12 February 2013

Kepada Calon Mempelai Priaku


Halo. Apa kabar?

Ah ya… kamu tahu, tiga kata itu adalah pembuka dari semua surat di dunia. Bagi beberapa orang, tiga kata itu sama seperti tulisan ‘Tarik’ di pintu bilik ATM atau tulisan ‘Kutunggu Jandamu’ di belakang truk gandeng. Kalimat wajib yang keberadaannya sering diabaikan.

Tapi untukmu, aku akan selalu melontarkan pertanyaan ‘Apa kabar?’ dengan sepenuh hati. Setiap hari. Kamu tidak perlu menjawab dengan ‘Aku baik-baik saja’ jika memang kamu sedang tidak baik-baik saja. Tidak boleh ada alasan ‘Ceritanya panjang’ untuk mengungkapkan perasaanmu. Ungkapkan saja, Lelakiku. Aku bisa menyediakan waktu sebanyak yang kamu inginkan. Mungkin tentang deadline pekerjaan, kertas-kertas data yang menghitam karena secangkir kopi yang kau tumpahkan secara tidak sengaja, atau buku-buku yang belum selesai kamu baca. Apa saja. Ceritakan padaku. Untukmu, aku adalah kertas yang mampu memuat semua kisah dan keluh kesah. Untukmu, aku adalah papan sasaran yang mampu menerima semua lontaran panah amarah dan gundah. Untukmu, aku adalah cawan tanpa dasar yang mampu menampung segala air mata, sedih, dan gelisah.

Sebelum bertemu denganmu, tanganku telah menggenggam dan melepaskan banyak cerita. Hariku telah dijejaki dan ditinggalkan berbagai kisah. Hatiku telah mendekap dan menyingkirkan sejumlah rasa. Dan aku tidak tahu, berapakah hati yang pernah kau patahkan, berapa tangan yang sudah kau genggam, atau berapa hari yang telah kau lalui tanpa aku. Aku tidak peduli semua itu.

Sesaat lagi, kita akan menjadi pakaian bagi satu sama lain. Pakaian yang memantaskan sepanjang hayat. Pakaian yang meninggikan harga diri dan derajat. Pakaian yang menutupi semua aib dan cacat. Pakaian yang menyisakan kekurangan masing-masing hanya untuk kita sendiri. Dan tidak perlu memikirkan bagaimana cara mencuci pakaian ini. Well, bahkan kita bisa jadikan acara ‘mencuci pakaian masing-masing’ sebagai agenda liburan yang romantis (jika kamu mengerti maksudku).

Sebentar lagi, sekarang dan selamanya, kita adalah dua dunia yang saling bersentuhan. Dua napas yang belajar untuk bisa seirama. Dua detak jantung yang menghidupkan satu sama lain. Aku adalah kamu. Kamu adalah aku. Mungkin, aku dan kamu tidak selalu sekata. Tapi aku yakin. Aku dan kamu selalu sekita.

Mungkin kamu sedang mengernyitkan dahi sekarang. Dan hatimu bertanya-tanya, mengapa perempuanmu ini begitu aneh dengan mengirim surat cinta di saat yang tidak tepat. Biar kuperjelas sekali lagi. Inilah aku, perempuan yang ingin mengabdi sepenuhnya padamu. Perempuan yang mempertaruhkan semuanya hanya untuk bertemu denganmu. Perempuan yang di antara mimpi-mimpinya, telah meletakkan namamu di atas segalanya. Perempuan yang telah dipilihkan Tuhan untuk menjadi bagian dari tulang rusukmu.

Dan bisa kujaminkan satu hal. Aku bukan perempuan yang mudah menyerah. Jangankan berjuang denganmu dalam menantang dunia. Bahkan aku telah menghabiskan dua puluh tujuh tahun untuk menemukan kamu yang sangat kucinta. Dan selama di sisa hidupku nanti (yang akan kujalani denganmu), aku tidak akan melepaskanmu dengan mudah. Meskipun dengkuran tidurmu semakin keras. Meskipun perutmu tak lagi rata. Meskipun kamu tidak pernah bisa mengambil kemeja dengan rapi dari tumpukan baju di lemari kita. Aku tidak akan menyerah. Mendapatkanmu adalah perjalanan panjang. Maka aku tidak akan membuat perjalanan kita hanya sekadar hiasan. Aku akan menjadikan kita untuk selamanya.

Sudah cukup. Rasanya apa yang ingin kukatakan sudah tertulis. Jika kurang, kita masih punya banyak waktu, kan. Mungkin akan lebih syahdu dengan ditemani cangkir kopi atau teh, dan sepiring pisang atau ubi goreng. Tentu dengan suara gaduh anak-anak kita yang lucu, jenaka dan menggemaskan.

Aku akan menemuimu sesaat lagi. Sekarang lipat kembali surat ini. Simpan di saku jasmu. Jangan pernah dibuang. Karena suatu waktu, mungkin kita perlu membacanya lagi. Bersama.

Dari calon mempelai wanitamu.


p.s : Aku tahu ini sangat mendebarkan. Puluhan pasang mata sudah siap untuk menjadi saksi kita. Mungkin jantungmu sudah berdebar sangat kencang. Tanganmu sudah dibasahi keringat. Tapi ingatlah nama lengkapku, juga nama ayahku. Ucapkan ikrar pengikat itu dengan lantang di depan penghulu. Dan setelahnya, aku sudah halal bagimu.


Ditulis oleh : @noichil
Diambil dari http://noichil.wordpress.com

No comments:

Post a Comment