak rela, hanya terlalu sakit.

Aku selalu berkata pada hati yang tak pernah berhati-hati ini, kau hanya orang baik yang kebetulan singgah. Jauh di dalamnya, aku berusaha pulih, sebab sakit yang terlalu parah. Pada akhirnya, kau juga yang menyembuhkan.

Tak ada yang salah sebenarnya. Seharusnya. Kita, terlalu-ku, dan alasanmu. Tak ada yang salah. Tapi bagaimana kau menyembunyikan orang lain di balik alasanmu, aku sungguh bertepuk tangan. Pada akhirnya, bukankah itu sesuai dengan janji kita? Aku terlambat, tapi aku tertawa dengan cepat. Kita berdua hanya pion-pion catur yang dimainkan tangan-tangan. Dan orang-orang terdekatmu adalah tuhan. Aku terlambat, tapi aku tertawa dengan cepat.

Aku tak akan minta maaf. Bahkan aku tak akan meminta maaf karena tak meminta maaf. Sebab aku terlanjur merendah, hanya menyisakan sedikit jarak dengan tanah. Kepalaku, kau tahu. Di tempat kau selalu kupuja kemudian kucaci. Di tempat kau menaruh cinta kemudian benci. Di tempat yang pada akhirnya dengan hidup aku berdamai.

Sungguh aku berdamai. Sehingga aku berterima kasih. Untuk setiap detik, untuk setiap titik. Di waktu dan tempat yang dijejaki kenangan, pada berlembar foto yang pada akhirnya terbuang, dan lagu yang pintar bercerita. Terima kasih. Untuk mengajariku tentang tegar, tentang sabar. Tentang jalan menuju puncak... Aku sungguh berterima kasih untuk ini.

Bagaimanapun, kita hanya berlembar-lembar kertas usang. Pada akhirnya termakan waktu yang lancang. Dengan apa itu terganti, tak ada yang tahu. Belum ada yang tahu.

Tapi aku berduka sungguh, untuk apapun yang membuat hidupmu sesaat keruh. Sakitmu, kecewamu...

Maka kumohon, Berbahagialah. Tetaplah bahagia. Tak perlu lagi keningmu, yang bahkan dalam tidur, berkerut. Berbahagialah. Tetaplah bahagia, Serupa tawa lepas anak-anak yang tak pernah surut.

Salam, Yang pernah menulis berlembar-lembar cerita bersamamu

No comments:

Post a Comment