03 February 2013

Surat untuk Paman Chicko


Teruntuk paman Chicko,
Di desa Huang Hao.

Hai, paman! Apa kabarmu? Lama tak bertemu. Salam dari desaku untuk desamu. Bagaimana kabar bibi Muriel? Aku harap dia baik-baik saja. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan pada paman.

Kemarin sore aku melihat seorang pria muda berpenampilan rapi tengah melintasi jalanan setapak di kaki bukit Zygmondy. Saat itu aku tengah bermain dengan sahabatku, Dayana. Paman mengenalnya bukan? Gadis berambut ikal sebahu yang kerap mengunjungi rumahku sewaktu paman berlibur ke desa ini. Sore itu aku dan Dayana tengah memetik beberapa Berry di semak Asparaga yang tak jauh dari rumah bibi Phoboe, dan pria itu muncul secara tiba-tiba. Aku dan Dayana dapat melihatnya dengan jelas. Ia tengah melangkah di atas jalanan setapak yang masih tampak basah, ada banyak genangan sisa hujan kemarin petang.

Kau tahu, paman? Pria itu sungguh menarik perhatianku. Matanya indah, senyumnya menawan dan ia memiliki satu bahu yang kokoh. Aku ingin berkenalan dengannya lebih jauh, namun aku malu untuk menceritakannya kepada Ayah dan Ibu. Lagipula, akhir-akhir ini Ayah dan ibu terlalu sibuk dengan pabrik rotinya. Bahkan salah seorang pekerjanya, paman Husein―kau masih mengingat paman Husein, bukan? Pemuda dari Byzantium yang gemar memberikan berbagai lelucon dari Timur Tengah! Aku harap kau masih mengingatnya. Ia kerap bercerita tentang kepiawaianmu dalam meracik tanaman-tanaman liar menjadi sebuah minuman. Paman Husein tak henti-hentinya menggerutu kepada Ayah dan Ibu yang kurang beristirahat. Ayah dan Ibu tak mempedulikannya, mereka terus saja menerima berbagai pesanan roti basah dan roti kering di setiap acara desa. Baru-baru ini saja, sebuah kuil di ujung bukit Geilantus memesan seratus tujuh puluh roti kering dengan isi acar mentimun bumbu lada hitam untuk acara kebaktian. Ah, aku tak mengerti lagi dengan kesibukan mereka.

Paman, aku masih ingin bercerita tentang pemuda itu! Akhir-akhir ini malam-malamku penuh dengan siluet dirinya. Aku tak bisa menolaknya lagi untuk hadir ke dalam mimpi-mimpiku, paman. Demi perawan Aphrodyte yang maha agung kecantikannya, tampaknya aku benar-benar jatuh cinta kepada pemuda yang kutemui di kaki bukit sore itu. Ia mampu memanggil beribu-ribu puisiku terbang keluar dari sarangnya. Paman, tolonglah aku. Aku tak tahu lagi harus bercerita kepada siapa. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Aku malu untuk bercerita kepada siapapun, terkecuali paman.

Pada pertengahan musim penghujan yang akan datang, usiaku genap delapan belas tahun. Bibi Mariana dari desa sebelah lagi-lagi mengatakan jika ia akan memberikanku sirip ikan Sebelah dari danau Baikal. Ia yakin jika sirip itu akan memberikan keberuntungan untukku, salah satunya akan membawaku semakin dekat kepada cinta sejatiku. Aku tak mempercayai segala mitos yang dikatakan oleh Bibi Mariana, paman. Beberapa hari yang lalu aku berkunjung ke rumahnya dan aku menemukan banyak ekor kucing menggantung di setiap sudut jendela kamarnya. Ia menyatakan ekor-ekor itu mampu untuk mengusir kekuatan gelap yang akhir-akhir ini menyelimuti desa. Ah, perempuan itu. Aku mulai gerah melihatnya. Aku tak ingin lagi mengunjunginya, aku tak tega melihat belasan ekor kucing-kucing miliknya yang kini tak memiliki ekor.

Paman, aku percaya kepada paman. Aku mohon, jika paman berkunjung ke desaku nantinya, kenalkan aku dengan pemuda asing itu. Aku benar-benar ingin menatapnya secara langsung. Hmmm… Walaupun aku tak begitu yakin ia akan menyukaiku atau tidak―aku hanya ingin berkenalan dengannya. Aku rasa kau mengerti bagaimana perasaan gadis seusiaku yang tengah jatuh ke dalam lautan cinta, ada banyak kupu-kupu yang terus menggelitiki perutku.

Berjanjilah akan berkunjung ke desaku secepatnya, paman! Aku merindukan paman. Ada banyak cerita yang ingin kubagikan. Jangan lupa membawakanku beberapa keping Theobromus kering dengan serpihan kulit domba-domba dari perkampungan Rhosgobel.


Salam hangat dariku.
Peluk dan cium untuk paman.


Tirvany


Oleh @vanatigh
Diambil dari http://irvanwiraadhitya.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment