03 February 2013

(Un)conditional Sentence


It’s another classroom’s story for you. Bukan cerita yang menarik, tapi siapa tahu kamu iseng ingin menyimaknya.

Di kelas kemarin, aku hanya punya sisa waktu sekitar 10 menit sebelum bel saat aku ingat bahwa masih ada satu materi lagi yang belum dibahas. Untung hanya review, jadi 10 menit pun cukup kalau hanya untuk mengulas kembali. Sebentar saja aku menjelaskan “Conditional Sentence Type 2” di depan kelas itu. Mereka sudah sering mempelajari materi ini sebelumnya, jadi aku langsung saja melanjutkan ke contoh penggunaannya dalam kalimat.

Entah kenapa saat di depan papan tulis, yang terpikir olehku adalah lagu dari Beyoncé, “If I were a Boy”. Untung bukan “Single Ladies”, kalau tidak bisa-bisa aku latah berdendang “if you like it then you should’ve put a ring on it…”.

“Okay, everyone. You know this song from Beyoncé, right?”, tanyaku di depan kelas sambil menunjuk tulisan “If I were a boy,” di papan tulis. Mereka kompak menjawab “Yes…” sambil mengangguk-angguk.

“This is only for the girls. Continue that sentence, and use your imagination.”. Kulihat cewek-cewek usia belasan tahun itu mulai berpikir. Sebagian mengernyitkan alis, sebagian lain saling berdiskusi.

“So girls, if you were a boy, what would you do?”. Kira-kira setelah 2 menit, aku bertanya lagi.

“If I were a boy, I would play football.”, jawab Icha.

“If I were a boy, I would ride my motorcycle very fast.”, kata Dilla.

“If I were a boy, I would play with boy friends.”, lanjut Marsha.

Sedikit ambigu, pikirku. Lalu kubertanya, “Boyfriends? Remember, you are being a boy.”.

Satu kelas tertawa, kemudian dia buru-buru menjelaskan, “No, Sir. I mean, I would play with my friends, and they’re all boys.”.

Aku ikut tertawa, tentu saja aku tahu maksudnya. Beberapa siswa perempuan lainnya kemudian menyampaikan jawaban-jawaban standar yang tidak begitu kreatif. Tak lama kemudian, beberapa siswa laki-laki bertanya, “How about us, Sir? You don’t ask the boys?”.

“Wait for your turn.”, jawabku sambil berjalan ke arah papan tulis lalu menulis “If I were a girl,” di sana.

“This is for the boys. What would you do if you were a girl?”, tanyaku kepada para siswa laki-laki yang tampaknya sudah siap dengan jawaban mereka masing-masing. Sejak tadi mereka sibuk mengobrol, tertawa-tawa, dan melakukan gerakan-gerakan aneh. Aku tahu apa yang ada dalam pikiran mereka.

“If I were a girl, I would wear sexy dress.”, kata Fandy, sambil meliukkan tubuhnya dengan sok seksi.

“If I were a girl, I would use make-up, lipstick, mascara, and…”, jawab Andre yang tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena satu kelas tertawa. Kudengar juga ada yang bertanya, “Kok lo bisa tau semua sih?”.

“If I were a girl, I would go to salon to have manicure and pedicure, and also rebonding.”, lanjut Rifky. Satu kelas kompak menyoraki remaja laki-laki yang botak itu.

“I don’t want to be a girl, Sir. I’m happy because I’m a boy and…”, kata Joshua, si anti-mainstream. Kalimatnya dipotong oleh Aldo, “…and you have that thing!”. That thing, semua tahu maksud dari that thing itu.

“If I were a girl, I would wear bra, 36D.”. Aldo kemudian menyampaikan kalimatnya sendiri sambil memutar-mutarkan tangan di dadanya, seperti memang benar-benar memakai bra. Satu kelas tak henti tertawa, termasuk beberapa siswa perempuan. Aku ikut tertawa kecil. Memang tidak etis, tapi kalau aku memarahinya, mereka akan menganggap aku guru yang tidak asik. Dasar! Boys will be boys.

Tiba-tiba, mereka bertanya padaku. “How about you, Sir? What would you do if you were a girl?”. Aku terdiam sebentar, dan sedikit bingung karena tidak mengira akan ditanya seperti itu. Aku berpikir sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama kemudian bel berbunyi, sebelum aku sempat menjawab. Bagus! Saved by the bell.

Ternyata mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak mudah. Aku butuh waktu untuk sekadar berandai-andai karena aku tidak ingin khayalanku berakhir sia-sia. Apa yang akan kulakukan jika aku perempuan? What would I do if I were a girl?

Jika aku adalah perempuan, aku akan menjadi dirimu. Aku ingin merasakan seperti apa rasanya sekian lama bersahabat baik dengan seorang lelaki yang terlalu menjaga perasaan orang lain hingga tega menyingkirkan perasaan sendiri.

If I were a girl, I would be you, and I would probably find another male best friend. The one who doesn’t feel the pain every time he’s looking at his female best friend because he can’t stop thinking of how much he really wants her to be more than just a best friend.

If I were a you, I would be you, then I would be more than a friend to me. But if I couldn’t, I would stop being a friend at all.

Tapi, aku ya aku. Jangankan bertindak nyata, berandai-andai saja aku payah.


February 2
― si sentence yang sok (un)conditional


Ditulis oleh : @dennyed
Diambil dari http://dennyed.tumblr.com

No comments:

Post a Comment