12 February 2013

Ikhlas (?)

Berbicara tentang cinta, patah hati, dan tetek-bengeknya memang sangat mudah. Tapi, tak semudah itu juga kamu merasakannya langsung. Apa yang kamu teorikan kepada teman-temanmu tak akan segampang itu kamu praktekan dalam kehidupanmu sendiri. Iya, aku memang sedang patah hati. Dan kuambil kesimpulan, bahwa patah hati itu menyebalkan sekali. Rasanya ingin tidak merasakan ini, tapi bisa apa selain dinikmati?

*tarik nafas*

Aku percaya kehidupan layaknya roda yang berputar, begitu juga urusan cinta dan hati. Dan obat patah hatiku yang paling ampuh adalah menulis. Iya, hanya menulis. Sesimple itu obatnya. Karena tulisan yang berasal dari hati akan diterima dengan hati juga. Maka aku percaya, tulisan ini akan kamu baca dengan hati sama seperti yang aku rasakan ketika menuliskannya.

Selain menulis, aku juga mengobatinya dengan bercerita dengan teman-teman. Tapi, obat yang ini kadang sering lebih menyakiti. Mengapa? Karena kadang kamu akan ketagihan, dan kamu akan tergantung untuk menopang hatimu dengan bercerita terus apa yang sedang hatimu rasakan. Bercerita juga bisa membuatmu menangis layaknya diputusin. Mengapa? Karena kadang temanmu, yang tidak merasakan apa yang kamu rasakan, justru akan kesal dan memarahimu karena tingkahmu yang begitu menyebalkan menurut mereka.

Jadi, dari sekian banyak obat yang sudah aku coba untuk mengobati hati ini. Aku memilih menulis, mendengarkan, dan mengevaluasi diri, sebagai obat termanjur. Menulis bisa kapan saja dan dimana saja. Mendengarkan bisa mendengarkan apa saja, mp3, curhat seorang teman, cerita lucu sepupu, dan lain-lain. Sedangkan mengevaluasi diri, ini yang sedang dan masih aku pelajari lebih dalam. Kini aku lebih suka berdiam diri, tidak melamun, hanya instropeksi diri.

*tarik nafas (lagi)*

Aku sering tertawa sendiri ketika mendapati diriku sedang instropeksi diri. Lucu menurutku, karena kebanyakan aku jadi menyalahkan diri sendiri. Jadi apa hakekatnya instropeksi diri itu? Apa mesti kita harus menyalahkan diri sendiri? Ah, aku rasa tidak. Tapi itu yang aku alami setiap instropeksi diri. Karena dengan menyalahkan diriku sendiri, aku akan menangis, aku menangis bukan karena menyesal. Buat apa menyesali apa yang sudah terjadi? Itu percuma saja toh tak mengubah apapun. Aku menangis karena sampai sekarang aku masih belajar untuk ikhlas. Dan ikhlas adalah hal yang sangat sulit sekali dilakukan dengan hati.

Ikhlas. Hanya 1 kata yang terdiri dari 6 huruf. Namun, sudikah kamu ikhlas jika barang paling berhargamu diambil dan takkan dikembalikan seseorang yang sangat kau cintai? Ah, tak usah menjawab dan menebak-nebak seperti itu. Aku hanya menanyakan-mu dan bukan berarti aku mengalami hal seperti itu. Paham? :)

Dengan kita yang tiba-tiba bersahabat saja. Tiba-tiba tak ada sms “semangat belajar say” dan “met bobo, i love u” aku kira aku akan baik-baik saja. Iya, aku akan baik-baik saja hanya bukan hari ini. Tapi yang sering membuatku tidak baik-baik saja adalah mengingat apa yang telah kamu lakukan padaku dan apa yang telah kamu janjikan padaku. Tapi, tenanglah sayang, aku sedang belajar ikhlas.

*hapus air mata*

Obatku untuk menyelamatkan rasa cintaku yang hampir tertutupi rasa benci padamu adalah mengingat segala kebaikan dan sifat tulus hatimu. Sekuat tenaga aku berusaha untuk bersikap biasa aja, tak membencimu. Aku berhasil. Ini karena selama ini aku juga memposisikan dirimu sebagai diriku satu tahun yang lalu.

Satu tahun lalu. Aku pernah sangat frustasi karena ingin memutuskanmu tapi tak tega. Frustasi itu hampir membunuhku. Karena kamu yang tidak tahu apa-apa selalu bertanya dengan wajah merasa bersalah “Kenapa sih? Kok mukamu sedih terus?”. Aku menangis mengingat satu tahun yang lalu, betapa aku sangat ingin membuangmu jauh-jauh tapi kau malah tidak tau sama sekali apa yang sedang hatiku rasakan. Sampai suatu hari saat kamu memanggilku dengan lembut “Beb...” dan ku balas panggilanmu dengan menatap benci matamu. Lalu kamu berkata, “Kenapa sih ngeliat aku kaya ngeliat musuh gitu?”. Aku hanya tertawa dan bingung harus menjawab apa, maka aku jawab “Masa sih?”.

Berbulan-bulan aku frustasi pengin mutusin kamu tapi ngga tega. Dan kamu pun sepertinya tidak menyadari suasana hatiku. Kamu malah menjadi-jadi dalam hal menyebalkan. Suatu malam ketika kita duduk berdua di ruang tamu rumahku, kamu sedang tanya-jawab soal Biologi SNMPTN padaku. Tapi ku jawab singkat dan ketus, lalu kamu berkata “Jangan gitu jawabnya ya, say. Sinih kalo ngga mau belajar duduknya jangan ngejauh gitu”. Aku mendekat dengan setengah hati dan kamu menggenggam erat tanganku. Tapi yang kurasakan saat itu hambar, bahkan otakku sudah menyiapkan serangkaian kata “Putus” dengan cara lembut sampai kasar. Tapi tak ada yang keluar dari bibirku. Aku diam membisu, menatapmu dengan tatapan benci.

Sampai pada suatu malam tepat setelah pengumuman SNMPTN. Aku mengundangmu ke rumah via SMS. Kamu datang dan masuk ruang tamu, langsung bingung melihatku berlinang air mata dan terbata-bata berkata “Aku ngga bisa kuliah tahun ini. Kita putus aja ya?”. Kamu menggenggam erat tanganku, memelukku, memberi puk-puk di pundakku. Katamu, “Ngga kuliah tahun ini gapapa kok. Kenapa harus putus? Aku ngga malu punya pacar ngga kuliah. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.” Ah, kamu ini, memang sahabat terbaikku, Rio.

Lucu ya? Dulu saat aku yang mau memutuskanmu aku tahan-tahan karena tidak tega dan begitu aku memutuskanmu, kamu malah mengurangi beban tak bisa kuliah di pundakku. Dan kini, saat kamu memutuskanku, aku tak bisa apa-apa, selain mengurangi bebanmu mempunyai pacar seperti aku. Raditya Dika bohong soal teori memutuskan cewe akan lebih rumit. Buktinya? Dulu aku sangat rumit mau memutuskan Rio. Tapi kemarin, Rio sangat simple memutuskan aku. Tak apa, sungguh. Aku hanya sedang belajar ikhlas. Aku ikhlas (?)


Dengan hati sekuat tenaga berusaha ikhlas,
Wanita yang keras kepala mencintaimu, sekarrlaras.



oleh @sekarrlaras
diambil dari http://wanitasetengahedan.blogspot.com

No comments:

Post a Comment