12 February 2013

Mengenangmu Lagi

"Aku percaya kepada Allah Bapa yang Maha Kuasa, Khalik langit dan bumi.
Aku percaya kepada Yesus Kristus, anakNya yang tunggal Tuhan kita.
Yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria.
Yang menderita sengsara di bawah pemerintahan Pontius Pilatus.
Disalibkan, mati, dan dikuburkan. Yang turun dalam kerajaan maut.
Pada hari yang ketiga, bangkit pula dari antara orang mati.
Naik ke Surga. Duduk di sebelah kanan Allah Bapa Yang Maha Kuasa.
Dari sana akan datang kelak, untuk menghakimi yang hidup dan yang mati. 
Aku percaya kepada Roh Kudus. Dan adanya satu gereja yang kudus. 
Persekutuan orang kudus. 
Pengampunan dosa, kebangkitan daging, dan hidup yang kekal."

“Amin..” ucapku. Dan seiring itu pula elektrokardiograf di ruanganmu menunjukkan garis lurus dan menimbulkan bunyi datar yang nyaring. Sesaat suasana mencekam. Suster mendekati elektrokardiografmu, kemudian berlalu. Tangan kita masih saling menggenggam. Alkitabmu masih berada tepat di sisi kiri wajahmu. Masih menunjukkan ayat yang kita pilih untuk kubacakan padamu. Aku terdiam. Sementara dari ujung mata, aku melihat suster sibuk menelepon. Dokter mungkin.

Seolah terperintah secara otomatis, aku mempererat genggamanku. Dan berdoa dengan suara yang pelan. Aku mendekatkan wajahku ke sisi kiri wajahmu. Memberi jarak sedekat mungkin antara bibirku dengan daun telingamu. “Tuhan Yesus yang baik, terima kasih. Dia sudah sembuh.” dan air mataku ikut berbicara. Mengenai kulit wajahmu, dan menetes jatuh ke telingamu.

Terdengar derap langkah yang cepat. Mereka sudah datang. Dokter dan suster akan mencoba untuk menghadirkan kembali harapan walau sekecil apapun itu. Aku disuruh meninggalkan ruangan. Tentu saja aku memarahi mereka. Berkeras untuk tetap ada di ruangan itu. Tidak meninggalkanmu. Menikmati setiap detik terakhir yang kumiliki, setelah Tuhan “menyembuhkan”mu. Akhirnya mereka mengalah. Aku diperbolehkan berdiam melihatmu. Mereka mengelilingi tempat tidurmu. Mengambil alat ini dan itu, yang tak kutahu namanya. Entah apa yang mereka lakukan sebenarnya, semua memang berujung sia. Kamu kan sudah sembuh. :’)

Mereka berhenti. Memandangku dengan haru. Berjalan ke arahku, dan menanyakan apakah aku sanggup untuk mengabari keluargamu. Aku menggeleng lemah, masih menatapmu lurus. Doktermu menepuk bahuku. Dan berjalan meninggalkanku, diikuti oleh suster-susternya. Dan cukup jelas terdengar, salah seorang dari mereka mulai menghubungi keluargamu.

Dan aku.., aku kembali berjalan mendekatimu. Langkah kakiku berat. Hatiku sesak. Lagi, aku menggenggam erat tanganmu. Mengecup keningmu. Lama. Saat itu ada banyak kata yang tak terkatakan. Itu semua karena kamu yang tadinya meminta. Memintaku untuk ikhlas melepas kamu jika waktumu sudah datang. Dan aku sedang berusaha melakukannya saat itu. Semua demi kamu.

Aku menyudahi kecupanku di keningmu. Memperhatikan wajahmu lekat. Menyapu anak-anak rambutmu. Berusaha melepasmu dengan senyum, meski air mata terus membasahi. “Tidur yang lelap di pelukan Bapa, sayang. Kamu sudah sembuh. Tugasku sudah selesai. Aku sayang kamu.” cuma itu yang mampu kukatakan. Selebihnya, aku hanya menempelkan wajahku di wajahmu. Berharap hangat tubuhku masih bisa kamu rasakan.

Adenokarsinoma bronkioalveolar sudah cukup menyiksamu selama dua tahun. Katamu, kamu sudah lelah menahan sakit. Dan kamu juga mengatakan kamu sudah lelah melihat orang-orang yang kamu rasa sudah lelah merawatmu. Kamu sudah ikhlas. Itulah yang membuatku berbesar hati untuk mengikhlaskan keputusan Tuhan terhadapmu. Dan sekarang, sekali lagi kukatakan bahwa kamu sudah sembuh. :’)

Terima kasih sudah pernah saling mempertahankan kita. Mengizinkan aku mengambil peran sebaik mungkin sebagai kekasihmu. Menemanimu melawan ganasnya sel kanker selama dua tahun, sudah memberikanku pengalaman berharga. Tak ternilai. Membuatku semakin melihat bahwa Tuhan itu tak pernah terlambat memberi pertolongan. Dan yang paling penting, kembali menemukan pelajaran ikhlas dan mengucap syukur di keadaan apapun. Kamu bilang, aku harusnya bersyukur jika Tuhan sudah menjemputmu pulang. Itu artinya kamu sudah sembuh. Begitu. :’)

Kamu.. maaf aku tak sanggup untuk menuliskan namamu. Bahkan untuk menyebutnya saja, aku tak sanggup. Sudah lima tahun padahal. Tapi rasanya masih sama. Masih sulit untuk benar-benar meniadakanmu. Karena memang, kamu akan tetap hidup di hati. Aku cuma merindukanmu.

Tenang.. aku bukannya bertumpu pada sosokmu. Aku sudah mampu merasakan perasaan mencinta dan dicinta setelah tanpamu. Lebih berwarna. Dan aku bahagia untuk setiap kisah yang ternyata menemukan akhirnya dalam rentang waktu yang tak begitu lama. Itu pelajaran. Dan aku bersyukur untuk itu.

Oh iya. Tahun depan aku akan meraih gelar strata 1 untuk program studi Manajemen yang sedang kujalani . Di manapun kamu kini, aku yakin kamu pasti bisa melihatku dan merasakan semangat yang menggebu untuk menyelesaikan pendidikanku. Ah seandainya..... :’) sudahlah.

Aku rindu. Cuma itu.

Dariku; perempuan yang pernah menemanimu berbicara pada langit senja, salah satu hal yang ingin kamu lakukan sebelum kamu berpulang, katamu. Di hari ketiga sebelum kamu koma


oleh @siitiikaa
diambil dari http://tikazefanya.blogspot.com

No comments:

Post a Comment