Merindui Bersandar di Dada Kiri Itu
Aku baru sampai rumah jam satu malam, aku mengantuk dan
lelah. Di Makassar pasti sudah jam dua malam. Aku ingin menghubungimu, tapi tidak
mau mengganggu lelapmu.
Dini hari ini aku
memutuskan untuk tidak tidur cepat. Aku menunggu hujan. Tapi hujan belum
datang.
Kamu tahu siapa yang datang? Sesuatu bernama kenangan. Dalam
langit malam yang gemintang. Dalam lagu yang kuputar.
Ah, kita pernah membahas sebelumnya. Kita pernah sepakat,
bahwa ‘Musik adalah mesin waktu yang sederhana’. Kali ini aku bukan hanya
refleks bersenandung Mesin Penenun Hujan, juga lagu ini..
Ada yang tak sempat tergambarkan
oleh kata, Ketika kita berdua, Hanya aku yang bisa bertanya, Mungkinkah kau
tahu jawabnya.
Malam jadi saksinya, Kita berdua diantara kata, Yang tak
terucap, Berharap waktu membawa keberanian, Untuk datang membawa jawaban.
Mungkinkah kita ada kesempatan, Ucapkan janji takkan
berpisah selamanya.
Kamu ingat? Lagunya Berdua saja-nya Payung Teduh yang (akhirnya)
kita sepakat menyukainya. Iya, lagu ini mengingatkan aku pada satu malam kita
berbaring bersama di dermaga tak bernama, menatap langit yang tua.
Ah ya, bintang-bintang. Itu
adalah makhluk malam kepunyaan kelam. Jadi ingat mimik mukamu yang selalu terkesima mendengar ceritaku
bahwa aku tidak pernah lihat bintang seindah itu di kota Medan. Dan kamu tertawa
waktu aku bilang bintang disana tertutup ruko tinggi dan spanduk besar membentang.
Dan kita akan terus cerita entah
berapa lama, sampai tetes hujan jatuh menghujami pipi kita berdua, namun kita
sangat menikmatinya. Kita tetap akan berbaring menengadah, menikmati hujan kita.
Jika sudah menggigil, maka genggaman akan semakin erat menjadi pelukan di bawah
pohon ‘penahan hujan’ kita sampai hujan mereda dan bintang kembali terang.
Hujan adalah cara alam meretas keangkuhan dua insan, yang menolak berpelukan.
Sayang, tadi sewaktu aku sedang
mengikuti acara kantor, ntah mengapa aku fokus dengan interior
langit-langitnya. Aku tidak peduli Direktur atau Kepala Divisi
presentasi apa.
Aku mengambil duniaku sendiri dan tertegun menatapi langit-langit itu.
Lampunya berbaris rapi, dengan bohlam kecil berwarna kuning. Seperti
gemintang setelah senja yang kita tatap sambil berbaring di pulau itu.
Dan aku sendu.
Katamu, Cinta adalah ketika kita
bersama dalam kebisuan, dan kita tetap merasa begitu nyaman. Jika itulah definisi cinta,
mungkin benar kata mereka, saat ini aku sudah jatuh. Jatuh kepada kamu, karena aku merasa begitu
nyaman akan semua hal yang ada pada dirimu. Aku seperti menemukan diriku sendiri.
Syukurlah jika aku masih hidup di
dadamu itu. Dada yang nyaman dan lapang dan aku selalu ingin kembali ke dada itu. Aku hanyalah seorang pemurung yang selalu melamun setiap kali melihat hujan
menebar kerinduan akanmu. Aku adalah pemurung yang selalu mengembangkan senyum
palsu dan berkata “Baik-baik saja” ketika mereka selalu bertanya keadaanmu, keadaanku, keadaan kita.
Tadi sebelum pulang, seorang teman kantor menghampiri mejaku, menatapku dalam. Ia
hanya tersenyum tipis dan berkata; “Kau tidak seperti biasanya semenjak pulang
dari Makassar. Kau lebih pendiam, beda dari yang ku kenal. Kalau ada apa-apa cerita samaku ya..”
Itu seperti tepukan halus di
muka, aku kaget. Ternyata mereka memperhatikanku dan aku lebih maklum mengapa
mereka belakangan ini sering menanyakanmu secara bergantian. Akhirnya aku
menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang peduli dengan kita. Aku yakin,
mereka punya doa yang sama; berharap kita baik-baik saja.
Duh, aku jadi berkaca-kaca lagi.
Iya, iya aku sudah berjanji sama diri sendiri. Untuk menjadi wanita tangguhmu yang lebih tegar hari ke hari. Sebenarnya
banyak cerita yang ingin aku ceritakan. Tidak punya kekuatan ceritakannya lewat kata atau suara. Aku ingin
bercerita dari tatapan mata saja. Dan aku rindu dipelukmu setelahnya.
Menempelkan telinga di dada
kirimu, merasakan detak jantung itu dan melabuhkan semuanya disitu.
Kuulangi, Aku selalu rindu bersandar di dada kirimu, merapatkan telinga kesitu dan mendengar detak jantungmu yang menenangkan.
Aku rindu. Aku rindu. Aku rindu.
Bunuh saja aku.
Nb. Aku masih saja tidak
menyanyikan bait reff lagu Mesin Penenun Hujan-nya Frau secara utuh. Iya, aku masih
tidak suka dengan lirik ‘kau sakiti aku, kau gerami aku, kau benci aku’ karena
setiap menyanyikan itu aku ingat kamu, dan lirik itu tidak relevan dengan kamu.
Yang merindui berada di dada kirimu.
[N]
Surat ini balasan untuk : Perempuan yang selalu menatap hujan
Oleh @nadyasiaulia untuk @PriaHujan
Diambil dari nadyaratnasari.blogspot.com
---
Surat balasan @PriaHujan untuk @nadyasiaulia
Kepada Perempuan, yang begitu rindu pada dada kiriku.
Kepada Perempuan , yang begitu rindu pada dada kiriku.
Masih saja kita bergelut dengan kenangan yang sudah kita lewati beberapa waktu lalu, dan kenangannya begitu nyata sampai sekarang. Dalam sadar, bahkan dalam lelap.
Handphone sengaja kutaruh di dekat kepalaku, menunggu deringan dari nomor yang tak kuketahui, siapa tahu itu dari kamu. Maaf, nomormu dulu tak sengaja terhapus saat emosi begitu meluap dan aku tak bisa mengingatnya lagi.
Hujan semalam begitu dingin, kehangatan yang biasa digenggaman menghilang begitu saja. Tanganku masih mengingat genggamanmu, yang kadang dengan sigap menggenggam, walau disitu tanganmu sudah tak sedia.
Masih saja kita bergelut dengan kenangan yang sudah kita lewati beberapa waktu lalu, dan kenangannya begitu nyata sampai sekarang. Dalam sadar, bahkan dalam lelap.
Handphone sengaja kutaruh di dekat kepalaku, menunggu deringan dari nomor yang tak kuketahui, siapa tahu itu dari kamu. Maaf, nomormu dulu tak sengaja terhapus saat emosi begitu meluap dan aku tak bisa mengingatnya lagi.
Hujan semalam begitu dingin, kehangatan yang biasa digenggaman menghilang begitu saja. Tanganku masih mengingat genggamanmu, yang kadang dengan sigap menggenggam, walau disitu tanganmu sudah tak sedia.
“Musik adalah mesin waktu yang sangat sederhana” katamu, dan kini aku sedang berada di masa lalu, dan kebersamaan kita terulang di depan mata, adakah waktu kembali seperti sedia kala?
Oh iya, Lagu mesin penenun hujan selalu kita hentikan saat sudah sampai dibagian reffnya, dan mengulang kembali dari awal. Entahlah.
Sedang Payung Teduh selalu tersedia di playlistku. Ketika aku ingin mengingatmu, dan itu disegala waktu.
“Disegala ruang ada dirimu, di segala waktu, ada aromamu, dan disegala sudut ada bayanganmu”
Maaf, kali ini suratku singkat, ada urusan kantor yang harus aku kerja.
Lelaki yang masih berteduh di bawah teriknya rindu
[PH]
Diambil dari privatesastra.blogspot.com
No comments:
Post a Comment