26 January 2013

Surat #DuaHati @commaditya dan @JiaEffendie


Mengenai Kesibukan..

Nona Meta,

Hal-hal yang bernama kesibukan melakukan kegiatan yang kita cintai bukanlah hal-hal yang patut dimintai maaf. Apalagi, siapalah saya? Menerima surat-surat nona sudah merupakan keberuntungan bagi saya. Mereka adalah pupuk bagi bunga-bunga rindu saya, nona. Kadang datang tepat waktu, menyuburkan. Kadang tidak datang sama sekali, namun tetap bertahan menunggu. Aduh, saya meracau lagi. Mungkin begini jika terlalu senang hingga kesurupan kata-kata. Saya harus menjewer tangan saya yang terlalu nakal berkata-kata di surat-surat saya, takut kelepasan hingga salah kata.

Saya mengerti kesibukan nona akhir-akhir ini. Melihat antrian di depan toko nona, dan dus-dus yang akan dibawa Joko dengan motor tuanya itu selalu membuat saya tersenyum. Tentu saya membayangkan nona di dalam sana dengan cekatan membuat kue-kue, sambil memberi pegawai instruksi-instruksi untuk mereka. Sibuk, namun pasti menyenangkan bukan? Semoga semuanya berlanjut terus hingga toko nona sukses besar. Sungguh saya doakan itu setiap hari.

Kabar saya baik, Nona.

Kemarin, beberapa anak-anak membawa gitar sendiri dari rumah untuk belajar gitar bersama. Tawa-tawa riang dan semangat belajar mereka menciptakan atmosfir yang luar biasa. Udara hari Minggu pagi tidak pernah sesegar itu untuk saya. Mereka meniupkan angin-angin yang menerbangkan gembira saya ke atap langit. Saya makin jatuh cinta kepada anak-anak. Meski beberapa dari mereka ada yang menyebalkan, namun menaklukkan rasa kesal sungguh jadi tantangan yang sangat menyenangkan. Orang tua mereka meminta saya mengajarkan mereka bermain gitar. Beberapa meminta saya langsung datang ke rumah mereka dengan iming-iming yang lumayan. Namun saya belum menerimanya. Bukan menolak, saya masih minta waktu untuk berpikir dulu, karena… saya takut tidak bisa mengajar dengan baik. Saya sendiri belajar gitar secara otodidak dan beberapa kunci-kunci gitar saya hanya ketahui dari buku, sementara orang yang dulu mengajari saya gitar sudah tidak tinggal di kota ini. Padahal, tawaran bapak-bapak itu lumayan untuk menambah tabungan saya.

Nona, jika nona memang sibuk, janganlah menjadikan membalas surat-surat saya sebagai prioritas. Nona punya kewajiban dan tanggung jawab yang jauh lebih penting daripada membalas surat-surat ini, tentunya nona tahu itu–dan sayalah yang harus mengerti posisi saya.

Dan satu lagi, ingatlah batas lelah nona, beristirahatlah. Jatuh sakit (biasanya) membuat lidah mati rasa, nanti nona tidak bisa mencicipi racikan kue dengan baik. Saya bukan siapa-siapa, tapi mengingatkan nona sepertinya bukan hal yang buruk. Maaf jika lancang.

Salam hangat,

Genjrengers Lampu Jalan



Oleh: @commaditya untuk @JiaEffendie
Diambil dari: http://commaditya.tumblr.com/


---


Pahit Manis

Tuan Agni,

Pernahkah Anda mencintai sesuatu tetapi juga merasa jenuh? Dan tidak, bukan salah mereka sehingga saya jenuh. Kue-kue itu tetap manis dan cantik seperti sejak pertama kali saya belajar membuatnya. Tunangan saya juga tetap baik dan memesona meskipun kesibukan kerjanya seringkali membuatnya menomorduakan saya. Tetapi saya jenuh. Dan itu salah saya.

Saya belum lama membuka toko kue ini, tetapi entah mengapa, justru ketika toko ini semakin ramai, saya kehilangan alasan mempertahankan toko ini. Pernahkah saya ceritakan pada Anda alasan saya membangun toko kue ini? Bukan ide saya, sebenarnya.

Saya terlalu banyak memanggang kue. Kue-kue di mana-mana. Saya hanya ingin mencicipi segigit saja, sebagai penawar. Saya menyukai kue-kue kecil. Kue basah yang mungil. Sesekali kue kering. Tetapi harus kue yang manis. Saya kurang menyukai cokelat karena ia memiliki rasa pahit. Saya sudah pahit, darah saya tidak perlu ditambah kepahitan lain. Jika Anda berpikir, dengan banyaknya kue-kue manis yang saya kunyah, tidakkah saya takut terkena diabetes? Anda tahu, setiap kali saya memanggang kue, saya tidak pernah memakan lebih dari dua gigit. Begitu wangi kue matang menguar dari dalam oven, dengan ritual yang sama, saya akan mengeluarkannya dari oven, menaruhnya di meja, menunggunya tidak terlalu panas untuk masuk mulut, lalu menutup mata.

Saya akan memindahkan sepotong kue ke dalam pisin, mencium aromanya, dan memasukkannya ke dalam mulut. Perlahan. Seperti sembahyang. Saya menggigitnya dengan mata masih terpejam. Merasakan manis dan tekstur setiap kue. Kering dan renyah. Basah bertekstur lembut. Kering dengan selai dari buah-buahan. Saya mengunyahnya perlahan, merasakan semua bahan yang tercampur dalam kue mengelilingi rongga mulut saya. Lalu, setelah semuanya selesai, saya akan meninggalkan kue-kue itu.

Karena saya hanya perlu satu potong kue. Satu potong saja agar saya tidak merasa terlalu pahit.

Jadi, apakah Anda mengerti mengapa saya menjadi begitu jenuh?

Para pelanggan toko kue saya memotong kebiasaan saya itu. Saya begitu diburu, dikejar waktu. Saya harus memproduksi sekian banyak kue dan saya tidak diperbolehkan memiliki waktu sembahyang saya.

Jika ada orang yang melarang Anda sembahyang, apa yang akan Anda lakukan?

Sampai di sini, apakah Anda mengira kalau saya seorang perempuan yang aneh karena hanya mau memakan segigit kue yang saya buat sendiri? Apakah Anda akan berpikir sama dengan sahabat, keluarga, atau kenalan saya yang lain, bahwa saya hanya membuang-buang waktu, membuang-buang uang demi membuat kue, lalu mengabaikannya?

Lalu tunangan saya, tunangan saya yang menyebabkan surat pertama Anda datang pada saya beserta scarf yang sengaja saya tinggalkan, tiba-tiba mempertanyakan hal itu juga. Saya dituduh tidak bisa mengelola keuangan karena yang saya lakukan dengan kue-kue itu. Kami bertengkar hebat dan barangkali pernikahan kami terancam gagal. Saya tidak peduli. Saya lebih memilih sendiri daripada saya dijauhkan dari hal-hal yang membuat saya bertahan hidup.

Tanpa kue-kue itu, saya berhenti hidup. Apakah Anda tahu?

Saya tidak akan heran jika Anda menulis surat untuk saya.

Lama sekali saya tidak membalas surat Anda karena saya tidak ingin memikirkan apa pun. Saya hanya mengurung diri di kamar, tidak membiarkan siapa pun mengganggu saya, mengajak saya bicara. Barangkali nanti saya pun akan lupa bagaimana caranya mengeluarkan suara. Mereka terlalu mengganggu, mereka ingin masuk jiwa saya, merenggutnya, masuk dengan paksa dan ingin menghilangkan esensi saya dan menggantinya dengan jiwa lain. Dengan seseorang yang mereka inginkan. Mereka membuat saya sangat marah.

Jika Anda bertemu dengan saya lagi, barangkali di taman kota, dengan atau tanpa scarf, dengan sebuah buku yang memberi inspirasi seseorang untuk menembak John Lennon, lalu mendapati senyum saya pahit, tolong jangan terkejut.

Saat ini saya ingin tenggelam, kembali ke dunia saya, tempat tak seorang pun bisa masuk, karena mereka menolak mengerti.

Salam,

Meta

Surat balasan dari @JiaEffendie untuk @commaditya
Diambil dari: http://metanikalanta.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment