12 February 2013

Bedanya Aku dan Kamu

Surat ini untuk kalian yang sering mengerutkan kening ketika melihat bahwa aku berbeda dari gadis kebanyakan.

 

Untuk kamu yang bilang, “lo pake batik mulu sih kayak mau rapat RT. Orang mah pake batik tiap Jumat, lo tiap hari.”

Hey, aku pecinta batik garis keras, lho. Kamu tau salah satu cara efektif a la Kennissa untuk menghilangkan stress? Belanja batik. Sewaktu aku masih tinggal di Jogja dulu, setiap terima gaji, sebagian besar gajiku akan habis untuk memborong batik di Malioboro. Atau aku akan naik kereta ke Solo hanya untuk belanja batik di PGS. Batik-batikku pun bukan batik warna-warni yang sering dipakai kaum muda sekarang setiap hari Jumat, namun batik mataraman. Menurutku, batik warna-warni telah keluar dari pakem batik. Aku lebih suka batik tradisional. Aku suka mencium bau batik. Koleksi batikku bukan hanya baju, melainkan juga tas, bando, dompet, kaca, sepatu, tempat handphone, dan masih banyak lagi. Aku tidak perlu menunggu tanggal 2 Oktober atau hari Jumat untuk memakai batik. Entah kenapa, aku lebih nyaman memakai batik ketimbang baju biasa.

 

Untuk kamu yang bilang, “lo demen banget sih nonton wayang orang. Emang ngerti bahasanya? Lagian juga, bosen kan nonton begituan.”

Aku suka menonton pertunjukan wayang orang setiap malam minggu di kawasan Senen, Jakarta (meskipun sekarang sudah jarang karena kendala waktu :( ). Aku tidak mengganggap itu sebagai sesuatu yang membosankan. Sebaliknya, wayang orang selalu menarik. Aku tahu semua lakonnya. Lakon mahabarata berikut carangan-carangannya sudah kuhafal di luar kepala. Dari dulu aku pecinta wayang. Memang, aku tidak mengerti percakapannya karena semua pemainnya menggunakan bahasa jawa super halus yang sekarang sudah jarang digunakan sehari-hari. Namun selama aku tahu jalan ceritanya, menurutku tidak masalah. Aku suka melihat toko favoritku, Arjuna, diperankan.

 

Untuk kamu yang bilang, “lo aneh deh. Kenapa sih lo ga suka nonton film? Lo satu-satunya orang yang gue kenal yang ketiduran pas nonton ‘Drag Me to Hell’.”

Aww..sepertinya masalah ini tidak pernah habis diperdebatkan olehku dan kamu semua. Aku tidak suka menonton film. Aku tidak mengerti apa yang menyenangkan dari duduk berjam-jam di depan televisi untuk menonton. Bukankah lebih menyenangkan menonton film yang kau buat sendiri di kepalamu? Satu-satunya genre film yang bisa kutoleransi adalah horror. Itupun tidak semua film horror ku suka, seperti horror Hollywood, contohnya. Aku tidak suka. Horror Asia (meski bukan Indonesia) adalah jenis film yang mampu membuatku bertahan duduk manis di depan televisi. Selain itu, aku tidak tertarik. Apalagi film-film komedi romantis yang sering ditonton orang. Bukankah membosankan tahu bahwa akhir ceritanya sudah bisa ditebak, tokoh utama pria dan wanita pasti bersatu di akhir. Ah.

 

Untuk kamu yang bilang, “ih, buku-buku lo ga asik ah. Ga ada yang tentang cinta-cintaan.”

Bagi kalian penyuka buku romantis, memang sebaiknya tidak melihat-lihat rak bukuku. Koleksi bukuku tidak mencakup buku cinta-cinta romantis, seperti seri harlequin, seri historical romance, Twilight Saga, dan semacamnya. Seperti film komedi romantis, buku-buku seperti ini akhirnya sudah bisa ditebak. Tokoh utama pria dan wanita pasti bersatu di akhir. Buku-buku seperti ini juga banyak mengandung circumlocution dan sering banyak kutemukan plot hole. Itu jelas bukan tipe buku yang akan kubaca dengan antusias.

 

Untuk kamu yang bilang, “lo cewek macam apa sih? Masa ga suka warna pink?”

Ugh..tentu tidak. Tidak. Jangan warna pink. Tidak suka warna pink bukan berarti aku wanita tomboy. Tidak. Aku masih tipikal wanita feminin dengan high heels, dress, makeup, dan semacamnya. Tapi kamu tidak akan menemukan warna pink dalam barang-barangku. Sejujurnya, aku bukan tipe orang yang menyukai jenis warna tertentu dan akan memilih barang berdasarkan warna favorit. Aku tidak punya warna favorit secara khusus, meski dalam keseharian aku banyak menggunakan warna hitam, hanya karena warna itu netral dan bisa dipadu-padankan dengan warna lain. Dalam memilih barang, aku tipe yang akan memilih berdasarkan tipe, bentuk, atau gambar. Bukan warna. Aku punya banyak barang warna-warni. Meskipun begitu, tidak ada yang pink. Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya tidak suka.

 

Untuk kamu yang bilang, “lo kelaenan ya? Masa tipe cowok lo yang rapuh-rapuh imut. Cewek mah milihnya cowok yang tinggi, gede, berotot, macho, lo malah milih yang imut-imut.”

Wah, kalau masalah ini tentu kembali lagi ke selera. Seleraku memang berbeda dengan selera kebanyakan. Aku tidak suka pria kekar tinggi besar yang terlihat macho, karena dengan begitu akulah yang akan dilindunginya, bukan sebaliknya. Aku, seperti yang kamu mungkin sudah tahu, tidak suka dipeluk, lebih suka memeluk, Tidak suka disayang-sayang, lebih suka menyayang-nyayang. Tidak suka dilindungi, lebih suka melindungi. Terlepas dari gaya femininku, orang mungkin bilang aku adalah tipe masculine female. Aku suka pria rapuh imut-imut yang butuh dipeluk, disayang-sayang, dan dimanja-manja. Kamu tidak akan pernah menemukanku sedang bermanja-manja, merajuk, atau merengek dengan pria manapun. I don’t need an alpha male. I am the alpha.

 

Ah, berbeda kan boleh-boleh saja. Trilyunan manusia di muka bumi ini, tidak mungkin ada manusia yang diciptakan sama persis. Perbedaan-perbedaan itulah yang mewarnai kehidupan. Berbeda prinsip dan pandangan bukan berarti harus berseteru, kan? Kamu boleh mengganggapku aneh, nyeleneh, kelainan, atau semacamnya. Aku tidak keberatan. Malah boleh dibilang aku bangga. You laugh at me because I’m different. I laugh at you because you’re all just the same. :D

 

 

Salam

Yang lain daripada yang lain


oleh @sneaking_jeans
diambil dari http://menyingsingfajar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment