03 February 2013

Sawo Matang di Ujung Jalan


Saat Ibuku masih hidup, diceritakannya kisah para wanita di desa ini yang berlomba-lomba untuk melegamkan kulitnya. Semakin legam, semakin banyak perjaka yang datang. Perjaka-perjaka itu nanti akan berlomba-lomba mendapatkan gadis terlegam di desa. Tidak mudah untuk menjadi pemenang karena yang dilawan bukan sekedar orang melainkan mata panah – mata panah yang seakan pula mengerti cinta. Ibu pernah menjadi wanita terlegam di desa ini, dan Ayahkulah yang berhasil memenangkannya. Aku yang memang mirip sekali dengan Ibu mewarisi kulitnya. Beliau bilang aku jelita.
Sepuluh tahun kemudian.

Orang- orang yang muncul di kotak elektronik bernama televisi ini bilang aku buruk. Tidak rupawan. Aku ibarat mangga yang diletakkan di susunan paling atas dalam bronjong pedagang agar cepat laku, bukan karena kualitasku. Mereka hanya tak mau lebih merugi. Jaman sedang susah. Rugipun harus mengirit. Namun meski sudah diletakkan paling atas, tidak ada yang memilih. Tidak ada yang mau mempersunting wanita legam seperti aku.

Aku sadar diri. Aku menyadari bahwa jaman telah berubah. Ibu sudah mati. Yang diceritakan beliaupun juga ikut mati. Kini aku berdiri di tengah para wanita yang meluruskan rambut karena berpikir ikal pekat tidak akan memikat. Aku terjebak di antara wanita yang memutihkan kulit seperti takut bahwa berkulit gelap adalah pertanda budak, dan lelaki suka yang serba berbedak. 
Sedang aku tidak keduanya. Aku tidak meluruskan rambutku dan tidak pula memutihkan dan membedaki kulitku.

Lalu apa kau bersungguh-sungguh??

Kutulis surat ini padamu, Lelaki yang menyatakan cintanya padaku kemarin, kutulis dengan harapan bahwa kau tidak sama dengan lelaki yang ada dalam kepala wanita-wanita itu.

Oleh @ildesperados
Diambil dari http://abracupa.posterous.com

No comments:

Post a Comment