Mengenai Kesibukan..
Nona Meta,
Hal-hal yang bernama
kesibukan melakukan kegiatan yang kita cintai bukanlah hal-hal yang patut
dimintai maaf. Apalagi, siapalah saya? Menerima surat-surat nona sudah
merupakan keberuntungan bagi saya. Mereka adalah pupuk bagi bunga-bunga rindu
saya, nona. Kadang datang tepat waktu, menyuburkan. Kadang tidak datang sama
sekali, namun tetap bertahan menunggu. Aduh, saya meracau lagi. Mungkin begini
jika terlalu senang hingga kesurupan kata-kata. Saya harus menjewer tangan saya
yang terlalu nakal berkata-kata di surat-surat saya, takut kelepasan hingga
salah kata.
Saya mengerti kesibukan
nona akhir-akhir ini. Melihat antrian di depan toko nona, dan dus-dus yang akan
dibawa Joko dengan motor tuanya itu selalu membuat saya tersenyum. Tentu saya
membayangkan nona di dalam sana dengan cekatan membuat kue-kue, sambil memberi
pegawai instruksi-instruksi untuk mereka. Sibuk, namun pasti menyenangkan
bukan? Semoga semuanya berlanjut terus hingga toko nona sukses besar. Sungguh
saya doakan itu setiap hari.
Kabar saya baik, Nona.
Kemarin, beberapa
anak-anak membawa gitar sendiri dari rumah untuk belajar gitar bersama.
Tawa-tawa riang dan semangat belajar mereka menciptakan atmosfir yang luar biasa.
Udara hari Minggu pagi tidak pernah sesegar itu untuk saya. Mereka meniupkan
angin-angin yang menerbangkan gembira saya ke atap langit. Saya makin jatuh
cinta kepada anak-anak. Meski beberapa dari mereka ada yang menyebalkan, namun
menaklukkan rasa kesal sungguh jadi tantangan yang sangat menyenangkan. Orang
tua mereka meminta saya mengajarkan mereka bermain gitar. Beberapa meminta saya
langsung datang ke rumah mereka dengan iming-iming yang lumayan. Namun saya
belum menerimanya. Bukan menolak, saya masih minta waktu untuk berpikir dulu,
karena… saya takut tidak bisa mengajar dengan baik. Saya sendiri belajar gitar
secara otodidak dan beberapa kunci-kunci gitar saya hanya ketahui dari buku,
sementara orang yang dulu mengajari saya gitar sudah tidak tinggal di kota ini.
Padahal, tawaran bapak-bapak itu lumayan untuk menambah tabungan saya.
Nona, jika nona memang
sibuk, janganlah menjadikan membalas surat-surat saya sebagai prioritas. Nona
punya kewajiban dan tanggung jawab yang jauh lebih penting daripada membalas
surat-surat ini, tentunya nona tahu itu–dan sayalah yang harus mengerti posisi
saya.
Dan satu lagi, ingatlah
batas lelah nona, beristirahatlah. Jatuh sakit (biasanya) membuat lidah mati
rasa, nanti nona tidak bisa mencicipi racikan kue dengan baik. Saya bukan
siapa-siapa, tapi mengingatkan nona sepertinya bukan hal yang buruk. Maaf jika
lancang.
Salam hangat,
Genjrengers Lampu Jalan
Oleh: @commaditya untuk
@JiaEffendie
Diambil dari:
http://commaditya.tumblr.com/
---
Pahit Manis
Tuan Agni,
Pernahkah Anda mencintai
sesuatu tetapi juga merasa jenuh? Dan tidak, bukan salah mereka sehingga saya
jenuh. Kue-kue itu tetap manis dan cantik seperti sejak pertama kali saya
belajar membuatnya. Tunangan saya juga tetap baik dan memesona meskipun kesibukan
kerjanya seringkali membuatnya menomorduakan saya. Tetapi saya jenuh. Dan itu
salah saya.
Saya belum lama membuka
toko kue ini, tetapi entah mengapa, justru ketika toko ini semakin ramai, saya
kehilangan alasan mempertahankan toko ini. Pernahkah saya ceritakan pada Anda
alasan saya membangun toko kue ini? Bukan ide saya, sebenarnya.
Saya terlalu banyak
memanggang kue. Kue-kue di mana-mana. Saya hanya ingin mencicipi segigit saja,
sebagai penawar. Saya menyukai kue-kue kecil. Kue basah yang mungil. Sesekali
kue kering. Tetapi harus kue yang manis. Saya kurang menyukai cokelat karena ia
memiliki rasa pahit. Saya sudah pahit, darah saya tidak perlu ditambah
kepahitan lain. Jika Anda berpikir, dengan banyaknya kue-kue manis yang saya
kunyah, tidakkah saya takut terkena diabetes? Anda tahu, setiap kali saya
memanggang kue, saya tidak pernah memakan lebih dari dua gigit. Begitu wangi
kue matang menguar dari dalam oven, dengan ritual yang sama, saya akan
mengeluarkannya dari oven, menaruhnya di meja, menunggunya tidak terlalu panas
untuk masuk mulut, lalu menutup mata.
Saya akan memindahkan
sepotong kue ke dalam pisin, mencium aromanya, dan memasukkannya ke dalam
mulut. Perlahan. Seperti sembahyang. Saya menggigitnya dengan mata masih
terpejam. Merasakan manis dan tekstur setiap kue. Kering dan renyah. Basah
bertekstur lembut. Kering dengan selai dari buah-buahan. Saya mengunyahnya
perlahan, merasakan semua bahan yang tercampur dalam kue mengelilingi rongga
mulut saya. Lalu, setelah semuanya selesai, saya akan meninggalkan kue-kue itu.
Karena saya hanya perlu
satu potong kue. Satu potong saja agar saya tidak merasa terlalu pahit.
Jadi, apakah Anda
mengerti mengapa saya menjadi begitu jenuh?
Para pelanggan toko kue
saya memotong kebiasaan saya itu. Saya begitu diburu, dikejar waktu. Saya harus
memproduksi sekian banyak kue dan saya tidak diperbolehkan memiliki waktu
sembahyang saya.
Jika ada orang yang
melarang Anda sembahyang, apa yang akan Anda lakukan?
Sampai di sini, apakah
Anda mengira kalau saya seorang perempuan yang aneh karena hanya mau memakan
segigit kue yang saya buat sendiri? Apakah Anda akan berpikir sama dengan
sahabat, keluarga, atau kenalan saya yang lain, bahwa saya hanya membuang-buang
waktu, membuang-buang uang demi membuat kue, lalu mengabaikannya?
Lalu tunangan saya,
tunangan saya yang menyebabkan surat pertama Anda datang pada saya beserta
scarf yang sengaja saya tinggalkan, tiba-tiba mempertanyakan hal itu juga. Saya
dituduh tidak bisa mengelola keuangan karena yang saya lakukan dengan kue-kue
itu. Kami bertengkar hebat dan barangkali pernikahan kami terancam gagal. Saya
tidak peduli. Saya lebih memilih sendiri daripada saya dijauhkan dari hal-hal
yang membuat saya bertahan hidup.
Tanpa kue-kue itu, saya
berhenti hidup. Apakah Anda tahu?
Saya tidak akan heran
jika Anda menulis surat untuk saya.
Lama sekali saya tidak
membalas surat Anda karena saya tidak ingin memikirkan apa pun. Saya hanya
mengurung diri di kamar, tidak membiarkan siapa pun mengganggu saya, mengajak
saya bicara. Barangkali nanti saya pun akan lupa bagaimana caranya mengeluarkan
suara. Mereka terlalu mengganggu, mereka ingin masuk jiwa saya, merenggutnya,
masuk dengan paksa dan ingin menghilangkan esensi saya dan menggantinya dengan
jiwa lain. Dengan seseorang yang mereka inginkan. Mereka membuat saya sangat
marah.
Jika Anda bertemu dengan
saya lagi, barangkali di taman kota, dengan atau tanpa scarf, dengan sebuah
buku yang memberi inspirasi seseorang untuk menembak John Lennon, lalu
mendapati senyum saya pahit, tolong jangan terkejut.
Saat ini saya ingin
tenggelam, kembali ke dunia saya, tempat tak seorang pun bisa masuk, karena
mereka menolak mengerti.
Salam,
Meta
Surat balasan dari
@JiaEffendie untuk @commaditya
Diambil dari:
http://metanikalanta.tumblr.com/
No comments:
Post a Comment